Saturday, June 23, 2012

Cinta kami serupa cinta zaman SMA

Apa yang bisa kami sembah
Dari peradaban yang bingung
Pada langkah kaki kami

Zaman yang besar meninggalkan cinta
Sebagai pakaian kotor yang kau nodai

Kata-kata yang sekarat menciptakan hari-hari yang bodoh. Entah kami memelihara apa hingga keadaan hati kami tidak bisa lepas dari kemungkinan-kemungkinan buruk. Kami pun tak pernah menempatkan zaman sebagai perhentian yang ideal, sehingga nasib klise kami tak lebih dari pikiran kami yang naïf. Begitu kami rasa, kami perlakukan sajak-sajak buruk ini.

Setiap paginya, di mana kami terbiasa membangunkan diri kami dengan sajak-sajak cinta di twitter, kami selalu menciptakan diri kami sebagai pencinta ulung yang mampu menerjemahkan pertahanan-pertahanan Tuhan akan manusia-manusia dunia. Sedemikian tingginya kami pada luka-luka, kami percaya jika hidup kami memang tak lebih dari kebahagiaan sajak. Sedang saat itu, di dalam diri kami yang lain, kenangan kami terlantar dan menyadari hilangnya rahasia-rahasia. Termasuk kebebasan kami yang sekarang membuat kami sering masuk angin. Jangan bayangkan kami sebagai manusia yang tak mampu dikenali. Zaman yang besar ini membuat kami mudah sekali dikenali: rindu kami sering kami rangkum, rahasia kami sering menyusup ke manusia lain, amarah kami sering kami rebahkan di dada sajak, atau ringkasnya diri kami tak lebih dari repetisi sajak. Maka, kuingatkan kalian pada kalimat sajak goenawan: “kau lelah, aku tidak, ketika kita sebut kata ‘pernah’”

Ikutilah persiapan kami setiap memandang zaman. Riuh kami pada kekasih adalah bagian terbesar diantaranya. Supaya waktu leluasa membaca persoalan kami, ia akan menciptakan kerisauan zaman. Saat itu, kami akan menawarkan doa dan beberapa teka-teki hiburan sehingga usia dan kehilangan adalah bahan percakapan paling intim di antara sajak dan rahasia. Saat itu perhatikanlah kenapa kemudian mendung sering datang atau cuaca jadi polutan menjengkelkan bagi sajak kami. Hujan menjadi paradoks, anak-anak kecil yang bermain-main menjadi cemas kami, dan rindu kami sendiri tak lebih dari perkiraan kami kapan cuaca berhenti menyiksa kami. Kekasih kami adalah esok yang menguraikan dirinya sebagai harapan atau permainan petak umpet antara pertanyaan dan ketegasan. Maka, kami menyimpan birahi kami seperti rahasia kami (tentu, kalian pasti bisa menebak bagaimana rahasia kami, kami keluarkan seperti birahi). Tak ada yang boleh mempertanyakan kenapa birahi kami sebegitu tersembunyi dan sebegitu utuhnya dalam diri kami, sebab makna dan tafsir kami pada kekasih kami akan ditentukan pada seberapa sempurnanya kami menjadikan birahi kami sebagai persoalan dalam sunyi kami. Sebutlah birahi kami sebagai anak sungai yang terus bergerak menyuburkan sawah-sawah dan pematangnya, juga yang mengairi hutan-hutan kota yang gilang gemilang sejuknya, atau sebutlah ia sebagai sumber mata air bagi sumur-sumur rumah penduduk. Ia adalah keajaiban kami pada repetisi-repetisi emosi sajak kami. Maka, jika kalian masih kuat mengikuti persiapan kami, jangan kalian diam-diam menunggu kehadiran bayangan atau dongeng kosong tentang ibu. Kami petikkan potongan sajak sapardi untuk birahi kalian: “soalnya ia suka mengusikku tengah malam, padahal aku sering ingin sendirian/soalnya ia baka”

No comments:

Post a Comment