Sunday, December 6, 2009

Kupukupu itu landing di Padang

Saya pertama kali bertemu dia di depan warnet Bayonet. Kami akan mancari tempat makan untuk saling ngobrol. Ayam Goreng Ninit adalah tempat kami berkisah dan menghilangkan lapar. Dia bercerita tentang lelaki temanya yang menyukai dia, seorang lelaki yang berbeda agama dan sangat patuh pada agama Islam. Teman saya yang beragama Hindu ini bukan mempermasalahkan perbedaan agama tapi lebih ke sikap aneh dan lucu sang lelaki dalam merayu teman saya. Kami bercerita seru. Lalu dia memberiku sebuah buku antologi cerpen. Kami lalu berpisah kembali.

Kemudian dia mengajak saya mengikuti acara bedah buku antologi cepen miliknya, seminggu setelah pertemuan pertama kami. Saya setuju. Di sana saya mulai tahu betapa perempuan ini memiliki perilaku-perilaku yang agak kelelakian. Setelahnya, saya sudah tidak bisa menghitung berapa kali kami bertemu dan berbincang tawa. Dia pun sering menolong saya dalam kondisi finansial. Berbagai aktivitasnya pun sering agak menghabiskan energinya aku rasa, hingga saya berpikir kapan teman saya ini memiliki seorang pendamping lagi.

Di awal tahun 2008, dia memproklamasikan diri sebagai seorang jomblo, dan begitu bangganya ia terhadap status jomblo. Saya ingat dia pernah berencana pada saya akan menyandang status jomblo selama beberapa bulan; “mungkin selama setahun” ujarnya. Ah, betapa saya merasa miris dengan ujaran semacam itu. Kemudian perempuan ini pun beraktivitas semakin penuh, semakin intensif di dunianya. Ada yang mesti dikejar. Bukan lelaki. Bukan sesuatu tentang hubungan cinta lawan jenis. Di antara kesibukanya pun kami masih sempat bertemu, bercanda-canda, berhahahaha-hihihihihi…., semua hanya tentang relaksasi, tidak ada keseriusan.

Hingga suatu waktu dia dan teman-temanya mengatakan akan pergi ke Padang. Bertemu teman-teman untuk mengakrabkan dunia-dunia yang ada. Perempuan teman saya ini pun pergi dengan penuh semangat bersama teman-temanya. Pikiran mereka hanya satu; Puisi. Selebihnya hanya pikiran-pikiran tidak penting lainya. Beberapa lama di Padang kemudian mereka kembali ke Yogya, tapi temanku dengan penuh percaya diri pergi ke Malang. Kemudian kembali lagi ke Yogya. Aktivitas perempuan temnaku pun kembali seperti semula. Hingga kemudian mesti berangkat lagi ke Jakarta. Di Jakarta pun dia dengan penuh cuek-bebeknya tinggal selama dia mampu, padahal jadwal yang mesti dia patuhi hanya selama tiga hari. Akhirnya entah bagaimana Tuhan membisikkan sabda pada perempuan ini untuk kembali ke jogja. Saya dan teman-teman sudah merindukanya sewaktu itu, ingin bersenda gurau kembali, ingin bercerita kembali, ingin saling mengejek-ejek lagi.

Datang dari Jakarta dengan penuh senyum kemenangan sepertinya, temanku ini lalu berakrab-akrab lagi dengan dunia yang sepertinya makin membosankan ini. Begitu membosankanya hingga suatu waktu di malam hari ketika saya membutuhkan pertolonganya, dia mengabari saya bahwa dia telah memiliki seorang lelaki yang akan mengisi hari-hari hatinya. Ah, saya terkejut, seorang perempuan yang terkesan sudah cukup matang dan menguasai dunia dengan segala senyum dan positive thinkingnya itu pun ternyata membutuhkan, dan akhirnya telah mendapatkan lelaki. Ah, benar-benar…

Ternyata Cinta adalah sesuatu yang begitu kuat di dunia. Padang-Jogja memiliki jarak yang tidak dekat, sangat jauh. Dan jarak yang jauh itu dihancur luluh-lantakkan dengan kepercayaan dan Cinta. Wah, dunia membosankan menjadi berubah….Senyum-senyum lebih sering keluar, kata-kata bahasa Padang lebih sering keluar. Kalera benar bukan jika Cinta yang ada!?Dan itulah, dunia membosankan ini sekarang diisi oleh kosakata-kosakata Padang. Aku sama sekali tidak mengerti bahasa Padang, yang aku tahu masakan Padang itu benar-benar menggoda.

Dan mungkin seperti itulah lelaki Padang itu di hati teman perempuan saya; benar-benar menggoda. Dia pun dengan ikhlas diejek teman-temanya, nada bercanda pastinya. Dia pun ikhlas ditertawai teman-temanya. Dia pun dengan ikhlas memakai semacam kerudung agar terlihat lebih mempesona, ah Cinta, Cinta…..

Akhirnya segala sesuatu menjadi begitu relatif; tidak ada perempuan bali teman saya yang agak-agak brutal, tidak ada lelaki penjaga norma adat-istiadat dan penganut Marx. Tidak ada sesiapa. Bahkan jarak pun mungkin menghilang dengan bahagia. Yang ada dan menjadi warna hanya Cinta.

Dan akhirnya, lihatlah saudara-saudara sekalian, kami berbahagia, kami sedikit kehilangan beberapa bagian dari teman saya. Tapi kami senang sekaligus hampir tidak percaya. Betapa dunia begitu indah dengan Cinta. Betapa segala-galanya adalah Cinta.

Seperti puisi bagi para penyair; Puisi adalah segala-galanya, biarlah penyair mati dan puisi hidup dengan penuh bebas lepas ke angkasa luas sastra.

Dan begitulah Cinta. Tidak ada apa-apa selain Cinta. Hanya Cinta. Dan melodi kepercayaan.

No comments:

Post a Comment