Sunday, December 6, 2009

Kalera

I
Melayu dan Sastra Indonesia

Sastra indonesia, terutama puisi kurang lebihnya kebanyakan diisi oleh sastrawan-sastrawan dari pulau sumatera. Tidak ada surveu khusu memang mengenai hal tersebut tapi bisalah say sebut nama-nama kondang seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, Sitor Sutumorang, Sutardji Calzoum Bachri, Gus TF, Hasan Aspahani, dan sampai generasi yang paling muda semacam Iyut Fitra dan Esha Tegar Putra.
Lingua Franca di kawasan kepulauan dan dataran melayu, khususnya Indonesia mungkin yang jadi pernyebabnya. Bahasa Melayu mungkin penyebabnya. Sastrawan-sastrawan melayu begitu menguasai bahasa melayu (yang diresmikan sebagai bahasa persatuan NKRI), hingga begitu besar sumbangan mereka ke dalam sastra Indonesia. Kepandaian mereka mengolah dan kekayaan kosakata bahasa ibu mereka berpengaruh kepada kebesaran nama mereka dalam dunia sastra Indonesia.
Pantun yang merupakan puisi lama lebih dikenal dari kawasan melayu. Pun gurindam. Puisi Indonesia dari zaman ke zaman mau tidak mau memang pasti diisi oleh para sastrawan-sastrawan melayu. Seberapa besar jumah mereka bukanlah masalah.

Benar-benar menyolok bukan hubungan antara kawasan melayu, sebagai penghasil bahasa nasional Indonesia dengan jumlah sastrawan-sastrawan mereka di dunia sastra Indonesia. Bisa dikatakan memang begitu bukan!?ini sebuah penegasan dan pemaksaan lho ya!jadi anda harus nurut mau saya ini.
Lalu apa kemudian kita harus menuju dan berubah menjadi berkebudayaan melayu untuk menjadi besar di dunia sastra Indonesia?wah…ini terlalu sinis, tidak bagus!!!Atau bagaimana?

Tapi kemudian jangan diartikan bahwa semua wilayah selain kawasan melayu tidak menghasilkan sastrawan-sastrawan besar. Jangan lho ya!

II
Puisi menjadi begitu indah jika dibangun dengan cinta bukan!?

Puisi adalah manisfetasi sang penyair. Ketika puisi lahir, penyair harus mati, sehingga yang tersisa dan hidup adalah puisi. Karena pada akhirnya sang penyair akan tercermin sendiri dari puisi. Puisi adalah sakralitas sebuah idealisme pemikiran dan perasaan, yang artinya tidak boleh diganggu gugat oleh tingkah-tingkah penyair. Tidak ada penyair, yang ada hanya puisi. Begitulah ketika kita membaca puisi. Suatu filosofi yang sepertinya akan terus bertahan dan tetap dipertahankan oleh para penyair Indonesia. Tidak bisa disalahkan memang dan memang seperinya begitu.

Kemudian kemana para penyair setelah dimatikan oleh puisi mereka sendiri?mungkin jawabanya adalah berkreatifitas lagi, ber-ML lagi dengan idealisme, lalu mengandung kata-kata di rahim pikiran agar kemudian pada saat yang matang, air tuba idealisme keluar dan mereka berteriak kesakitan mengeluarkan bayi puisi. Setelah bayi puisi lahir, biarlah penyair tertawa berbahagia atas usahanya, menikmati keegoisan dan kepuasan. Dan berikutnya adalah melepaskan puisi itu ke dunia belantara sastra Indonesia untuk hidup dengan bebas. Saat itulah, penyair meninggal. Seterus-terusnya begitulah hubungan penyair dan puisi. Tak ada penyair, yang ada puisi. Puisi tak perlu penyair untuk hidup.

Akhirnya, penyair harus terus ber-ML-ML ria dengan perasaanya dan kehidupanya untuk terus-menerus melahirkan bayi-bayi puisi baru. Apakah resepnya?Mugkin saya jawab dengan pengamatan saya kepada para penyair; CINTA. Aih, bukankah kata itu begitu indah sekaligus penuh tafsir.

Puisi yang dibangun dan berpondasi cinta memang menggoda untuk terus digoda dan dijamah untuk diperiksa. Apakah cinta hingga begitu besar pengaruhnya terhadap puisi?cinta adalah bagian paling besar dan paling dasar yang mempengaruhi kehidupan manusia, termasuk penyair. Apakah penyair harus bercinta agar bisa mengahsilkan puisi?ah, naif sekali pertanyaan yang satu ini. Jadi bagaimana?apa penjelasan yang tepat untuk hubungan antara cinta dan puisi?maaf, saya tidak ingin menjawab pertanyaan ini, saya bukan sesiapa, bukan manusia paripurna yang mampu menjelaskan semua fenomena-fenomena dunia, apalagi yang fenomena yang tak kasat mata semacam ini. Saya hanya bisa merasakan betapa puisi begitu mempesona ketika cinta menjadi salah satu pondasi utamanya, semacam puisi Komang Ira ini:

Malam Upacara
: ir

mudah-mudahan bukan karena kau
akhirnya aku menyukai gerhana bulan
menepis segala mitos-mitos buruk
tentang Kala yang memburu Ratih
memangsanya, menelan cahayanya
dan bulan makin renta menahan luka

entah dengan cara apa
kita menerjemahkan luka
kadang kita ragu membuat sesaji
berisi bunga yang rindu mengecup tanah
wangi asap dupa sembunyi di rambutmu
juru kidung terbata menembang kenangan

lalu serupa para penari
aku senyap di penataran
pohon jadi sepi, langit penyap
aku lenyapkan ruh dari tubuh
cahaya mengintip di sela-sela
merah jingga seperti senja

semakin kuakrabi kesunyian
seperti bisu kayu cendana
yang dilumat api suci
aku terkenang embun segar masa kanak
sulur usia bingung mencari arah mata air
dan aku seperti patung yang linglung

mudah-mudahan bukan karena kau
akhirnya aku menyukai gerhana bulan
langit mungkin terlibat sungsang
tersedu di lingkung bayang-bayang
belenggu waktu semakin dekat dan pekat
membias panah-panah ungu ke jantung bulan

tapi percayalah,
aku mulai melihat
gerhana bulan adalah sebuah kerinduan

Jogja, 2007

Begitu indahnya hingga puisi ini sempat dimusikalisasi oeh seorang penyair lainya dan tidak disebarluaskan, hanya untuk koleksi pribadi. Untuk mendengarkanya pun harus seizin sang pembuat musikalisasi puisi terebut. Begitu penuh penghargaan memang puisi-puisi yang dibuat dengan cinta. Baiklah, mungkin saya terlalu vulgar memberi contoh. Tidak harus puisi tentang cinta yang dibangun dengan cinta oleh penyair. Yakinlah puisi yang dibangun dengan cinta akan terasa keindahnya sendiri. Seperti keyakinan dan kata TSP, puisi adalah spiritualisme. Spiritualisme adalah sanubari dan tak kasa mata. Maka dari itu, rasakan puisi dengan hati agar kita mengerti betapa indah puisi yang dibangun dengan cinta.

III
Cinta, Sastra, Melayu, Kaum muda dan Indonesia (yang tidak pernah tahu betapa besar pengaruh penyair untuk Negara ini)

Jika suatu kapan entah nanti ada hubungan cinta antara dua penyair akankah tercipta suatu puisi yang sangat dan sangat indah?Ah, mungkin ini hanya harapan yang masih terlalu muluk seorang pembaca. Tapi, apakah salah kita berharap begitu?hhhhmmm…..sepertinya tidak bukan?saya harap kita semua setuju. Mungkin gelombang-gelombang hangat cinta mereka akan mempengaruhi secara signifikan tingkat kreatifitas mereka berpuisi.

Lalu saya akan bernakal-nakal ria dengan bertanya dengan penyair siapakah para penyair akan berhubungan cinta?bagaimana jika saya jawab dengan penyair Padang atau mungkin dengan penyair Bali atau mungkin dengan penyair Jogja?Ketiga wilayah tersebut cukuplah mewakili kantung-kantung penyair Indonesia yang memiliki pengaruh, (kekekekekkeke…maaf ya Jakarta). Saya akan memfokuskan diri dengan daerah Padang, sebuah daerah yang terkesan masih eksotis.

Memiliki banyak penyair muda yang potensial semacam Romy Zarman, sepertinya kita memang harus melirik sebentar ke Padang. Daerah ini baru mengadakan pertemuan para penyair. Oleh salah satu penyair Padang, perjumpaan itu lebih dikatakan secara filosofis; perjumpaan puisi. Sebagai tempat perjumpaan puisi, kita bisa menduga secara pasti jika Padang memiliki kualitas tertentu perihal puisi sehungga dipilih sebagai tempat perjumpaan. Dan kemudian ternyata (Alm) Chairil Anwar mempengauhi perjumpaan puisi itu secara intens. Bisa kita duga bahwa betapa indah perjumpaan puisi yang berlangsung di Padang. Berbanding lurus dengan itu, artinya sang tuan rumah, yaitu para penyair Padang tentu juga memiliki keindahan tertentu perihal puisi.
Dan jangan lupa tentang bagaimana bahasa melayu menjadi bahasa ibu mereka. Tentunya kekayaan kosakata dan kepandaian mengolah bahasa yang didapat langsung sejak bayi menjadi eksotisme tersendiri yang dimiliki oleh para penyair Padang.

Mungkin suatu hari nanti saya harus berpacaran dengan seorang Padang. Selain masakan Padang yang benar-benar menggoda lidah, saya mulai sekarang menyakini bahwa Padang memiliki keindahan puisi. Dan untuk perihal cinta, seorang Padang memiliki tingkat kemauan, kesetiaan dan kepercayaan yang tinggi. Filosofi yang menguasai keseluruhan seorang Padang, dan itu artinya kekuatan. Jika dimiliki lelaki, artinya adalah kejantanan. Jika dimiliki perempuan, artinya kesempurnaan. Anda?

Perihal Padang ini sudah dibuktikan dengan sempurna oleh seorang teman saya yang tinggal di Yogya. Dia sekarang sedang berpacaran dengan seorang lelaki Padang. Tentu saja adalah Long Distance Relationship (istilah yang dikeluarkan seorang calon psikolog). Teman saya ini agak-agak brutal jika dipandang dari sudut pandang ‘bagaimana seharusnya permpuan bersikap’ tetapi dia memiliki tingkat kebaikan yang bagus(lah..). Berpacaran sengan seorang Padang yang berbeda 180 derajat perilaku sehari-harinya (kesan yang saya tangkap dari cerita dan gosip yang beredar) tidak membuat hubungan mereka menjadi kacau-balau. Tingkat emosi mereka mungkin sudah mumpuni ya?Tapi bagaimana mungkin perbedaan yang mencolok tidak memisahkan hubungan mereka?anda tidak percaya?wakakakakkakakakakakakakka…………..no comment!Mungkin inilah saatnya cinta, puisi, dan perasaan menujukkan kekuatanya dalam diri teman saya dan pacarnya.

No comments:

Post a Comment