Thursday, November 7, 2013

Suroloyo 1 suro 2013

Suroloyo adalah ketinggian bukit yang menyenangkan dan mengerikan. Saya ke suroloyo untuk melihat prosesi jamasan 1 suro. Satu suro adalah hari keramat bagi masyarakat yogyakarta. Dan masyarakat pulau jawa yang masih menganggap hari itu adalah hari keramat. Hampir di setiap titik yogyakarta yang masih mengikatkan dirinya dengan kerajaan hamengkubuwono, satu suro diperingati dengan berbagai ritual yang mementingkan laku jiwa-raga. Contoh yang paling umum adalah laku mubeng benteng kraton yogya. Di Suroloyo, satu suro diperingati dengan ritual jamasan pusaka pemberian kraton yogyakarta. Jamasan adalah membersihkan benda-benda yang dianggap sebagai pusaka di tiap tanggal satu suro. Jamasan di suroloyo adalah membersihkan dua benda pusaka pemberian kraton kepada warga dusun keceme. Benda pusakanya itu adalah ujung tombak yang dikasi nama Kyai Manggolo Dewa dan keris yang dikasi nama Songsong Manggolo Murti.


Suroloyo adalah nama puncak bukit tertinggi di perbukitan menoreh. Anda g asing dengan kata "menoreh"? Yop, inilah menoreh yang selalu ada di drama-drama dan cerita-cerita taun 70an yang legendaris itu. Dan suroloyo terkenal bukan karena menjadi latar tempat cerita-cerita taun 70an itu. Menurut legenda, suroloyo itu tempat tapa-semedinya Hamengkubuwono I yang legendaris itu saat dia masih jadi putra mahkota. Katanya, sebelum nyampe di suroloyo, si calon raja yang rebel ini dapet wangsit buat jalan kaki ke arah barat dari kerajaanya yang ada di kotagede. Dan karena orang ini jenis orang yang penurut, maka jalanlah dia ke arah barat tanpa tahu di mana titik akhirnya. Setelah jalan kaki berpuluh-puluh kilometer, perhatiin dengan seksama dan renungkan; jalan kaki, tu calon raja ngadem di puncak suroloyo. Eh, ndilalah pas ngadem di suroloyo ini, dia dapet wangsit lagi buat semedi di tempat itu. Maka bertapalah dia di puncak suroloyo sana setelah berjalan kaki dengan medan paling rebel yang pernah saya lewati di jaman modern ini. Yop, medang dari kota yogya buat ke puncak suroloyo itu berat, terutama di 15 kilometer terakhir. Walaupun jalan udah diaspal halus, walaupun banyak obyek wisata di radius 20kilometer dari situ, walaupun ada SD di pertengahan perjalanan, walaupun masyarakat udah banyak di sana, medan di sini menanjak dan bikin jantung deg-degan karena motor mesti ada di kondisi oke kalo ga pengen jadi orang konyol.

Jauh sebelum Raden Mas Rangsang dapet wangsit gokil itu, puncak suroloyo udah jadi legenda tersendiri bagi masyarakat hindu jawa kuno. Suroloyo, bagi masyarakat hindu jawa dipercaya sebagai tempat tinggalnya dewa-dewa kahyangan. Dan salah satu dewa yang paling dipercaya ada di suroloyo adalah semar. Tau semar kan? dewa gokil yang menyimpan banyak filosofi di bentuk fisiknya dan omonganya itu. Jadi ga heran, di sini ada patung Semar dan murid-murid utamanya. Konon, patung ini pemberian dari Gusti Bimo dari pakualaman (seingat saya, karena waktu ngobrol dengan warga setempat yang ngasi info ini, saya ga nyatet. Apakah Gusti Bimo ato nama yang mendekati itu. Tapi yg pasti, dari pakualaman). Patung ini sangat mencolok begitu anda ada di wilayah puncak suroloyo karena ada di wilayah tempat parkir utama puncak suroloyo.
Suroloyo adalah nama puncak tertinggi di perbukitan menoreh. Puncak ini ada di wilayah dusun Keceme, desa Gerbosari, kecamatan Samigaluh, kabupaten Kulon Progo, DIY. Di dusun ini setidaknya ada tiga puncak yang bisa didatangi wisatawan dan menjadi tempat buat lihat panorama alam. Saya ke sini dengan tiga orang teman, yang dua termasuk kategori ajaib, yang satunya lagi belom saya tahu keajaibanya apa.
Dua orang ajaib ini pernah ke suroloyo di tahun 2012 dan mereka mengalami penderitaan di tahun itu karena mereka meniatkan camping di suroloyo. Sedangkan di tahun ini, saya dan teman-teman menghilangkan pilihan camping dan memilih tinggal di penginapan yang dimiliki warga. Biaya penginapan seharga 120.000/hari. Dengan panorama alam yang super duper, rasanya harga 120.000 terhitung masih terjangkau. Saya datang satu hari sebelum acara jamasan dimulai. Jadi kami, sempat merasakan dengan leluasa suasana dusun keceme menjelang ritual jamasan.
Seperti yang saya bilang di awal, prosesi jamasan ini mengundang banyak sekali orang untuk datang. Dan beberapa di antaranya masuk dalam golongan manusia yang melakukan berbagai hal untuk mencapai laku jiwa-raga yang sempurna. Salah satu laku jiwa-raga yang dilakukan golongan ini adalah berjalan kaki dari tempat tinggalnya menuju ke puncak suroloyo. Jarak yang ditempuh bisa bikin anda, manusia dengan berbagai kepraktisan modernitas dan mainstream kapitalisme uang, cukup merasa bego. Jarak paling minim yang ditempuh berjalan kaki untuk mencapai laku jiwa-raga ini adalah 25 kilometer. Kakek berbaju putih yang ada di foto di bawah ini melakukanya, jalan kaki 25 kilometer. Dan saya masih mendapati sekitar 7-8 orang lagi yang berlaku seperti itu. Dan mereka menjalaninya dengan biasa-biasa aja, cuek bebek. Dan saya tercengang mendengar ceritanya.
Dari tempat parkir utama, yang ada patung semarnya, untuk menuju puncak suroloyo, diwajibkan bagi siapa saja untuk menaiki jalur tangga yang curam. Katanya, ada sekitar 380 anak tangga yang harus dilewati dengan sudut kemiringan sekitar 70 derajat. Curam, sodara!! Ada dua titik pemberhentian untuk istirahat di sepanjang jalur tangga ini. Dan perjuangan setelah menaikki tangga-tangga itu cukup impas dengan panorama alam yang asik. Dan cukup bikin meringis dengan banyaknya coretan vandal di puncak suroloyo.

Malam hari sebelum prosesi jamasan dimulai, warga sekitar dusun keceme selalu melakukan acara yang bernama mocopotan. Acara ini dilanjut dengan acara kendurian, makan-makan bersama dengan lauk simpel. Anda g tau mocpotan itu apa? saya juga ga tau, dan saya gugel karenanya. Makanya, anda sebaiknya juga gugel. Acara mocopatan ini diikuti ama beberapa orang yang dituakan di dusun ini, beberapa perangkat dusun, dan masyarakat umum. Di sini dibacain beberapa puisi tradisional jawa dan beberapa puisi hasil bikinan warga. Tapi, puisi-puisi yang dibacain sama sekali ga ngomonging cinta dan kesakitan emosional seperti puisi-puisi penyair jaman sekarang. Puisi-puisi yang dibacain bertema masyarakat, dari masalah kulon progo, masalah dusun, dan pastinya masalah sejarah sultan agung alias raden mas rangsang. Saya ga ngerti secara detail apa aja isinya, karena saya ga bisa bahasa jawa halus. Acara ini diikuti ama masyarakat umum, terbuka. Dan regenerasi berjalan baik di sini, yang dateng g cuma orang tua aja. Anak kecil pun juga ada, dan ga cuma satu-dua.
Di akhir acara, ada acara doa bersama. Dan ada dua penganut agama yang mengikuti acara ini, yaitu agama katolik dan Islam. Dan pembawa acara, ngasi giliran penganut agama katolik buat berdoa duluan, yang dilanjut penganut agama islam. Yang bikin saya heran bukan pluralisme itu. Tapi di setiap isi doa dua penganut agama itu, mereka berdoa buat negara Indonesia. Benar-benar buat negara, bung! Total isi doanya buat negara Indonesia. Dari sekian banyak pengajian yang saya temui, baru kali ini saya nemu acara berdoa yang hampir seluruh doanya memohon kebaikan buat negara. Ini bukan acara kenegaraan, ini adalah acara masyarakat. Dan mereka berdoa buat bangsa. Mengagumkan!

Setelah bubaran acara mocopatan, saya kembali ke penginapan, tidur dengan harap-harap cemas bisa bangun pagi. Dan ternyata saya bisa bangun pagi jam 5. Saya dan teman-teman berjalan-jalan santai. Hidup kami begitu woles saat itu. Woles biyanget. Kami juga ketemu beberapa orang yang cukup gokil yang segera jadi temen seperjalanan seperjuangan. Kami stand by di sebuah warung kopi yang menjual kopi dan teh hasil bercocok tanam di sekitar dusun. Mereka juga menjual kopi dan teh dalam bentuk bungkusan sebagai oleh-oleh khas suroloyo. Sangat menyenangkan. Sampai kemudian acara utama prosesi jamasan segera dimulai. Prosesi jamasan ini dimulai dengan acara kirab membawa gunungan yang nantinya direbutin. Yang menarik di tahun ini, gunungan yang dibuat masyarakat dusun, membawa tema hellowen di puncak gunungan. Kata teman saya, ini adalah bentuk akulturasi budaya paling damai. Yup, menurut saya, ini jenis akulturasi yang yogya biyanget.
Prosesi kirab ini dimulai dari tempar parkir utama menuju sendang tempat jamasan benda pusaka. Jaraknya kurang lebih satu kilometer. Kirab ini diikuti oleh berbagai perangkat dusun, dari bocah kecil yang berjalan telanjang kaki sampe kakek-kakek tua yang memainkan musik tradisional jawa. Dan pastinya dengan kostum jawa-yogya. Eh, ada wakil bupati kulon progo juga yang ikut prosesi ini.
Setelah berjalan sekian lama, sampailah rombongan kirab ini di tangga turun menuju sendang. Di depan pintu sendang, diserahkanlah pusaka yang akan dibersihkan kepada sesepuh sendang. Dan lalu dibawa masuk ke lokasi sendang. Dan inilah puncak acara jamasan suroloyo; membersihkan dua pusaka oleh beberapa sesepuh dusun.
Barengan dengan acara jamasan ini, gunungan yang dikirab warga dusun, yang pucuknya ada labu hallowen itu, dijadikan rebutan oleh masyarakat yang menonton. Hasil-hasil bumi masyarakat dusun yang disusun rapi jali dianggap memiliki berkah di mata masyarakat umum. Layaknya gunungan yang diperebutkan masyarakat di kraton hamengkubuwono. Sayang, saya ga punya ilmu membelah diri, jadi saya cuma bisa motret acara jamasanya aja. Tidak acara rebutan gununganya. Muuph ea qaqa....

Setelah benda-benda pusaka itu dibersihkan dengan air sendang dan menurut tata-cara sesepuh dusun, setelah benda pusaka itu dibawa keluar dari lokasi sendang, masyarakat umum dipersilahkan masuk ke lokasi sendang yang pada hari-hari di luar tanggal satu suro ini ditutup bagi masyarakat umum. Di sini masyarakat mengambil air sendang untuk digunakan bagi banyak kebutuhan warga. Karena air sendang sisa jamasan merupakan air yang mengundang berkah. Jadi di sinilah pergulatan masyarakat dimulai. Dalam arti yang paling harfiah. Lokasi sendang merupakan lokasi yang tertutup, dibatas kelilingi tembok, dan cuma memiliki satu akses pintu masuk. Lokasi sendang ini cuma berukuran sekitar 7 kali 3 meter. Cukup kecil untuk menampung ratusan masyarakat yang ingin mengambil air sisa jamasan. Dan begitulah, terjadi beberapa insiden dorong-dorongan, jatuh, dan kepleset. Tapi itu semua ga menyurutkan semangat warga buat ngambil air sisa jamasan. Masyarakat biasanya cuci muka dengan air sendang, dan menyimpan air sendang dengan botol air mineral atau dengan jirigen ukuran 5 liter. Air sisa jamasan ini benar-benar dianggap ampuh buat mendatangkan rezeki dan berkah bagi yang menggunakanya. Dan tua-muda, pemuda-pemudi harapan bangsa hingga kakek-nenek renta mencuci muka dengan air sendang ini. Hell Yeah!!...
Dan begitulah setiap keramaian yang berakar dari nilai-nilai tradisional pada akhirnya tidak bisa menolak tradisi kapitalisme modernitas, maka jangan berharap anda akan dapat suasana khidmat, tenang, dan berbagai suasana kebatinan yang anda bayangkan. Karena modernitas menolak itu. Maka, di sepanjang perjalanan antara tempat parkir utama hingga lokasi sendang, anda akan banyak dapati berbagai bentuk modernitas kapitalisme masyarakat.

Tapi, seperti yang selalu saya bayangkan, Yogya selalu punya dinamisasinya sendiri menghadapi berbagai bentuk pengaruh luar. Akuluturasi yang halus lembut dan kadang slengean menciptakan yogya yang tidak serta merta menolak pengaruh luar dan tidak serta merta menerima mentah-mentah. Semoga, akuturasi yang halus lembut ini berjalan terus menerus sampai kiamat nanti. Dan semoga tempat sampah disediakan di wilayah ini. Dan semoga, masyarakat yang jadi wisatawan juga nyadar buat ga buang sampah sembarangan. Aminn....

No comments:

Post a Comment