Tuesday, May 3, 2011

Paa: Film bertema cerdas yang dirusak soundtrack ala joget india


Ini film cerdas dari segi temanya; mengangkat soal penyakit progeria (saya sarankan anda gugel dulu untuk ngertiin kata ini). Memang keseluruhan film tidak menceritakan soal penyakit ini, tapi kehidupan sosial dan pribadi penderita penyakit progeria. Dan ini saya pikir adalah pendekatan yang cerdas, walaupun sudah mulai terasa klise. Pendekatan ini sering kita lihat di pertunjukkan-pertunjukkan Indonesia; Laskar pelangi, atau opera drama Ali Topan, atau film Ayat-ayat cinta yang termasyhur itu. Tapi ini film india, bung! Di mana dan kapan anda ketemu film india yang ga ngomongin cinta-cintaan pake joget-joget geje dengan pak polisinya yang begonya ngalah-ngalahin polisi indonesia.Pasti jawabanya “jarang” kan? Maka dari itu, saya sarankan anda melihat film PAA ini.

Film ini dibuka dengan manis. Sangat manis bahkan menurut saya. Salah satu aktor film, perempuan berusia 50an, sedang duduk di tangga dan menyanggul rambut. Ia ditempatkan di pinggir kanan layar. Lalu dia melihat kamera, melihat penonton, melihat kita, dengan teduhnya ia berkata “PAA”. Tulisan huruf latin “PAA” lalu terbentuk di kiri layar, lalu digantikan tulisan india. Berikutnya ia mengenalkan tim kerja film itu, satu per satu. Dengan senyum mengembang, seolah-olah kita juga bagian dari tim kerja itu – dan mengenal semua kru yang disebutkan – hingga mengalami banyak keakraban di sana, sampai-sampai pantas untuk diajak tersenyum hangat oleh sang perempuan. Saya terkesan dengan pembukaan ini.

Dan film ini mulai bercerita mengenai seorang anggota parlemen India, salah satu tokoh utama film ini, yang mengunjungi sebuah sekolahan. Ia bertemu Auro, anak umur 12 tahun penderita progeria. Progeria adalah penyakit yang membuat fisik seseorang menjadi sangat lemah seperti fisik orang tua. Si Auro, anak umur 12 tahun, memiliki fisik seperti orang yang berumur 80 tahun. Tapi mentalnya normal. Kecerdasan dan kreativitasnya pun di atas normal. Kunjungan si M.P (member of parliament/angota parlemen) ini diliput sebuah televisi. Liputan televisi ini kemudian ditonton oleh si ibu Auro.

Dan di sinilah euforia cerita india dimulai india dimulai; flashback masa lalu si ibu yang dipenuhi fragmen-fragmen gambar (permainan fragmen-fragmenya manis) dan lagu-lagu india. Saya tidak mendiskreditkan sebuah soundtrack tapi saya sedang melihat film. Bukan opera drama, film musikal atau apa pun. Bagaimana saya bisa menikmati filmnya, jika begitu musik masuk, semua dialog hilang. Yang ada hanya gerak aktor untuk mengiringi soundtrack, bukan sebaliknya. Dan itu berlangsung lama, sekitar 5-6 menit. Sangat mematikan. Sudah begitu liriknya lagunya sangat membosankan: “muri, muri, kaha, kaha..kaha kaha muri muri i te khafase....juri juri..muri muri...”

Demikianlah cerita berlangsung. Si ibu Auro ternyata tidak bersuami sewaktu melahirkan Auro. Dan ternyata si M.P adalah ayah Auro. Di tempat lain, Auro berkomunikasi dengan M.P tanpa tahu jika M.P adalah ayahnya. Sang M.P pun tidak tahu jika Auro adalah anaknya. Yang M.P tahu, sang ibu Auro berencana menggagalkan kelahiran Auro. Itu pun diketahuinya 14 tahun lalu, karena selama 14 tahun belakangan, sang M.P dan ibu Auro tidak pernah berkomunikasi.

Begitulah konflik dan cerita india berlangsung. Manis memang cerita dan konflik ini. Lebih dewasa dan matang penceritaanya dibanding film india yang berbau-bau cinta lainya. Jika anda mengakui keunggulan dan kekurangan film “Three Idiots”, film ini tidak jauh dari itu. Bagus tapi banyak dirusak oleh musik ala joget india. Dan ini yang paling parah: ending film ini sangat rusak sekali. Semua kecerdasan tema, gaya cerita, dan penggarapan dialog dirusak oleh satu ending yang terkesan masih berkiblat ke gaya film india pada umumnya. Satu yang spesial di film ini, ialah tokoh Vishnu. Seorang anak kecil yang mengalami disorientasi dengan ayahnya. Sayang, ia tidak digarap lebih panjang, hanya dijadikan sebagai penghubung cerita saja.

No comments:

Post a Comment