Saturday, October 25, 2014

Ice cream girl

Di negri apapun, kamilah penghibur. Menjaga asa kalian di siang atau saat sajak tak lagi menjaga makna. Kamilah pembawa dunia baru kalian. Kamilah pencari jiwa jiwa.

Di situasi macam apa saja, kami tak akan pergi. Sekalipun rindu sudah jauh. Ataupun jika ia masih imajinasi. Kami mendatangi jejak jejak kalian sebagai isa.

Di dada kalian yang kosong, kami mengisi cinta kalian. Dengan senyuman dan resah kami. Sebagaimana kami menjaga Tuhan dari kebangkrutan.

Thursday, October 23, 2014

Generasi action photoshop

Saya baru belajar ngedit beberapa foto orang dengan action action tertentu. Dan inilah hasil-hasil editing fotonya.


Pertama-tama saya nyoba ga make action. Dua foto pertama hasilnya agak gimana gitu. Lalu saya pake action di foto ketiga. Hasilnya masih ga rapi. Foto yang saya pilih kayaknya ngasi pengaruh.










Monday, October 6, 2014

Forum Aktor Yogyakarta di naskah "biar kutulis untukmu puisi jelek yang lain": kesempurnaan tata kelola panggung minimalis.

Saya cinta Andy Sri Wahyudi.
Sebagai aktor dan sutradara, saya rasa dia sempurna sekali menjalankan ketokohanya. Saya tidak bisa membayangkan ada orang lain mampu bertindak seperti beliau. Kemampuanya dalam menciptakan panggung yang mampu berinteraksi dan menarik penonton sedemikian rupa adalah keahlianya. Memainkan humor gelap ala yogyakarta dalam berbagai bentuk, buat saya, adalah keunggulan utamanya ketika memainkan sebuah pementasan. Kesempurnaan yang jarang saya temui di pementasan teater di sekitar yogyakarta.

Nah, tiap nonton pentas teater, saya mesti keinget dengan gimana pentas-pentas yang dibawain oleh orang ini. Apalagi ketika di pentas itu, dia menjadi sutradara. Kemampuan dia membuat penonton begitu terbuai, menjadi semacam patokan saya; "pentas lu sekeren pentasnya andi kagak sob?"

Saya selalu terbuai dengan pentasnya Andi Sri Wahyudi.

Hingga saya bertemu dengan pentasnya Forum Aktor Yogyakarta yang berjudul "Biar kutulis untukmu puisi jelek yang lain" di bulan september kemarin. Pentas ini, dari segi lokasi pementasan, tata lampu, properti, jumlah aktor, sungguh tidak mencengangkan. Btw, saya liat pentas yang di FBS UNY (pentas ini diadakan di tiga lokasi berbeda di sekitaran wilayah Sleman, Yogyakarta). Ada begitu banyak celah buat memandang minor pentas ini sebelum diadakan. Banyak. Tapi ternyata kemampuan orang-orang yang ada di Forum Aktor ya cukup imajinatif memainkan celah.

Naskah ini pernah dipentaskan oleh teater tangga UMY. Saya tidak menonton pementasan yang dilakukan oleh teater tangga, tapi saya melihat dokumentasi foto pementasan mereka di sini. Saya rasa, sedari awal pementasan naskah ini dilakukan, naskah ini nuntut meminimalisir berbagai bentuk tata kelola panggung. Nah, apa yang dilakukan teater tangga, bagi saya, masih memainkan tata kelola panggung yang standard. Lampu yang berkilau, panggung yang besar, background yang epik, dan lain sebagainya. Tapi di pementasan yang dilakukan Forum Aktor Yogyakarta, saya ga mikir bakal sejauh itu efek perasaan yang dihasilkan. Tata kelola panggung yang minimal justru jadi bagian dari pementasan.

Jadi begini nih, Forum Aktor Yogyakarta, entah dengan motivasi apa memilih melakukan pementasan di tiga lokasi berbeda untuk satu buah pementasan. Dan entah dengan motivasi apa pula, ni orang-orang memilih di lokasi yang kurang lebihnya memiliki kesamaan ukuran lokasi pementasan: kecil/sempit/terbatas.

Dan ternyata keterbatasan ruangan adalah apa yang mereka cari. Keterbatasan ruangan yang biasanya jadi penghambat malah jadi keunggulan buat mereka. Ruangan Aula PKM FBS UNY kurang lebihnya hanya berukuran 10 kali 10 meter. Tiga sisi ruangan itu dipenuhi jendela-jendela untuk alur udara. Sangat membatasi untuk sebuah pementasan teater. Sebelum diadakanya pentas Forum Aktor Yogyakarta, ruangan ini pernah digunakan untuk pentas teater yang lain. Di pementasan itu, ruangan ini diblok sedemikian rupa dengan kain hitam dengan tujuan agar penoton terfokus dengan permainan.

Forum Aktor Yogyakarta menolak itu. Mereka tidak ngeblok ruangan dengan kain hitam. Mereka membiarkan jendela tidak tertutup oleh apapun. Mereka membiarkan suara-suara sayup dari luar ruangan, masuk ke dalam pementasan. Side wing keluar masuk pemain tidak disembunyikan seperti pada umumnya teater modern. Mereka menganut teater tradisional, dibiarin aja keliatan tu pemain yang lagi ga akting. Mereka membuat ruangan aula PKM FBS UNY menjadi bagian dari setting pementasan mereka. Dan yang paling menyenangkan buat saya adalah dengan ukuran aula PKM FBS UNY yang kecil itu, penonton dibatasi. Tujuan kesederhanaan panggung yang cadas bagi saya.

Lalu tata lampu dan musik juga ga kalah cadasnya. Sangat sederhana. Tapi masuk semua. Tata lampunya ga ada yang terlihat sebagai pemanis. Ga ada yang mengesankan diri ingin berkilau-kilauan. Semua dicukupkan sesuai kebutuhan akting saja. Kebutuhan fade out, kebutuhan mengarahkan fokus penonton dan kebutuhan-kebutuhan dasar pemanggungan saja yang dimainkan. Sederhana. Tapi masuk dengan sempurna semuanya.
Musik juga manis sekali memainkanya, cukup dengan laptop dan pianika. Tidak penuh dengan bunyi-bunyian yang ramai. Tapi bunyi-bunyian yang hanya terdiri dari satu-dua bunyi tapi mampu naikkin tensi. Tepat seperti mendengar saluang berbunyi. Syahdu dan gembira menjadi satu dibawakan oleh satu alat musik. Beringas.

Akting dibawakan Verry Handayani, Jamaluddin Latif, Elisabeth Lespirita, Cilik Tri Banowati, dan Padmo Adi. Saya g perlu bahas satu per satu orang-orang itu kan? Yang dua pertama itu udah tua semua. Yang tiga terakhir masih 20an umurnya.

Kesatuan pementasan yang dihasilkan oleh kesederhanaan-kesederhanaan itu sangat membuai. Kisah cinta yang jadi tema naskah ini sangat menggigit saya. Dengan jumlah penonton yang terbatas dan jarak antara panggung-penonton yang tidak sampai semeter (setengah aula digunakan sendiri untuk panggung, setengahnya lagi untuk penonton. Di bagian penonton pun masih beberapa bagianya dipake untuk menaruh peralatan pengatur lampu, musik dan kru panggung), akting pemain benar-benar dituntut sempurna. Dan para aktor berhasil mencapainya. Walaupun untuk mas padmo adi masih terasa sedikit di bawah keempat aktor yang lain. Saya benar-benar merasakan mimik muka, kerutan wajah, tatapan mata para aktor dengan sempurna. Saya merasakan bahwa saya sedang mendengar curhatan kakek-nenek yang di halaman belakang rumah saat sore hari, saya juga merasakan kegenitan dan kelembutan mbak mbak suster yang lagi ngomongin cowok di warung kopi masa kini. Saya juga merasakan kecanggungan dokter yang jaim dan merasa dipaksa curhat dan berbasa basi dengan pasienya yang menginap bangsal murahan. Aih, manis.

Simbolisme cinta yang dihadirkan dengan properti juga sangat menyenangkan. Sebuah kasur di tengah panggung jadi semacam simbol cinta di naskah ini. Dan pigura besar yang digantung begitu saja di antara panggung dan penonton (walaupun sudah klise) seperti ngajak penonton buat ngeliat masa depan cinta kita: "woi bro, ntar ente kalo tua bakalanya kayak gini nih".

Menyenangkan sekali memikirkan konsep pementasan dan pementasan naskah ini.

Hubungan pentas ini ama Andi Sri Wahyudi apaan? Konsep meminimalisir banyak hal dalam pementasan teater. Tapi Andi Sri Wahyudi selalu berhasil menerjemahkan ulang untuk menjungkirbalikkan nilai-nilai dan simbol-simbol. Sedangkan Forum Aktor Yogyakarta berhasil menerjemahkan ulang untuk mencapai khittah utama nilai-nilai dan simbol-simbol. Andi Sri Wahyudi dan Bengkel Mime Theatre sudah berhasil melalui banyak waktu, sedang Forum Aktor Yogyakarta sebagai kelompok baru berjalan.

Semoga Forum Aktor Yogyakarta mampu nunjukkin kalo pentas teater yang sempurna ga ribet di teknis.