
Suatu pagi yang saya pikir tidak cerah, saya mendapat SMS. Dari kalimat SMSnya, saya cuma merasa dia bertanya kabar saya saja. Tanpa beban apa-apa, ya saya ngeluyur aja ke markas kampus teman saya itu. Sampai di markas, kok ya sepi, padahal banyak barang yang bisa dicuri disana. Karena sepi saya pergi ke tempat lain. Lha di tempat lain ini, saya mulai berpikir memakai logika (sebelumnya saya tidak pernah berpikir memakai logika), saya terheran-heran dan terpesona oleh sekumpulan mahasiswi-mahasiswi cantik yang ikut demo. Saya heran betapa bodohnya perempuan-perempuan cantik itu ikut demo, kenapa tidak menemani saya saja nonton demo sambil minum es kencur. Karena pikiran saya makin tidak serius, saya kembali berpikir tentang demo. Demo menunjukkan bahwa anda-anda sebagai kaum muda memiliki kepedulian tingkat tinggi terhadap kemajuan dunia idealisme yang makin absurd itu tapi masalahnya ya itu, anda masih punya pikiran pragmatis. Haduh, sulit ne ngasi penjelasan secara analitis. Mari kita serius sebentar saudaraku!!
Jadi begini, pas demo, apa se yang kita bawa di suara kita?segala bentuk idealisme dan suatu tindakan di masa depan yang serba ideal. Jelas ga?ga?ffffyyyyuuuuhhhh.....Andaikan ada korban LAPINDO, lalu anda demo tentang fenomena LAPINDO, apa se yang anda bawa di suara anda?Tentang segala bentuk ideal bagi korban-korban LAPINDO yang memang seharusnya mereka dapatkan kan?bener kan?bener yaa???plliiisss....Nah, permasalahanya adalah ketika kita demo, kita masih punya kebutuhan pragmatisme yang timbul secara sengaja atau ga sengaja atau secara sadar atau ga sadar. Nah, karena permasalahn pragmatisme ini yang kadang sering kita utamakan terlebih dahulu, kita sering lupa kalo sebenernya Aburizal Bakrie itu harus mati atau setidaknya dihukum karena dialah penanggung jawab utama segala urusan. Bingung?yyoo wes lah, lha wong bu mentri aja kagak bisa ngadepin Ical, apalagi kita yang cuma orang-orang biasa.
Setelah berdemo apa se yang kita lakukan?melakukan perundingan, berdiskusi

No comments:
Post a Comment