Thursday, April 28, 2011

Surat untuk si bocah

: L.H

Bocah, kau tahu bagaimana melukis waktu? Jika sembarang hal di dunia adalah percakapan, di situlah kau bisa membuka kerudung kanvas dan mencampur-campur cat. Tapi jika di sekolahmu tak ada pelajaran melukis dan kau tak menyukai hal-hal kesenian, aku bisa membuatmu mengisyaratkan waktu dengan hitung-hitungan matematika atau pelajaran sosial dan ilmu alam. Jadi begini bocah, suatu malam aku memimpikanmu mengajakku bermain bola di lapangan kampung sebelah. Untuk sampai ke sana kita harus mengayuh sepeda, dan kau bocah, mengajakku balapan, siapa cepat dia dapat senyum perempuan yang kita agung-agungkan. Tapi bocah, yang membikin aku heran adalah, di mimpi itu kau menaiki sepeda orang dewasa, sedang aku menggunakan sepeda roda tiga; aku merasa menang saat itu juga, bocah; aku yakin kau kalah.

Bocah, dari ujung rambutmu sampai ujung kakimu, aku selalu bisa mengambil aura ibumu yang agung. Kenakalan yang dicampur dengan kebaikan sepertinya menjadikanmu anak zaman yang siap menang melawan kapitalisasi diri. Maka, ketika aku merasa menang itu bocah, kulihat kau mengembangkan sepasang sayap di punggungmu, serupa sayap-sayap malaikat di dongeng-dongeng rekaan orang eropa. Bocah, kau jadi malaikat. Ibumu yang ada lapangan kampung sebelah berbisik padaku; “ia begitu sejak ia pintar bermain sepeda dan bola”. Kau menoleh padaku bocah, serasa memberiku kesempatan untuk start dahulu. Sial, aku merasa kau remehkan betul waktu itu; aku tidak peduli lagi dengan kebocahanmu, aku langsung start dahulu dan langsung mengebut, meninggalkanmu 200 meter di belakang. Saat itu, jelas kulihat senyummu yang menggoda; persis seperti pertama kali aku melihat senyum ibumu di dunia ini.

Dan kau benar-benar meremehkanku bocah, sekejap saja kau sudah di sampingku sambil berteriak; “yang kalah mengerjakan PR matematika!”. Aku lajukan sepedaku lebih cepat, aku lajukan secepat mobil tercepat di dunia; 500 km/ jam, dan kau tetap di depanku. Benar-benar tetap ada di depanku sampai ke lapangan kampung sebelah, sampai bertemu ibumu yang tersenyum-senyum seolah-olah sedang melihat dagelan mataraman.

Dengan gaya nakalmu, kau tersenyum-senyum sambil mengatakan sudah banyak orang dewasa yang kalah di tanganmu untuk kelas balapan sepeda. Aku heran bocah, bagaimana Tuhan dengan baikNya memberikanmu anugrah yang berlebihan seperti itu, seakan-akan semua kebaikan warga kota diserahkan padamu. Kebaikan Tuhan yang begitu besar itu bocah, adalah kebaikan yang menuntut kebaikan hatimu. Dan kau tak perduli dengan prinsip itu, kau malah berteriak ikut main bola pada anak-anak di lapangan. Dan ibumu dengan santai berkata “Di mana kita akan tinggal di dunia jika kebaikan dan kejahatan sudah sevulgar ini perbedaanya?”

Ah bocah, mimpiku serasa di dunia Animal Kaiser. Penuh fantasi dan kenaifan. Dan itulah bocah yang membuatku ingin mengajakmu bercakap, siapa tahu kau tertarik mengisyaratkan waktu.

Begitu bangun dari mimpi, begitu paru-paruku tahu mana udara yang pantas dihirup, aku membayangkan rambut ikalmu dan dahimu yang lebar. Aku tahu saat itu juga aku memang pantas bercakap dengamu dan memberikanmu ide-ide baru perihal waktu.

Kau tahu bocah, bodyguardmu, ibumu itu, benar-benar membuatku sentimen hingga saat ini. Dia pintar sekali memberi janji dan alasan yang manis. Dari dulu ia seperti itu. Dan sampai saat ini. Izinku untuk bercakap denganmu tak dikabulkanya. Kira-kira sudah tiga sampai empat hari, izinku kumasukkan. Dan seperti birokrasi pemerintah yang lelet, ibumu benar-benar pantas ditaruh sebagai staff kementerian kesekretariatan negara. Sungguh melelahkan bocah, tiap berhadapan dengan ibumu.

Jadi bocah, setelah kau baca surat ini, kau paksa ibumu memberikan izin padaku untuk bercakap denganmu. Paksa ia, jika ia menolak, kau ancam dia jika kita berdua akan mendoakanya memiliki rambut rebonding seumur hidup. Aku yakin dia setidaknya dia pasti merasa terancam.

Wednesday, April 20, 2011

Dalam kota yang purnama

Malam purnama dalam keramaian kota
Dari mana semua hal berawal dan pergi
Debu-debu kota, lipstik-lipstik segar
Udara keluar masuk dada mencari sesuatu
Hati siapa berlarian di hatimu, hati siapa
Menelanjangi dadaku. Mengajakku memlih

Malam purnama atau mall pusat kota
Pilihan adalah keramaian yang memilih kita
Untuk menjadi kosong. Untuk jadi bidadari kota
Kau hadir dalam dada; dada adalah loncatan waktu
Rindu adalah loncatan keraguan. Dadaku telanjang
Bersama dengan langkahmu yang dulu
Yang membuat waktu dari nafas malam-malam kota

Malam juga yang menentukan siapa di antara kita
Yang lahir dan kalah. Dadaku dibenamkan purnama
Tak ada yang bagus di malam-malam macam begini
Selain cemburu dan rindu yang tak sampai-sampai
Tak pernah ada emosi yang tersampaikan; sunyi
Cinta tak bisa jadi nyawa bagi bulan yang purnama

Sunday, April 17, 2011

Dunia di dada kota kita

Di setiap senja yang sudah-sudah, kau titipkan cemasmu di dalamnya
Maka, di senja-senja yang akan datang, aku akan menyebur ke dalam
Merasa bagaimana samudra udara menjadi abadi dalam ingatanmu
Asap-asap kota juga masuk di dalamnya. Nestapa masuk di dalamnya
Di sana, di titik di mana kau memisahkan cinta dan senyuman

Aku yang tak sempat menyadarkan diri dengan harapan dan dirimu
Adalah sepi. Bus-bus kota melaju, berputar-putar di panjang-pendek jalanan
Tak ada daya bagi doa. Jika setiap perjalanan adalah mobil-mobil tempat
Tawa dan tangis jadi satu. Setiap harapan adalah ketulusanku padamu
Yang pergi. Tak aku tak pula kau jadi belenggu sendiri-sendiri

Di mana-mana di kota ini kita tak berharap pelangi atau purnama yang indah
Sebab keindahan adalah perpisahan dan perjuangan. Kau yang selalu memilih lari
Aku yang selalu memilih tangis. Dan begitulah hari-hari. Cinta tak lebih harapan
Keindahan kita pada malam-malam yang menyembunyikan nuansa kita berdua
Hancurlah kebekuan-kebekuan kota dan bayangan pria pada perempuan