Sunday, April 8, 2012

Sukma dan cahaya yang entah bagaimana



Demikian itulah bermula
Sebuah klise:
Seorang anak, yang berkata,
“Aku pergi ke sebuah sore”

Dan seperti semestinya sebuah sore, cahaya matahari dan cahaya lampu akan saling bertabrakan menciptakan fiksi kota yang menjadi pesolek paling urban. Dan di situlah saya melihat ketidakadilan manusia pada cahaya. Ketidakadilan yang dingin, ketidakadilan yang hanya berdasar kelaziman. Di malioboro, di kota yang sejarahnya dipenuhi ketidakadilan dari para pesolek. Maka, saya menjelmakan diri saya sebagai Zarathustra yang membawakan cinta yang mampu menanggung seluruh hukuman dan kesalahan cahaya pada manusia: sebuah sukma.
Begitulah saya datang pada malioboro, membawa sukma dengan semangat sajak-sajaknya. Mencoba membuat lampu-lampu ini berjaga padanya. Semangat itulah yang mau tidak mau membuat saya memotret perempuan ini. Lampu-lampu yang remeh-temeh dan menyusahkan ini membuat saya sering jengkel setiap mencoba mendapat pemandangan kota di malam hari. Dengan memotret perempuan ini, saya mencoba untuk mencari sisi indah lampu-lampu ini. Sisi indah kota malam hari di tengah perempuan urban. Dan sepertinya, cahaya dan kota dan perempuan yang bersajak adalah perpaduan yang cukup menyulitkan. Kesulitan yang permanen. Sempat saya merapal sajak “Di malioboro” milik GM, tapi tak ada yang akan bisa diterangkan, rasanya. Saya sampai pada titik sadar jika saya masih amatir dalam hal memotret. Saat itu juga saya menyerah. Bukan pada sukma yang bersajak atau kota yang bercahaya. Tapi pada ilmu pengetahuan yang semakin banyak melahirkan keajaiban. Hingga dongengan leluhur malu tersipu. Hingga saya tak menemukan kata-kata untuk mengungkapkan kesulitan saya ini. Hingga saya harus banyak mengutip banyak ucapan-ucapan orang untuk mengungkap betapa sulitnya sukma, malioboro, dan cahaya saat ada di mata dan kamera saya. Pada akhirnya, narasi ini akan saya akhiri dengan kutipan puisi Komang Ira:

Aturan-aturan tak mesti dipatuhi
Badai mengubahnya lebih indah
dari segala arah angin
Memukul-mukul bebatuan
Dengan tanganya
Yang bernama ketiadaan

Retaklah batu
Seperti bulat mata mereka yang pucat






1 comment:

  1. aku berkomentar pada suatu sore yang tergusurr malam,.hello midnaight

    ReplyDelete