Sunday, October 16, 2016

Menjadi Jonru

Jonru adalah nama orang. Saya mengenal nama ini dari media sosial, dan web-web yang beredar di sepanjang guglingan saya. Pada awalnya saya tidak perduli benar dengan beliau. Masalahnya satu: saya tidak terlalu penting di khazanah dunia ini.

Tapi dunia membuat saya menjadi makin tidak penting. Dan Jonru menjadi penting sekali. Ia menjadi magnet perhatian umat. Bahkan, menjadi sensasi baru.

Mojok, web satir yang selalu tidak pernah memuat tulisan saya itu, membuat taggar/label/seksi khusus untuk Jonru. Denny Siregar, penulis itu, membuat surat terbuka untuknya. Banyak netizen dan pengamat media sosial menjadikan jonru sebagai topik pembicaraan. Secara khusus, bahkan.

Dan apa lagi alasan saya untuk tidak mengenal Jonru? Tidakkah semua itu cukup?!

Saya sempat membaca tulisan-tulisan Jonru. Lebih jauh lagi, meme-meme mengenai beliau. Lebih jauh lagi, umpatan-umpatan tentang beliau juga saya baca. Tak luput, pujian dan sekian penuhnya motivasi untuk Jonru juga saya baca. Maaf, saya tak sanggup lebih jauh lagi atau meluputkan lagi. Ada jurang di depan saya.

Jonru adalah contoh netizen zaman ini. Saya tidak tahu apakah Jonru memiliki jabatan publik/politik. Perhatian banyak kalangan menjadikan saya juga sedikit curiga bahwa ia adalah anggota BIN. Ia sedang menginventaris orang. Terlepas dari jabatan di dunia nyata, saya merasa, Jonru bisa dibandingkan dengan budiman sudjatmiko. Atau sekedar puthut ea. Tentu sebagai netizen. Atau sebagai aktivis media sosial. Tak lebih.

Saya sangat ingin disejajarkan dengan Jonru. Sebagai netizen. Dikenal banyak orang, penuh dengan pro-kontra. Dan tentunya efek komersial yang dimiliki mampu membuatnya melebihi awkarin. Atau sekedar younglex. Dengan menjadi netizen sebaik Jonru, aliran uang dari komersialisasi kenitezenan jadi hal yang mudah. Yah, walaupun Jonru tidak melakukan hal tersebut. Beda dengan awkarin. Netizen memang suci, kalian saja yang penuh dosa.

Tapi bukan cita cita yang ingin sekelas dengan Jonru yang ingin saya ceritakan.

Saya ingin menceritakan bagaimana kita ternyata, sedikit demi sedikit (dan tentu, lama lama menjadi bukit), menjadikan Jonru sebagai standard. Entah diksi komentar, sentimen yang dibawa, dan logika kalimat. Ini membuat saya, Anda, dan mungkin lingkaran Anda, bermetamoforsa menjadi Jonru.

Jonru tentu memiliki idealismenya. Ia tetap saya acungi jempol. Sebagai lelaki, sebagai netizen. Juga sebagai aktivis yang berada dalam kerangka menyampaikan pendapat. Dengan harapan pendapatnya dapat merubah dunia. Minimal Indonesia.

Saya tidak ingin menjadikan tulisan ini membawa sentimen negatif pada Jonru. Tidak. Ampunilah saya, Jonru, jika seandainya saya dan tulisan ini dirasa membawakan sentimen negatif pada Anda. Sama sekali tidak pantas saya menghina junjungan umat seperti Anda.

Saya hanya ingin menyampaikan kemampuan kita mengolah pikiran sudah berada di titik yang tidak baik. Terutama bagi netizen-netizen Jakarta. Dan netizen-netizen lain yang terseret arus pilkada DKI. Seolah Ahok adalah presiden. Atau ratu adil. Atau Soekarno. Padahal ia hanya Basuki. Bukan Jokowi, atau Prabowo.

Kemampuan olah pikir ini makin lama makin mengkhawatirkan. Beberapa netizen memberi ungkapan netizen lain kafir dan semacamnya. Netizen yang diungkap kafir, tidak mau kalah. Mereka mengungkap balik. Adu ungkapan. Terus menerus. Lebih kasar. Lebih massal.

Dan saya merasa kedua jenis netizen yang saling adu ungkap ini, menularkan ke netizen lain yang pada awalnya tidak paham apa-apa. Atau memilih netral.

Permainan logika dan kata saat adu ungkap jadi semacam gelanggang pembantaian. Tidak perduli ungkapannya sesuai kaidah atau kerangka tertentu. Yang terpenting, lawan koit dengan ungkapan yang diberikan. Seram. Sangat seram.

Lebih seram dari masa awal-awal kelahiran kenitezinan Jonru. Tapi semua menggunakan permainan logika Jonru. Adu ungkap antar netizen berstandar Jonru.

Ya tuan dan puan netizen Indonesia, sebegitukah internet kita?

No comments:

Post a Comment