Tuesday, March 20, 2012

The girl in the garden: Caka windi





Suatu hari, Lawrence, si lelaki kesepian yang serba kik kuk masuk ke sebuah cafe, membeli secangkir teh itali. Ia sendiri dan kehabisan kursi. Tapi, London selalu punya banyak cara agar cinta tetap nakal dan elegan. Maka di satu sudut cafe itu, Gina, sang perempuan yang baru patah hati, duduk sendirian bersama kopi itali yang pahit. Hidup adalah keniscayaan waktu. Dan pertemuan tak lebih dari keniscayaan hidup yang biasa-biasa saja. Di sanalah, perasaan akan memberi manusia pemaknaan-pemaknaan pada hal yang biasa-biasa itu. Lawrence, yang diperankan aktor dengan kerut muka yang sangat fotogenik, memaknai Gina sebagai gadis muda yang penuh kesyahduan dan kebaruan hidup.

Dengan segala kekik-kukkanya yang khas lelaki kesepian dan penuh ragu, Lawrence menghadapi beberapa rintangan perasaan jatuh cinta seorang lelaki. Hingga, lelaki ini berhasil membawa Gina ke Reykjavik untuk menemani hari-hari rapat besar konferensi negara-negara G8. Disinilah masalah dimulai.

Cinta, pada akhirnya harus berhadapan dengan realitas dunia. Tidak saja kebutuhan primer sampai tersier, ia juga mesti berhadapan dengan berbagai isme-isme yang dimiliki dunia. Film The Girl In The Garden ini bukan kisah cinta yang ditabrakkan dengan masalah-masalah cinta itu sendiri, semacam romantisme Romeo-Juliet. Film ini menceritakan cinta dengan isme-isme di luar cinta, isme semacam sosialisme dan liberalisme. Gina, sang perempuan yang mudah sensitif dan tidak mau memahami gaya hidup pejabat publik dan staf-stafnya, membuat pikiran mentri keuangan Inggris, bos Lawrence, dan Perdana Mentri Inggris menjadi buntu karena dicecar dengan retorika-retorika ala demonstran di luar ruang konfrensi. Lawrence, si tua kikuk peragu ini, tak bisa berbuat apa-apa untuk menenangkan si bos atau Gina. Maka, ujung cerita adalah kehancuran pekerjaan Lawrence dan terujinya cinta Lawrence-Gina.

Begitulah saya langsung teringat Lawrence dan Gina di film The girl in the cafe, saat mengambil foto-foto gadis berbaju merah ini. Bernama caka windi, sebut saja begitu, saya mengalami situasi yang hampir sama dengan Lawrence; berhadapan dengan gadis yang baru saja patah hati. Dan sayalah si kikuk Lawrence yang tidak paham bagaimana berhadapan dengan perempuan. Seluruh konsentrasi saya gunakan untuk mencoba membalas setiap percakapan si gadis. Dan apa kuasa, saya pikir saat tua nanti saya akan mengalami nasib Lawrence. Untung saja, saya memiliki perbedaan mencolok dengan Lawrence. Lawrence mendengarkan The Rolling Stones, sedang saya mendengar Nirvana. Perbedaan ini, membuat saya merasa mampu bertahan untuk tidak terlalu kik kuk dan peragu secara berlebihan seperti yang dialami Lawrence.

Maka, setiap saya kik-kuk berhadapan dengan sang model atau menatap mata sang model lewat kamera atau foto-foto hasil jepretan saya, saya kencangkan lagu Stay Away milik Nirvana di dada.