Monday, October 25, 2010

Jakarta itu seperti semur jengkol

Saya bisa mengatakan diri saya sering berkeliling ke beberapa kota-kota di pulau jawa. Dari semua kota yang saya datangi, cuma Jakarta yang selalu bawa pikiran ketika saya kembali di Yogya. Jakarta terasa istimewa, walaupun seringnya tiap saya ke sana selalu saja dicelakakan. Kemaren saya ke Jakarta dan saya alami lagi ketololan-ketololan Jakarta.

Tiap saya ke jakarta, terutama di daerah sudirman dan tamrin, selalu saja saya lihat banyak perempuan-perempuan cantik di antara hitam dan sumpeknya udara jakarta yang penuh polusi. Saya tidak bisa mencari logika bagaimana perempuan-perempuan itu tetap terlihat cantik dan sedap dipandang mata. Saya selalu merasa betapa indahnya perasaan-perasaan mereka; berbaju bagus, bermake-up cantik, bergadget bagus, punya pekerjaan bagus, punya banyak teman, punya keluarga sempurna. Aih, selalu saja saya iri dan sirik melihat mereka; mereka benar-benar bidadari-bidadari dunia; penuh kesempurnaan. Tapi Acep mengingatkan saya untuk tidak berpikir dan bermimpi mendapatkan salah satu dari perempuan-perempuan yang selayak bidadari itu. Acep mengajak saya untuk tetap merasa jomblo. Di sini, saya merasa Jakarta seperti semur jengkol.

Pas di Jakarta kemaren, saya pergi ke summit mas. Di sana saya pergi ke warung kecil di pojokan parkiran motor summit mas. Di warung kecil yang sepi itu, saya meminum teh sosro hangatnya, saya makan pula pisang gorengnya. Saya duduk di kursi yang menghadap jendela. Saya menikmati betul momen itu. Mata saya berakomodasi dengan jarak jauh. Saya berimajinasi ditemani seorang perempuan manis dan renyah saat itu. Saya nikmatin uap dari teh hangat saya. Saya tersenyum sendirian membaca pikiran-pikiran saya tentang perempuan. Saya benar-benar merasa di dunia saya sendiri waktu itu. Sampai saya dapet SMS buat sadar diri dan kembali ke dunia nyata dan tidak memikirkan kenangan-kenangan. Di sini, saya merasa Jakarta seperti semur jengkol.

Di Jakarta, saya merasa cinta dan perempuan seperti barang mewah yang bukan main mahalnya. Seperti barang-barang yang dipajang di mal-mall dan papan-papan iklan, terasa begitu dekat di mata tapi jauh sekali untuk dimiliki. Saya yang jomblo dan tidak tahu bagaimana cara bercinta dan mencinta cuma bisa iri dan syirik memandang keindahan-keindahan fisik yang ditampilkan Jakarta. Jakarta yang serba mewah dan mengagumkan itu adalah mimpi-mimpi yang sulit untuk dicapai saya. Tapi Jakarta yang punya banyak keindahan-keindahan perempuan dan cinta itu selalu menggoda saya untuk mencari celah-celah untuk bisa masuk ke dalamnya. Di sini, saya merasa Jakarta seperti semur jengkol.

Jakarta yang seperti semur jengkol akan terus seperti ini. Ia akan terus kontroversial untuk dikonsumsi. Jakarta akan terus membawa pro-kontra bagi diri saya. Jakarta adalah semur jengkol. Itulah kenapa, tiap saya ke Jakarta saya merasa perlu mampir ke warteg dan mengkonsumsi semur jengkol. Jakarta yang seperti semur jengkol akan terus menciptakan halusinasi kenikmatan tentang cinta dan perempuan.

1 comment:

  1. Hoy Pak... Kenapa kalo ke Jakarta perempuan Jakarta yang satu ini ngga pernah dikabarin? Waktu itu pas gw ke jogja ditelfonin hpnya ga aktif..

    ReplyDelete