Friday, November 13, 2009

Semakin fragmen

I

Kita memulai waktu waktu yang sepi. Sendiri.
Dalam hangat pagi. Senyum yang mentari. Menghirup semu.
Pun juga keliru, dari ikal rambutmu, aroma katamu. Kental
Membelenggu. Rusuk usiaku yang tak pernah menopang daging lelaki.


II

Mungkin terlalu lama membekukan hati. Hingga terlalu.
Sebab walau hanya bau, kita berani bilang rindu. Merdu.
Lalu gumam gumam malu mencatat peluh. Punggungmu yang penuh
Abjad abjad hasrat yang meliukkan resah. Narasiku yang hitam.

Sampaikah kita di ruang sajak hangat. Arah kiblat.
Di mana malam bukan angka-angka khayal. Atau bacaan sia sia
Hamparan kisah adam-hawa. Dendang lirik-lirik dusta.
Melajur hingga keras. Tak pernah tuntas. Ayat utopia.


III

Catatan dendam dijadikan halaman depan. Alasan panjang jejak kita.
Yang semula terasa labirin, malah makin belantara. Tak sederhana.
Tapi kita tetap asyik masyuk mengeja ruang istirahat.
Penuh kecupan. Vagina. Sajak. Kadang segenap ranjang.

Tanpa dialog pun, kita sudah jijik dengan tangis.
Kita bikin romantisme perasaan. Penuh seluruh.
Hingga imajinasi mengapi-api. Sampai masturbasi.
Di birahi instalasi. Instalasi birahi yang sunyi.

Kita makin lekas menyesat. Tak berkendali.
Tanpa merasa perlu ejaan akhlak. Atau altar tengkar.
Bukan lagi hutan, kita adalah kesemestaan.
Bukan lagi cinta, kita adalah asal muasal. Pekat.

No comments:

Post a Comment