Friday, December 19, 2014

Sanggar Arcana dalam Gubernur Nyentrik; menikmati berbagai refrensi

Membaca naskah gubernur nyentrik membuat saya teringat kata seseorang, jika teks memiliki kemampuan sebagai kerja yang dimainkan. Dan di tangan sanggar arcana, saya cukup menikmati kerja sebuah teks. Berbagai eksplorasi dan permainan panggung menjadi kunci bagaimana naskah berkembang sedemikian rupa. Sehingga saya merasakan saat ini, pementasan teater berhasil memainkan banyak hal. Walaupun di banyak titik, peristiwa-peristiwanya hanya menjadi fragmen-fragmen yang tidak memiliki jembatan penghubung yang baik. (Tapi apalah arti jembatan penghubung bagi kita yang memuja Goenawan Mohammad, bukan?!)

Begitu memasuki ruangan panggung pementasan, kita disuguhi dengan permainan musik electro pop khas anak kota masa kini. Saya mengharapkan akan datang konsep pementasan mak yong atau drama gong di adegan ini. Karena saya sudah bosan dengan pementasan wayang ato ketoprakan. Yup, point besarnya adalah, saya merasa sambutan musik saat penonton masuk sedang memberikan suasana jika musik menjadi unsur penting, bukan sekedar ilustrasi, di pementasan ini. Mengadopsi dengan sempurna pementasan-pementasan teater tradisional. Lihat saja bagaimana muka para pemain-pemain musiknya dimake-up sedemikian rupa hingga mencipta kesan aktor panggung. Lihat saja bagaimana posisi musik yang tepat berada dalam satu garis lurus antara panggung dengan penonton. Mau tidak mau, ini sangat mencolok mata dan memberi kesan kuat pada musik di pementasan ini. Atau mari kita berpindah ke panggung bagian samping kanan dan kirinya. Dibiarkanya kosong, di sisi utaranya diberi pembatas dengan peringatan jika panggung itu merupakan bagian dari pementasan ini. Di sisi selatanya, sebuah proyektor menembak kain putih bergelantungan, memberi efek kolosal. Maka, mau tidak mau saya berpikir pementasan ini akan memaksimalkan semua fungsi aset-aset yang mereka miliki.

Pementasan pun dimulai setelah sekian banyak pidato dan hal tidak penting (saya masih selalu berpikir, apalah arti pidato-pidato itu di sebuah pementasan teater).  Proyektor menampilkan film pembuka di kain putih. Film yang menceritakan sang gubernur dengan ajudanya yang sedang tersesat di Yogyakarta. Di tengah ketersesatanya, sang gubernur bertemu dengan orang gila yang menjadi samacam peramal yang meramalkan masa depan sang gubernur, dan menyarankan sang gubernur untuk lari. Baiklah, inilah pembuka cerita kita, pementasan ini akan menceritakan sang gubernur yang akan mengalami masa-masa sulit. Pembuka ini, tidak saya dapatkan di naskah asli bikinan Agustan T. Syam. Sanggar arcana memilih menerjemahkan naskah asli dan membuat naskah sebelum naskah asli. Pilihan cerdas saya rasa, tapi kurang menusuk naskahnya euy. Lalu tirai dibuka, adegan lady gaga dimulai: seorang ajudan dengan kostum dan make up ala beberapa film dongeng johny deep tergeletak dengan pose epik ala lady gaga. Efek kaget yang dihasilkan benar-benar menyenangkan. Saya membayangkan akan ada banyak hal banal dan vulgar terjadi. Dan sang gubernur datang, kemudian istri gubernur datang, dengan kostum ala alice in wonderland atau charlie and the chocholate factory. Tapi sebagaimana johnny deep yang memerankan diri sebagai semar, sebagai kepolosan dan kejujuran yang gagu, atau sebagai joker, kostum ajudanlah yang paling menyenangkan. Saya sangat menikmati berbagai kemungkinan pemahaman di kostum ajudan itu. Tepat seperti saya memahami johny deep dengan kostumnya ketika berperan sebagai willy wonka atau sebagai hatta. Saya tidak bisa berkata apa apa soal kostum gubernur dan istrinya selain terlalu dan/atau mencerminkan satu ketokohan saja. Tapi saya rasa memang itu tujuanya. Sungguh pas permainan kostumnya. Kemudian, sinden bersuara menjadi aktor. Yak, sinden. Konsep sinden tepatnya. Dua orang penyanyi naik ke sebuah level di depan para pemusik, menceritakan mengenai cerita ini. Menjadi semacam narator, kadang juga terasa menjadi semacam tokoh utama cerita ini.

Lalu adegan per adegan dimulai dengan perasaan saya sedang menonton srimulat. Berbagai kelucuan yang dihasilkan oleh gerak tubuh aktor menjadikan saya mesti mikir ke naskahnya. Yak, naskah memang meminta permainan gerak tubuh yang lucu dalam menghadapi berbagai dialog yang ada. Sampai datanglah penari india. Ini apa-apaan ni. Saya mikirin naskah lagi. Ok baiklah, naskah memang menuntutnya. Walaupun saya tidak tahu apa fungsi penari itu selain sebagai pemberi kesan saya sedang menonton mak yong tapi dengan tarian india. Saya langsung berpikir Sanggar Arcana akan menjadikan naskah ini sebagai dramatari atau ala-ala sinetron india. Teks terasa benar-benar minta dimainkan. Lalu kemudian, saya dikagetkan dengan bagaimana hubungan ajudan-istri-sang gubernur yang dibangun melalui dialog setelah tari india itu. Saya tidak tahu apa yang sedang dibangun Agustan T. Syam di dialog-dialog ini. Tapi saya merasakan dia sedang mempertontokan ke kita bagaimana Pak Harto, Ibu Tien, dan salah satu pembantu dekat (pejabat elit, yang di masa-masa tertentu pernah membuat buku putih yang selalu berisi mengaku sebagai orang paling dekat dan paling mengerti kemauan Pak Harto) ngobrol: penuh kekuasaan, penuh kebodohan, penuh trik-trik. Kemudian kejutan datang lagi dengan kehadiran seorang mbak tutut yang legendaris itu. Tapi dalam kapasitas sebagai pengatur utama proyek utama sang penguasa kita ini. Bukan sebagai anaknya. Mbak tutut ini datang dengan beberapa boneka-boneka berukuran besar ala pappermoon puppet. Ide untuk memberi efek kolosal di tokoh demonstran yang terdiri dari buruh, mahasiswa dan LSM sungguh otentik. Saya suka permainan ini. Suka. Menyenangkan sekali menjadikan ide pementasan boneka pappermoon menjadi bagian dari pementasan teater yang keseluruhanya dimainkan manusia langsung. Ria pappermoon atau Slamet Gundono patut diberi ucapan terima kasih dengan ide besar mereka itu. Walaupun kurang atraktif, tapi penetrasi ide permainan boneka di pentas ini sudah cukup segar. Di adegan ini, prolog permasalahan naskah ini dimulai dengan kedatangan si direktris (mbak tutut kita).

Setelah prolog mbak tutut itu, lalu adegan diganti. Datanglah sang arsitek yang dengan gaya paling futuristiknya. Di adegan ini saya sudah berharap konflik akan dimulai. E tapi bo'ong. Setelah dialog arsitek dengan ajudan, yang ditandai dengan kepergian ajudan, adegan kembali ke adegan srimulat lagi. Istri gubernur masuk. Berdialog dengan ajudan. Terasa sekali penulis naskah ingin menampilkan pengaruh sang istri penguasa kepada penonton. Walaupun saya tidak mendapat adegan penting menganai pengaruh sang istri di konflik utama naskah ini. Tapi keinginan penulis naskah untuk menampilkan pengaruh sang istri terasa sekali. Saya sedang membayangkan si penulis sedang menyindir sesuatu, Ibu Ani Yudhoyono contoh yang paling kontemporer. Atau, ya itu tadi, Ibu tien Soeharto. Saya sama sekali ngeblank di sini. Naskah terasa sangat tidak menaati konvensi-konvensi tertentu dalam penulisanya selain alur cerita saja. Lalu datanglah tamu yang berasal dari india yang juga saya tidak tahu fungsinya apa di naskah ini selain penguat kesan penulis naskah untuk menampilkan ketokohan sang istri gubernur. Blank. Tapi blank ini digarap dengan menarik ama Sanggar Arcana. Masuknya dua penyanyi, arsitek, dan tamu dari india dari lokasi para pemain musik. Sebelum masuk pun, musik terasa menjadi kunci utama. Dan itu tadi, saya merasa apakah saya sedang nonton drama gong apa ya. Konsep musik menjadi begitu penting di sini. Atau bayangkan kita sedang membaca cerpen danarto yang berjudul tongkat di pemanggungan ini. Kejutanya sederhana, hanya memainkan konteks berpikir yang berusaha kita bangun. Tapi kemudian dihancurkan, dan kita berusaha membangun konteks lagi, kemudian dihancurkan lagi. Saya cukup suka dengan bagaimana musik dan aktor berkolaborasi memain-mainkan naskah ini. Lebih terasa halus dibandingkan dengan pementasan teater garasi yang jalan emas (the game).

Setelah tetek bengek tamu india itu, lampu panggung gelap, setting panggung diganti, dan konflik dimulai. Akhirnya, sodara-sodara. Dan berjalanlah konflik naskah gubernur nyentrik ini. Boneka besar pappermoon bermain, seluruh aktor berkumpul, sedikit demi sedikit tensi permainan naik. Musik sekarang menjadi ilustrasi saja. Dan tibalah pada saat sang ajudan memainkan proyektor berjalan. Proyektor berjalan adalah proyektor yang ditaruh di meja beroda sehinga memungkinkan untuk melakukan mobilitas yang pada akhirnya mampu menyorot di banyak titik. Jadi begini, saya tidak tahu refrensi mana yang dipakai sanggar arcana saat memainkan proyektor ini karena saya sangat merasa proyektor berjalan ini mampu dimainkan lebih jauh daripada sekedar dimainkan dengan hanya menyorot gubernur dan istrinya yang sedang bersepeda karena mengalami pengusiran. Efek tragis dan dramatis yang dihasilkan sangatlah kurang. Saya membayangkan proyektor ini dimainkan ke berbagai arah secara acak. Sungguh indah jika itu terjadi. Karena kemungkinan permainan ini sungguh luas sekali. Sayang aja si.

Dan konflik pun berakhir dengan kematian sang gubernur, istri, dan ajudan. Dan posisi jabatan gubernur digantikan dengan sang arsitek. Banyak hal di panggung yang saya tidak bahas di sini. Karena saya sebenarnya sedang memamerkan ke anda, bagaimana panggung teater sanggar arcana melebihi ekspetasi saya dalam memainkan aset-aset panggung yang mereka miliki. Dengan naskah ya yang itu tadi, meminta untuk dimainkan seimajinatif mungkin. Saya tidak tahu apa alasan Sanggar Arcana memilih naskah Gubernur nyentrik. Naskah yang saya tidak tahu sedang merefrensikan apa. Dibuat oleh orang sulawesi, saya sedikit curiga naskah ini membicarakan seorang rektor yang jadi gubernur dan menginisiasi pembangunan sebuah terusan khatulistiwa di Sulawesi. Tapi saya juga curiga, naskah ini memainkan sindiran-sindiran ala seniman tahun 70-80an yang sedang getol-getolnya menyuarakan kritik ke pemerintahan nasional yang sedang melakukan pembangunan nasional. Atau bisa saja juga naskah ini sedang membicarakan pemerintahan SBY dengan proyek MP3EInya yang kontroversial itu. Tapi setiap pemerintahan memang korup dan penuh proyek si. Jadi memungkinkan untuk dikontekskan ke naskah ini. Tapi entahlah, naskah ini sungguh membuat saya merasa bodoh. Tapi untungnya Sanggar Arcana mampu ngasi kejutan-kejutan dalam pementasanya. Semoga saja tidak ada yang terjebak di naskah ini dan mampu memasukkan permainan ke dalam pementasan naskah ini.



Ah Barthes, terlalu banyak penganut struktualisme di negri ini, bukan?!