Monday, March 14, 2011

Lanskap warna merah

Aku selalu tak pernah bisa menyampaikan cinta dari mulutku ke kupingnya. Cinta selalu jadi ejaan bergelombang. Bahkan sajak-sajak cinta para penyair negeri ini tak bisa mewakili sepersepuluh penyampaian cintaku padanya. Pikiranku selalu hilang di mulutku. Antara gigi dan gusi ada palung yang begitu dalam dan memiliki kemampuan menyedot ejaan-ejaan cinta. Dan itulah buruknya, palung itu cuma menyedot ejaan-ejaan cinta. Ejaan-ejaan lainya tak pernah disedot. Saat aku menyampaikan benciku pada siapa, mulutku selalu lancar menyediakan jenis kata-kata untuk pikiranku. Saat aku menawar harga barang-barang di pasar bekas, mulutku selalu lancar memberikan berbagai alternatif harga termurah yang paling mungkin bisa kudapat. Atau ingat saja bagaimana saat aku memperdayai ibumu dan mengatakan jika kau telah menghamili teman baikku yang kemudian marah-marah menuntut solusi. Ia mau saja memberiku uang untuk membayar dukun aborsi. Paling tidak aku tidak memperdayaimu kan, aku jujur mengatakan uang ibumu itu kupakai untuk membayar biaya liburan ke Karimun Jawa bersama pacarku.

Tapi di sini, di tempat peristirahatan ini, di mana langit-langit hanya memamerkan diri sebagai samudra yang dipenuhi ikan-ikan luar angkasa, di mana aku dan dia hanya jadi penyelam yang tenggelam kehabisan oksigen di samudra angkasa, aku kehabisan sunyi untuk keyakinanku. Sudah kami lewati riuh lalu lintas jamaah sholat isya, sudah kami lewati pula lima pasang kekasih yang sembunyi-sembunyi ketakutan masuk lobi hotel dan memesan kamar, tapi keinginanku untuk menjadi penyair paling romantis di abad ini tak pernah kesampaian. Empat jam ini kami diam-diaman dan membiarkan mata kami ribut sendiri dengan langit. Tidak seratus persen diam memang, sekali-dua kami berdiskusi. Soal siapakah di antara nasi goreng kambing dan cap cay rebus yang berhak mendapat medali emas kuliner terenak malam ini. Kami juga berdiskusi soal obat nyamuk semprot atau obat nyamuk bakar yang akan menggantikan peran setan. Soal langit pun sempat kami diskusikan juga, kami sepakat jika bintang-bintang di langit lebih menyerupai ikan di samudra daripada kumpulan titik-titik berlampu temuan komunitas yunani yang diberi nama zodiak. Aku yang berharap waktu berhenti dan memberiku kebebasan bergerak, tak pernah bisa menyampaikan cintaku ke kupingnya.

Kaidah-kaidah bunyi huruf yang kupelajari sedari bayi tak menyelesaikan masalahku. Aku khawatir ayah-ibu tak pernah mengajari bagaimana kata cinta dibunyikan dengan sempurna. Dalam ingatanku, aku hampir yakin jika lingkungan sekitaranku tak pernah membahas kata cinta denganku, baik secara sembunyi-sembunyi atau terbuka. Aku takut. Sebab dia sudah terlihat mengantuk. Mulutku kupaksa mengeja huruf per huruf dari kata cinta. Tiap huruf dari kata cinta kulafalkan dari kata-kata lain yang memuat masing-masing huruf. Aku sempurna mengeja lima kata yang memiliki komponen huruf dari kata cinta. Tapi begitu aku ingin mengeja kata cinta, aku selalu gagal. Aku mengerang dalam hati. Mengutuk Tuhan yang menciptakan palung di mulutku. Keyakinanku pada diriku hilang pelan-pelan ikut tersedot palung mulutku.

Kuajak ia membicarakan revolusi PSSI biar kantuknya hilang dan pikiranya terarah padaku. Ia tertawa keras waktu kutanya soal surat putri ketua PSSI. Ia tidak mau berkomentar selain tertawa. Ia ingin LPI jadi kompetisi LSI sambil memilih Arifin Panigoro sebagai ketua PSSI pilihanya, kemudian ia tertawa lagi. Kutanya alasanya tertawa, ia enteng mengatai Arifin Panigoro pantas jadi ketua PSSI sebab kepalanya sudah persis dengan bola. Saat ia tertawa, kupingnya mendekat ke mulutku. Pelan-pelan kudekatkan mulutku ke kupingnya. Aku tak peduli lagi, keyakinanku sekarang ada satu, kata cinta harus diucapkan sepelan dan selembut mungkin ke telinganya. Fungsinya agar esensi pengucapanku larut ke darahnya, masuk ke jantungnya, dan dialirkan ke seluruh badanya. Mulutku semakin dekat ke kupingnya, ia masih tertawa. Tiba-tiba ia menjauhkan kepalanya, menepuk kupingnya. Jengkel ia mengucap “Nyamuknya masih ada! sudah kubilang kan, lebih baik obat nyamuk bakar daripada semprot. Mana korekmu!”

“Kau kuat betul memukul kepalamu. Kupingmu sampai merah begitu macam habis dikulum anjing.” Untung bisa kuatasi kagetku dengan mengambil korek di kantung celana dan menyahuti tingkahnya.

“Ya kau itu anjingnya, hahaha.... Tadi rasanya gatal betul gigitan nyamuknya, jadi refleks saja aku kuat-kuat memukulnya. “

“Pasti tidak beruntung jadi anjingmu. Tugasnya menemani wanita kesepian yang tidak bisa mengatur hidup. Pasti anjingmu lebih sering kelaparan karena lupa kau beri makan.”

“Seenaknya saja kau menyimpulkan aku. Begini-begini aku lebih sayang hewan peliharaan daripada diriku sendiri.”

“Jangan-jangan memang tidak ada anjing yang mau jadi hewan peliharaanmu. Selalu kau jadikan pelampiasan hidupmu terus sepanjang waktu, sampai mereka tidak punya dunia binatangnya sendiri”

“Hahahahaha..... Jika begitu, kau saja yang jadi anjingku”

Aku melanjutkan tertawanya. Di dalam hati aku merasa mantap jika sudah bisa mengucap kata cinta. Kucoba dalam hati mengeja kata cinta; bisa. Coba kuucapkan pelan-pelan di mulutku; begitu sampai di huruf I, mulutku tiba-tiba tak bisa kurasakan. Aku pegang-pegang mulutku, mengenali syaraf-syaraf dan sistem geraknya lagi. Kucoba mengucapkan beberapa kata.

“Aku lebih memilih tinggal dengan ibu tiriku lagi daripada jadi anjingmu”

“Aku suka kau karena kepolosanmu yang bodoh itu. Kau memang pantas jadi anjingku.”

Otakku gelap. Ampas-ampas kopi sudah menutupi jaringan-jaringan otakku. Aku kagum dengan ucapanya. Aku semakin terpacu mengucap kata cinta. Lidahku kugoyang-goyangkan, kucocok palung di mulutku. Rasanya lidahku dan air ludahku cukup panjang untuk membuntu lubang palung di mulutku. Aku harus berhasil mengeja kata cinta malam ini. Aku harus berhasil mengeja kata cintaku yang pertama. Aku tidak akan putus asa kali ini. Aku akan memegang teguh nasihatmu untuk menjadikanya sebagai pacarku. Dan itu harus terjadi malam ini. Harus atau jadi pencundang sama sekali.

Malam sudah berganti nama jadi pagi. Jam setengah satu pagi. Aku memintanya membuatkan kopi untukku dan dirinya. Ia pergi ke dapur. Senyumnya sebelum pergi mengingatkanku pada kata sublim. Aku menyimpan banyak perasaan di dada, dan sudah kusepakati padanyalah semua perasaan itu akan menyublim. Langit melihatku, dibuatkanya bintang jatuh untukku. Aku mengucap permohonan dalam hati. Kau tahu kan apa permohonanku. Lantas ia datang dengan nampan berisi dua gelas kopi dan setoples keripik tahu.

“Barusan ada bintang jatuh. Aku membuat permohonan. Aku memohon supaya minggu besok kau pulang ke Yogya dan bersamaku pergi ke Sukapura”

“Bodoh! Aku tidak akan ke sana lagi. Aku muak dengan temanmu yang banci batik itu.”

“Aku tahu. Tapi kupikir kita berdua memang perlu bertemu denganya lagi. Menjelaskan masalah. Aku takut masalah sederhana ini jadi rumit gara-gara kepergian kalian yang tanpa pernah saling pamitan”

“Klise! Dia yang memulai semua permasalahan yang kau bilang sederhana ini. Aku tak mau bapakku dihina-dina macam tikus got olehnya. Aku memang salut pada tekadnya yang tidak mau jadi tentara seperti saudara-saudaranya dan bapaknya. Aku memang salut saat dia menyatakan dirinya ingin kuliah di ekonomi pembangunan dan memilih masuk ormas islam untuk berdakwah. Yang tidak kuterima, seenaknya dia menyimpulkan bapakku punya sejarah yang dipenuhi kesalahan besar pada agama dan negara. Sudah begitu, masih dia mengajak tetangga-tetanggaku untuk mengucilkan keluargaku. Aku sudah bosan dikucilkan dan dijadikan masyarakat rendahan. Aku tidak akan mentoleransi kesalahanya yang ini. Dia bejat. Paham kau?!”

Sial, dalam hatiku. Aku membangkitkan macan betina di tengah malam. Aku menggali lubang kuburku di hatinya. Jika tidak ditenangkan, rencanaku malam ini bisa gagal. Kucoba menengahinya, “Aku setuju dia salah. Kesalahanya adalah kesalahan paling tidak intelek yang pernah dilakukanya. Dia mentah-mentah memakan mitos-mitos.”

“Nah! Lalu kenapa kau naif berpikir aku akan ke Sukapura?! Aku di sini ini gara-gara tingkahnya. Bapak-ibuku dan adikku di Semarang juga gara-gara tingkahnya yang provokatif ke tetangga-tetangga sebelah rumahku. Kupikir kau membelaku!”

“Aku tidak membelamu atau membelanya, aku membela hubungan kita bertiga saja. Aku tidak tega jika kita bertiga tidak seperti dulu.”

“Berdoalah saja sampai kiamat. Aku tidak akan mengabulkanya. Andaikan aku kopi kental, dia itu sebatas lalat ngantuk yang ingin begadang. Dia ingin meminumku tapi malah mati tenggelam di larutan kopi”

“Heh?Sentimen betul kau!” Aku tertawa sambil membayangkanmu jadi lalat ngantuk.

“Terserah!”

“Baiklah, minggu depan aku ke Pak Kirman, ketua RTmu. Membicarakan tingkah tetanggamu. Dia pasti mau membantu. Dia kenal bapakmu sejak zaman PKI kan?”

“Ya, dia satu-satunya orang yang terus menerima bapakku separah apa pun kondisinya. Waktu bapak pulang dari Pulau Buru, dia dan istrinya yang menjemput bapak di Tanjung Perak. Dia pasti mau membantu.”

“Oke. Lalu lalat ngantukmu itu mau kau apakan nantinya?”

“Aku tidak mau menemuinya dulu. Dia membuatku ingat lagi 15 tahun yang susah payah saat bapak di Buru dan ibu yang jadi pembantu. Aku tidak mau mengingat masa itu.”

“Kadang-kadang aku bosan mendengar ceritamu soal ini. Seringnya aku merasa sudah saatnya kau ikhlaskan masamu yang 15 tahun itu.”

“Tidak mudah, bung. Itu seperti membuat Ade Rai menjadi waria paling seksi di kontes waria.”

“Ya, ya, ya, Ade Rai memang susah jadi waria seksi. Kupikir dia pasti kalah olehmu dulu. Malam ini kau seksi sekali”

“Aku bukan waria, bodoh!”

“Memang bukan, tapi hatimu itu yang waria. Tidak jelas arahnya. Mau berhati laki-laki atau perempuan.”

“Hei bodoh, hatiku ini perempuan.”

“Tapi dendammu melebihi dendam kriminal paling kejam.”

“Negara dan lingkungan yang membuat aku jadi begini.”

“Kau sendiri yang membuat dirimu. Bull shit jika lingkungan yang membuat dirimu. Kau sendirilah yang mengizinkan pengaruh mana yang boleh dan tak boleh masuk ke hatimu. Kaulah faktor utama bagaimana karaktermu terbentuk.” Kau tahu, aku tidak membelamu saat aku menyerangnya. Aku bosan dengan sikapnya yang terlalu keras dengan dirinya sendiri dan sekitarnya. Aku hampir lupa jika aku seharusnya mengatakan cinta padanya. Untung saat itu matanya menatap mataku. Mungkin dia sedang mencari-cari tempat sampah di hatiku yang sering ia gunakan untuk membuang perasaanya. Sayangnya, tempat sampah itu kutaruh di selangkanganku. Dia tidak akan menemukanya.

Matanya masuk ke mataku. Dalam sepersekian detik, tatapanya jadi sulur melati. Masuk ke sana ke mari ke dadaku. Sulur-sulur itu berbunga. Oh kau tahu, bagaimana wanginya dadaku saat itu. Hidungku sendiri lupa apakah betul ini wangi dadaku atau bukan. Tanpa ada apa-apa dia tersenyum, “Maksudmu apa? Kau ingin mengatakan sesuatu padaku?”

“Aku telah mengandung kesunyianmu. Aku tak mampu lagi merasakan waktu. Setiap perjalananku tiba-tiba jadi harta karun yang tak tentu riwayatnya.”

“Kau sedang membuat puisi lagi? Pasti untuk Rista lagi kan?! Aku tidak suka kalimat pertamamu.”

Aku benar-benar sedang menghadapi macan betina. Kau setuju kan denganku? Tapi aku tidak akan gentar. Aku ingin dimakan mentah-mentah, biar bisa kumasuki perutnya. Biar bisa kuganti hatinya dengan hati yang paling terbaru.

“Aku cinta kau. Aku memintamu bertanggung jawab penuh atas kesunyian yang selama ini kau tinggalkan di perasaanku. Aku ingin kau larut lebih kental lagi di larutan hidupku”

Dia tidak terkejut dengan ucapanku. Dia melihat mataku lagi. Sulur-sulur melati masuk lagi, mekar. Hatiku wangi lagi. Dia bangkit dari duduknya, mendatangiku. Memelukku. Begitu saja dia memelukku, seolah-olah aku ini guling kesenanganya. Dia menangis keras. Kali ini aku bingung. Kejantananku jadi kuragukan sendiri. Aku tidak tahu kenapa ia menangis. Dua menit dia memelukku sambil menangis. Tak ada obrolan selama itu. Kupingku sudah kusiagakan sesempurna mungkin tapi memang tidak ada kata-kata darinya kecuali suara tangisanya.

Dia lepaskan pelukanya. Matanya merah, pipinya memiliki beberapa sungai air mata, hidungnya kembang kempis, dan bibirnya terlihat sempurna. Matanya masuk lagi ke mataku. Tiba-tiba tangan kirinya menampar mukaku, keras. Aku bingung. Belum selesai sakitnya, dia menamparku lagi dengan tangan kanannya, benar-benar menyakitkan.

“Kenapa kau berani mencintaiku. Aku anak orang PKI. Banyak orang membenciku. Aku dan keluargaku selalu jadi kambing hitam masalah sosial. Kau tidak tahu apa yang akan kau hadapi.”

“Aku mencintaimu justru karena kau anak PKI yang penuh dendam. Aku bosan dengan skeptismu tentang manusia di negara ini. Aku akan mendampingimu seumur hidup untuk menunjukkan jika dunia ini dipenuhi orang-orang baik. Biar dendammu hilang, dan kau bisa menemaniku di surga nanti. Aku takut di akhirat nanti kau masuk neraka jika terus-terusan membawa dendam sampai mati. Padahal aku sudah pasti masuk surga dan pasti sendirian jika begitu. Aku butuh kau untuk menemaniku di surga.”

Dia menamparku lagi. Sekali, dengan tangan kananya. Kemudian menangis lagi. Aku tak kuat melihat bibirnya. Aku berdiri, mendekati kupingnya, kukatakan “Aku cinta kamu”

Kucium bibirnya. Dia mencium bibirku. Kuingat betul, jam dua pagi itu, langit berwarna merah. Sial, langit berwarna bendera PKI.

Saturday, March 5, 2011

Mimpi sebelum tidur

:Z.N

Rasa itu hilang. Tak ada variasi di pikiranku saat gadis yang kupuja-kupuja mengirimiku SMS. Aku tak menggambar mercusuar atau bulan bintang yang bisa kujadikan pelayaran harapanku padanya. Aku pun tak membentuk karang atau tembok besar yang akan kujadikan tempatku mencelakakan perahuku. Rasa-rasaku yang dulu ternyata menjadi selembar undangan untuk pikiranku. Aku di bawah langit-langit kamar kosku tenggelam dalam kepastian akan kemanusiaanku. Aku jadi aku, gadis itu jadi lautan, kemanusiaanku jadi perahu tanpa dayung. Aku menggoda diriku sendiri oleng kanan kiri di balik alasana kemanusiaan. Aih, rindu yang tak kunjung menepi adalah ketololan, tepat seperti yang dinyanyikan biduan-biduan sepanjang lounge-lounge pusat kota.

Yang menjadi elegi adalah aku membalas SMS itu dengan SMS yang sangat normatif. Seperti membaca puisi para penyair narsis, aku ingin mencekik diriku. Aku ingin mengajak diriku bertobat. Aku ingin cucu-cucu Chairil cukup sampai di batas bohemian dan perlente. Maka, jadilah normatifku sebagai bualan paling tidak pintar yang terus menerus kulakukan pada gadis itu. Dan bodohnya, gadis itu masih saja menanggapinya. Aku kadang berharap kami berdua langsung berhadapan, bertukar sesaji, lalu saling menghirup sesaji. Kenangan-kenangan akan kesabaran akan masuk ke otak dan perjalanan ke depan. Aku tak merasa runtuh dalam hutan-hutan waktu, aku hanya ingin segala hal yang telah runtuh tidak sekedar jadi semangat, tapi jadi gairah rasa pada surga-neraka.

Oh Gusti yang memiliki segala rayuan paling ampuh di dunia, tunjukkan aku cara melukis lautan dan samudra. Oh Gusti yang memiliki segala perempuan di dunia, siapakah di antara kami yang akan pasrah di rahim gadis pujaanku itu. Oh, Gusti yang meluaskan luka-luka dan ingatan-ingatan, cahaya-cahaya masa depan cahaya-cahaya mutiara kata adalah sunyiMu yang tak genap-genap mekarnya. Oh Gusti, maukah Kau menghilangkanku dalam ceruk muara remuk redam bahasa.

Unggun hatiku tak akan mati, api bahasaku tak akan gentar. Belantara air samudra tak akan cukup menghabisi api unggun milikku. Sepanjang penantian aku akan menyebar camar-camar dan senja di ufuk-ufuk paling jauh. Agar samudra menerimaku dengan nasib-nasib indah seorang pelayar jauh. Jika kemudian mitos mengatakan rindu akan dibalas dengan kebaikan yang sama, aku tak bisa menyalahkan warisan Jawaku. Jika kemudian gadis pujaanku membalas SMSku dengan kebaikan yang lebih besar dan kubalas lagi dengan kalimat normatif, aku sungguh senang mengatakan jika Jawa dipenuhi ketololan feodal. Dahaga siapa sedang kutanggung, dahaga siapa yang membuatku minum air samudra. Dahaga penyair, dahaga pujangga, dahaga politisi, oh dahaga-dahaga mahkluk sepi, kenapa kalian melewati perjalananku. Aku tak akan berkabar dengan siapa pun, aku tak akan berkabar dengan gosip-gosip murahan. Aku cuma ingin mencium bibir pantai senggigi miliknya, aku ingin masuk ke kampung Naga di hatinya, oh Gusti yang menyatukan segala basa-basi dunia, aku ingin merasakan brownies kukus yang ia tanak di oven pikiranya, aku ingin merasakan gado-gado betawi dari segar pengalamanya.

Sepanjang dadaku aku dipenuhi icon smiley Yahoo Massenger. Aku bertemu teriakan prajurit menang perang. Aku bertemu senyum malu istri-istri yang jatah uang bulananya dinaikkan. Aku tidak berjarak dengan dadaku. Gadis pujaanku datang dari barat, pelayaranku jauh ke menit-menit kegilaan. Tak ada pelabuhan bagi lelaki. Tapi aku tak mungkin membawa prajurit atau ibu-ibu. Aku harus hampa dalam kehilanganku pada gadis pujaanku. Ketika datang SMS ketiga dari gadis pujaanku, segala kamus pelayaranku hanyut ke samudra. Oi, aku sendirian di samudra besar ini. Aku dalam kenikmatan 100% sempurna. Tak ada waktu di sini, samudra adalah padang waktu kebebasan. Maka, aku tak perlu pelabuhan. Aku menceburkan diriku, berenang dengan lumba-lumba perasaan. Aku tak berpisah dengan siapapun. Aku menyatu dengan kedewasaan dunia. Aku tidak mengalami kefanaan. Aku dalam kenyataan jika dunia tidak segelisah manusianya. Aku melangkah ke masa depan yang penuh inovasi. Samudra adalah daratan baru tempat mahkluk hidup masa depan akan tinggal. Samudra adalah perkawinan sempurna antara rindu dan bahasa. Tidak akan ada pelabuhan lagi. Tidak akan ada lagi keraguan di dalam segala perasaan manusia.

Setelah dua belas menit aku mengalami orgasme rohani, kubalas SMS gadis pujaanku dengan gaya anak muda masa kini. Dengan gaya SM*SH yang penuh percaya diri. Setelah 30 menit aku menunggu, kali ini sama sekali tak ada SMS balasan yang menyirami bunga-bunga di pikiranku. Oh Gusti.

Februari membuat dinding pengaduan

: R.A

Aku lupa bagaimana melihatmu
Jika februari sudah sampai ke purnama

Cahaya tak pernah berhasil
Menyambung nyawa jantung mataku
Masjid-masjid dipenuhi doa mata jantungku
Kepalaku mengancam lari ke ujung hatiku

Saat kau mendiamkan ingatanku
Hidup mataku dipertemukan nasib-nasib kota
Saat mereka ingin mencari ruh siapa
Yang mengerjaiku dengan sunyi perempuan

Aku tak berada dalam keyakinan. Tajam
Matamu tinggal sudut kasmaran lumut-lumut waktu
Musim-musim dadamu musim-musim pasar induk
Kata-kata menawariku alamat hujan bahasa

Kebahagiaan adalah awal mula ketakutan
Di batas pandangmu aku letakkan diriku

Berjanjilah kau akan menghirup
Bau tubuhuku. Sekalipun tak ada hening
Di ranjang itu. Lorong-lorong mataku
Berusaha lari dari kenyataan

Biografi

Jika puisi adalah kesalahan
Maka, kaulah alasan Tuhan
Menghadirkan aku di dunia