Saturday, March 21, 2015

Teater Rodjeng dalam jurang: mengharap cinta ukhti KAMMI/PKS

Saya ingin membahas pementasan teater rodjeng yang mementaskan pementasan naskah berjudul "jurang". Judul resensi saya memang terlalu sarkas. Saya meminta maaf karenanya. Tapi saya tidak menemukan analogi yang saya rasa oke dan gayeng selain ini. Saya perlu membuat kalimat pembuka ini karena saya merasa saya akan membahas orang orang yang lebih tua dari saya. Jadi daripada terjadi salah paham yang berlebihan, saya meminta maaf terlebih dahulu.

Jadi begini, suatu malam di suatu bulan di tahun 2015, saya membaca berita ini di internet. Aku saranin anda baca berita itu. Oke baiklah, yang bikin berita di tempo itu agak kurang kerjaan. Memberitakan akan terjadinya sebuah pementasan yang diadakan seniman teater rodjeng, eh tapi make foto pementasan kelompok lain. Ha mbok foto salah satu tokoh teater rodjeng yang dijadikan foto ilustrasinya. Bukan kelompok lain. Eh tapi, bukan itu yang pengen saya bahas ding. Saya mau bahas kredo mereka yang sungguh bikin saya terpikat banget. Kalimat pertama di paragraf kedua berita itu pastilah bikin kita semua berdecak kagum.

"Pementasan tersebut merupakan pertunjukan perdana teater beraliran realis yang tenggelam semenjak tokohnya, Pedro Sudjono, pendiri Teater Muslim meninggal pada 1997"

Lalu di dua paragraf terakhir berita itu dijelaskan mengenai bagaimana W. S. Rendra terkesan memberi pengaruh untuk mengurangi eksistensi teater realis. Hanung, di berita yang lain menegaskan jika W. S. Rendra memiliki dosa kecil. Ok baiklah, ini benar benar kredo. Saya suka. Kesan yang saya dapat, mereka sedang berusaha membongkar kejumudan. Suka. Mereka ingin mengajak kita, masyarakat/calon penonton untuk terbang lebih tinggi, untuk mengalami tontonan yang beda dari tontonan di tahun tahun belakangan ini. Di sisi lain, mereka juga mengajak kita kembali ke khittah teater realis. Ke bentuk awal yang sekian lama ini, mereka rasa, direduksi. Itu ayangan saya ketika membaca berita ini, membaca sebelum hari pementasan datang. Suka, merasa tertantang, dan berharap mendapat pencerahan yang luar biasa.

Belum lagi, susunan aktor-aktor teater rodjeng yang sungguh memukau. Saya beri anda poster pementasnya. Memukau bukan aktor-aktornya. Anda bisa menelusuri nama-nama besar itu di sejarah teater yogya. Nama-nama yang sangat identik dengan militanisme dan puja-puji. Belum lagi visual posternya yang entah bagaimana membuat saya merasa ada di tahun 60-70an, tahun tahun ketika para aktor itu mendedikasikan gairah hidupnya di teater. Poster yang sederhana, klasik dan tidak bertetek bengek dengan visual kontemporer yang serba memainkan efek-efek visual yang besar. Di poster ini saya merasa, teater rondjeng berkata: "heh kopet kopet manusia modern yang kebanyakan mikir tapi ga ada isi, ini aku!"


Hari pementasan pun tiba. Saya dengan gagahnya, dengan harapan yang menggebu mendatangi TBY. Saya berpikir saya telat, tapi ternyata tidak. Cukup lama saya menunggu, kursi penonton pun penuh. Hingga beberapa penonton yang datang belakangan pun harus duduk di jalan antara kursi-kursi societet. Oke baiklah, teater rodjeng berhasil menjadi magnet yang kuat. Eh tapi ternyata, pementasan belum dimulai. Hingga datanglah pejabat kita dari dinas provinsi. Dan MC pun membuka acara. Dan terjadilah dua pidato dari pihak dinas kebudayaan. Oke baiklah, di sini saya sudah mulai curiga tidak enak. Kelamaan sob, lama, make pidato segala, pejabatnya telat segala. Dan MC pun menyatakan pentas dimulai. Tepuk tangan penonton ramai menyambutnya, saya lega bebas dari pidato.

Pentas dimulai dengan seluruh aktor berdiri di sudut utara panggung. Ternyata mereka sedang mendoakan seorang kernet yang meninggal dan dikuburkan di situ. Lalu setelah berdoa, adegan pun dimulai. Kekesalan diceritakan dengan baik, emosi aktor kerasa. Untuk Hanung, kadang terasa berlebihan aktingnya. Di situ diceritakan sebuah bus jatuh ke jurang, sehingga mereka terisolasi. Make up di setiap aktor yang dipenuhi bercah merak darah dan tambalan kassa di mana mana cukup menyakinkan saya bagaimana kecelakaan bus terjadi. Oke, menyakinkan, realistis. Eh tapi itu baju dan tetek bengek kostum kok sangat bertolak belakang dengan make up. Kostum, tas, kotak P3K, terlihat benar benar sangat baru. Benar benar tidak ada bekas tanah, atau darah, atau apapun yang menandakan jika tetek bengek kostum itu habis berguling guling dengan ekstrimnya. Di sisi kostum ini, saya mulai sangsi. Kok sangat tidak detail ya perhatianya. Padahal, settingnya cukup menyakinkan. Bagian depan bus yang nyungsep begitu epiknya, pohon pohon yang begitu besarnya (bahkan daunya masih terlihat sangat segar, seolah olah pohon itu memang pohon beneran), dan backdrop yang begitu besar menutupi sisi belakang panggung digunakan untuk memberi kesan bebatuan. Tapi kostum itu benar-benar membuat saya agak gimana gitu.

Baik, kita sampingkan perihal kostum itu. Berikutnya, kting berjalan lancar. Halus, gerak tubuh aktor yang sangat mulus. Saya ngeliat betul kenapa orang-orang tua itu pantas dipuja-puji. Konsistensi gerak tubuh yang cadas, seolah olah tubuh itu mereka kuasai 100%. Tanpa cacat. Suka saya. Tapi sayang, aktor mudanya, di anin terutama dan hanung itu saya ngerasa kurang naik dikit. Eh sory, hanung terasa over dikit. Entah karena dia berakting sebagai orang yang tempramental sehingga aktingnya terlalu berlebihan, atau entah bagaimana, entahlah. Buat anin, saya ngerasa dia canggung aja si. Triyanto Hapsoro lumayan enak tu, seolah olah dia sedang menikmati keseharianya tanpa peduli penonton. Enak. Aktor yang jadi istri triyanto hapsoro juga terkesan renyah. Saya menkmati keseluruhan akting dengan senang. Lugas, renyah, nikmat, kayak makan rendang yang dagingnya direbus sekian lama hingga benar benar empuk.

Lalu malam menjelang, pagi datang. Lampu sungguh benar benar tahu diri. Realistis. Panggung tidak ingin bersolek ria dengan lampu. Lampu digunakan hanya sebagai sumber cahaya alam. Nyenengin. Bahkan ketika pagi datang, suara burung burung ikut ditampilkan. Memberi kesan pagi hari banget. Sinar bulan yang temaram juga berhasil ditampilkan lampu. Cahaya petir juga. Penempatan lampu benar benar bikin saya asik. Tapi ada satu masa ketika lampu terasa menjadi simbol. Padahal mereka terkesan menolak simbol, menolak sesuatu yang tidak realistis, suatu kebenaran yang tidak dapat diuji secara empiris. Yang saya maksud ketika sebuah celah ditemukan oleh salah satu aktor. Tiba tiba dari gua (yang secara fisik tidak ditampilkan) yang pas ditemukan itu keluarlah cahaya. Di sini, saya merasa kalo teater rodjeng bermain simbol. Bukan simbol kalo di situ ada sebuah saluran yang dapat meneruskan cahaya. Tapi cahaya itu sendiri saya rasakan sedang mereka mainkan sebagai suatu "harapan" di "kegelapan" konflik manusia. Mungkin juga saya terlalu sensitif memaknainya.

Ada lagi hal yang bikin saya khawatir ketika menonton pementasan itu. Luka yang dialami wartawan. Entah karena saya meleng pas nonton atau bagaimana, tiba-tiba wartawan yang sebelum malam datang asik dengan kameranya untuk merekam kejadian terisolasinya mereka, di hari berikutnya sudah tidak bisa memotret karena mengalami luka-luka, sehingga tanganya perlu disangga arm sling. Saya bingung di sini. Bisa juga itu karena saya melewati adegan. Maaf, di sini saya blank.

Balik lagi ke alur. Setelah malam datang, setelah mereka menemukan gua yang diduga menjadi jalan keluar, mereka berusaha membuat tali-temali untuk menyusuri gua itu. Di saat orang pertama akan memasuki gua dengan tali temali itu, dari side wing sisi selatan, datanglah seorang pedagang. Dengan santai dan nikmatnya ala penjual-penjual rokok malioboro, si pedagang berjualan  ke orang orang yang terisolasi itu. Permainan akting yang sempurna terjadi di sini. Sehingga efek lucunya benar benar mendarat dengan sempurna di otak penonton. Sebenarnya, berbagai macam efek yang dihasilkan oleh akting-aktingnya emang bagus. Bahkan di beberapa tokoh bisa dibilang sempurna menyenangkanya. Kedatangan pedagang ini bikin saya terkejut. Keterkejutan pertama saya (karena saya dibuai oleh alur cerita mereka yang sederhana tapi kena itu) adalah ternyata ada jalan keluar, ternyata mereka sebenarnya tidak terisolasi. Keterkejutan kedua (yang bener bener bikin saya shock berat) adalah alasan tidak masuk akal dari si pedagang itu. Keterkejutan ketiga saya (kembali lagi ke kredo besar mereka yang ingin menampilkan teater realis, yang sehari-hari, yang empirik, yang tidak bersimbol) adalah ternyata pedagang di pementasan itu sedang menyimbolkan sesuatu yang besar, sesuatu yang bagi saya sangat signifikan pengaruhnya jika dihubungkan ke kredo mereka itu.

Yak, saya terkejut dengan kedatangan pedagang itu. Bahkan saya merasa mereka sedang melakukan dua pementasan yang berbeda. Kehadiran pedagang sebagai titik balik terasa tidak logis sekali alasanya. Sebenarnya, di pementasan itu, dialog-dialog aktor-aktornya menyampaikan dengan sempurna kepada penonton alasan pedagang. Si pedagang yang mengejutkan ini, melihat kejadian ketika bus masuk jurang. Lalu dengan insting berjualan kapitalisnya, ia menyusuri hutan menuju lokasi lokasi jatuhnya bus itu. Di sini saya merasa saya menjadi manusia yang teramat berbudi pekerti luhur nan pengertian sekali. Karena ternyata di dunia ini, ada orang yang saat melihat kecelakaan ekstrim, memilih untuk tidak melaporkan ke pihak berwenang dan memilih untuk berjualan di sekelompok orang yang terisolasi itu. Cadas sekali alasanya. Baiklah, saya minta maaf atas nyinyir saya itu. Tapi saya benar-benar merasa ganjil dengan kehadiran pedagang dan alasanya itu. Saya pun meminta wahyu pencerahan ke beberapa orang. Teman-teman saya itu, merasa jika kehadiran pedagang itu sesuatu yang bisa diterima dengan logika panggung. Karakter tokoh pedagang yang kuat, dan dialog antar tokoh untuk menyampaikan alasan kehadiran pedagang itu tercipta dengan baik dan wajar sesuai dengan alur cerita sebelumnya. Saya setuju dengan bagaimana tokoh pedagang hampir tidak bercacat di aktingnya saat membawa ketokohanya. Saya juga menerima jika bangunan latar belakang hadirnya tokoh pedagang dibuat dengan rapi dan kuat. Yang saya tidak terima adalah apa benar di kehidupan nyata, inspirasi utama hadirnya teater realis, itu ada.

Saya ingin mengutip kalimat milik seseorang, ialah: 

"karakter dasar dari the well-made play: eksposisi situasi dan karakter yang jelas; persiapan-persiapan yang matang menuju peristiwa-peristiwa selanjutnya; titik balik yang tak terduga namun logis; ketegangan yang terus berlanjut dan makin memuncak; dan terakhir adanya resolusi yang logis dan dapat dipercaya."


Semua syarat-syarat itu hampir terpenuhi oleh teater rodjeng. Tapi di syarat titik balik yang logis, yangdi pementasan ini titik baliknya anggap adalah pedagang, terasa tidak logis. Teater realis saya rasa berangkat dari kebenaran yang dapat diuji, suatu kebenaran yang empiris. Dan dalam wawasan saya, kedatangan pedagang itu tidak empiris. Apalagi kemudian, dialog-dialog para aktor saat pedagang datang, terasa dipenuhi dengan simbol simbol. Dari masalah pro-kontra kapitalisme, lalu pengorbanan-pengorbanan demi nama kemanusiaan yang dibungkus dengan humor gelap nan satir. 

Pesan-pesan moralitas yang dihasilkan dari dialog-dialog penuh konflik di pementasan ini, walaupun terlalu banyak, mengalir dengan baik. Hal ini diciptakan dengan bagaimana naskah/sutradara dapat membagi dengan sempurna timing-timing per adegan-adeganya. Pembagian konflik antar tokoh terasa tidak mengganjal terlalu banya. Jadi saya merasa sangat tidak kaget sama sekali, seberapa pun gelapnya humor dan beratnya pesan yang dibawa. Tetapi itu semua terjadi sebelum kedatangan pedagang. Begitu pedagang datang, saya lalu merasa, ini bukan pementasan realis lagi. Saya merasa tiba-tiba sedang menonton pementasan yang berbeda dengan pementasan sebelumnya. Bahkan terasa semua hal yang dibangun sejak tirai panggung dibuka menjadi rusak karenanya. Maafkan saya harus berkata kasar macam ini, tapi saya merasa sangat sangsi dengan kehadiran pedagang kapitalis kita ini.

Selebihnya, saya merasa pementasan ini berhasil. Walaupun ada adegan-adegan yang bagi saya penting tapi dilewatkan begitu atau sebaliknya, pementasan ini berhasil. Tokoh-tokoh teater yogya yang merasa terlupakan ini, sudah berhasil menunjukkan eksistensinya. Semoga itu berlanjut. Biar yang lebih muda dan kurang pengalaman ini dapat berkembang. 

Akhirul kallam, semoga pementasan ini, tidak seperti lelaki non KAMMI/PKS yang sedang mendekati gadis KAMMI/PKS; begitu harapanya dicampakkan begitu saja, eh baik si gadis atau si lelaki malah putus asa dan merubah orientasi seksualnya. 

Salam super!!

No comments:

Post a Comment