Wednesday, January 19, 2011

Pagi hari dalam perspektif Jakarta

Aku betul-betul tak paham mengapa beberapa kota meninggalkan kesan dalam, sedang lainya tidak. Selain botol-botol bir dan nasib yang mengejar, tak ada yang mendalam dari kebanyakan kota-kota yang kusinggahi. Tapi khusus kota ini, Jakarta, aku punya istilah khusus untuknya; janda pantura yang lupa bagaimana perawanya hilang. Kadang aku merasa tidak ingin memiliki kesan dalam tapi kadang aku ingin memiliki kesan dalam pada kota ini.

Sudah tiga tahun ini, aku mengunjungi Jakarta. Sekedar urusan transit, kota menetap beberapa orang terdekat, hingga kota yang siap menghabisi kecerdasan. Kadang Jakarta datang sendiri ke kepalaku, menyatakan rindunya padaku. Kadang akulah yang memohon-mohon agar aku diizinkan ke Jakarta. Seperti janda elok pantura, Jakarta adalah imajunasi liarku. Dan rumus pertama imajinasi liar adalah menuntut pengorbanan.

Sejak menaiki kereta progo dan menyalakan The Brandals kencang-kencang di MP3, aku selalu berharap tidak masuk Jakarta kali ini. Sempat aku berpikir turun di Cirebon atau mengalami kecelakaan kereta. Aku selalu ingin hidup stabil, yang artinya tidak banyak melakukan pengorbanan. Apalah daya, Jakarta adalah pusat orang-orang kaya negara ini. Atas nama banyaknya orang kaya itulah aku sampai lagi di Jakarta saat pagi masih pukul setengah tiga, saat dimana sholat tahajud memberi pahala terbesarnya bagi pelakunya. Bunyi rem kereta menyalakan rangkaian lampu led warna merah di dadaku. Tulisanya ucapan basmalah. Guru elektronikaku yang agamis membuatkanya untukku. Otomatis pula, kakiku mengajakku pergi ke toko yang dilayani perempuan. Kuisi ulang tenaga baterai handphoneku di toko itu. Kuisi ulang tenanga mataku di senyum jinak pelayan toko itu.

Beginilah Jakarta memulai pagi harinya: Bus-bus bergonta-ganti seenaknya dengan taxi-taxi. Taxi-taxi bergonta-ganti seenaknya dengan mobil-mobil pribadi. Mobil-mobil pribadi saling bersepakat saling berganti satu sama lain. Sepanjang riwayat kota, mobil-mobil pribadilah yang menjelmakan Jakarta senakal dan seelok janda pantura. Di antara kegenitan-kegenitan aktivitas itu, ada penjual soto, penjual karedok dan penjual kopi keliling. Ketiga penjual itu ada di depan gelanggang senen. Mereka berbisnis kesepian. Mereka tahu jika manusia adalah makhluk penuh penantian. Penantian di Jakarta adalah penantian yang penuh kesepian. Dengan uang di bawah sepuluh ribu, mereka menjadi pengisi kesepian penghuni Jakarta.
Beginilah aku memulai pagi hari di jakarta: Setelah 2 mangkok soto lamongan habis kucerna. Dan setelah puas berkabar dengan temanku tentang kehebatanku memakan soto, aku pergi ke penjual kopi. Kupesan kapal api kental. Kudengarkan setiap detail jurus-jurus yang dikeluarkan sopir taxi saat merayu penjual kopiku. Sambil itu, kutunggu gerbang gelanggang senen terbuka. Kutunggu gadis cantik yang menyuruhku datang ke Jakarta di depan gerbang gelanggang.

Adalah gadis cantik yang kujadikan harapan utamaku di Jakarta saat ini. Kutemui ia pertama kali di bandara yogya. Mimik wajahnya bersungut begitu ia menyerahkan titipan temanya untukku. Tetap dengan bersungut ia menekankan sesuatu, ”punya kamera kan mas?!Bantuanya itu jangan lupa difoto pas sudah dipegang anak-anak ya…” Saat itu juga aku berpikir memang tak ada keburukan di dunia ini yang mampu menandingi keburukan perempuan yang sedang bersungut.

Habislah aku menerima perlakuan gadis itu. Untungnya beberapa jam setelah penghabisanku, aku dihidupkan lagi oleh temanku. Gadis itu cemberut begitu rupa karena kopernya yang dari Italia rusak. Rusak karena tidak kuat menahan beban barang titipan. Gadis itu sepertinya marah-marah ke temanku, tapi temanku tidak mau disalahkan. Jadilah aku yang jadi tersangka utama, dan jadilah aku penerima utuh sungutan gadis itu. Yang kutakutkan cuma satu sebenarnya, gadis itu bersungut karena bertemu aku yang bermuka pembantu. Sungguh, aku takut sekali jika ia bersungut karena itu. Aku tak mau merusak keindahan dunia dengan hal bodoh.

Kedua kalinya, gadis itu kutemui di hotel langgananya di bilangan plengkung gading. Hotel dengan lobi yang terbuka model joglo, yang menandakan keterbukaan dan penerimaan atas segala hal. Gadis itu datang menemuiku lagi, tanpa sungutan. Tawa mengejeknya menyatakan perihal kopernya yang rusak yang seharusnya aku ganti. Untung ia cuma bercanda. Ternyata gadis itu mudah saja membuka dirinya, seperti lobi hotel yang ditempatinya. Yogya yang bersenja, senyum gadis itu yang membuat grogi tiba-tiba berubah jadi korek. Menyulut kompor-kompor kesenanganku.

Gadis cantik itu, bersama temanya, yang juga temanku, jauh-jauh datang dari Jakarta cuma untuk ikut membuat celengan harga tiga ribuan bersama kelompokku. Untuk diberikan saat menghibur anak-anak kecil yang jadi korban merapi di magelang. Membuat celengan harga tiga ribuan itu bukan hal mudah. Pertama karena harus menekan biaya produksi serendah mungkin. Kedua, karena hal pertama itu, maka gerilya adalah kata kunci membuat celengan. Mencari bahan mentah celengan adalah perjuangan pertama, aku harus masuk ke pengepul loakan besar. Di sana, aku berjubel dengan sampah-sampah berbagai bau dan pembikin lecet-lecet kaki. Mencari gulungan karton-karton kertas ukuran besar sebagai bahan mentahnya. Proses ini menguji kelelakian seseorang. Kedua, memotong bahan mentah itu dengan ukuran tertentu menggunakan gergaji besi manual. Proses ini menguji kesabaran seseorang. Ketiga, menempelkan kertas gambar dan karton penutup ke bahan mentah yang sudah dipotong. Proses ini menguji ketelatenan seseorang. Tentu saja, gadis cantik itu dan temanya cuma masuk di proses ketiga. Perempuan adalah makhluk yang telaten. Mudah saja dua gadis itu lulus di proses ketiga ini. Sambil membuat celengan, sedikit kuperhatikan gadis cantik itu, aku berjaga-jaga siapa tahu sungut lelenya keluar lagi di wajahnya.

Sayangnya, semakin kulihat semakin aku paham alasan Tuhan menaruh surga di telapak kaki perempuan. Keagung-agungan surga jadi keindahan kelas kampung dibandingkan keindahan gadis cantik itu. Tak ada keburukan di gadis cantik itu. Bahkan mungkin berbagai keburukan bisa berubah suci di wajahnya. Betul memang, mulalilah sejak itu aku tahu bagaimana ia, tanpa tendensi apa-apa, membuat setiap lelaki penasaran dan tergila-gila menanyakanya. Dua temanku jadi korban gadis cantik itu. Sudah kuselamatkan mereka dengan susah payah dari kutukan perasaan. Aku tak ingin teman-temanku ikut hancur sepertiku. Hancur hanya karena seorang gadis.

Zaman SMP, aku dipenuhi dogma-dogma agama yang nirlogis oleh temanku dan adiknya. Ketika kami bertiga melihat video porno bersama, temanku selalu mengecilkan volume TV ke angka 3. Dia selalu serius dengan ucapanya, “Tuhan suka angka-angka ganjil.” bersamaan dengan adeganya mengecilkan volume TV. Saat melihatnya ibunya yang seksi pun, ia bertingkah sama. Ibunya punya kebiasaan menyenangkan di rumah. Sehabis pulang kantor, si ibu akan melonggarkan celana panjang yang dipakainya sampai celana dalamnya kelihatan setengah bagian. Setiap melihat ibunya, temanku akan berucap “Tuhan berbuat misterius sebab Ia suka hal-hal misterius.” Kuingat betul dogma-dogma agama temanku saat ini. Sambil berharap di pertemuan ketigaku dengan gadis cantik itu, aku dan gadis cantik itu mendapat momen-momen misterius yang membuat kami saling penasaran satu sama lain. Maka, selama tiga jam aku terus berharap-harap seperti itu. Di depan gelanggang senen di mana giliran sopir taxi kedua yang meluncurkan aksi-aksi mautnya saat merayu penjual kopiku.

Jam empat pagi, gadis cantik itu mengabari jika ia belum berangkat, dan mungkin saja baru bangun. Jam setengah enam, saat giliran tukang parkir yang merayu penjual kopiku, gadis cantik itu mengabari baru akan berangkat. Jam setengah tujuh, gerbang gelanggang dibuka. Tapi aku masih menikmati kapal api kental kedua buatan perempuan semok penjual kopiku ini. Jam tujuh aku menyerah dengan jalanan senen. Jam tujuh lebih lima belas menit, aku masuk gelanggang. Kutemui orang planet senen di sekretariatnya. Aku ngobrol-ngobrol sebentar denganya yang sedang membakar sampah. Tak sampai sepuluh menit, aku keluar dari gelanggang. Gadis cantik itu mengabari jika ia sudah di kramat raya. Aku menunggu di gerbang gelanggang. Aku ingin tahu secantik apa ia pagi ini. Jam tujuh lebih tiga puluh delapan menit, ia mengabari jika sedang berputar arah. Jam tujuh lebih empat puluh empat menit, ia sudah memarkirkan mobilnya di samping karimun pink.

Lewat beberapa detik, gadis cantik itu sudah di depan mataku. Ia seperti brokoli segar. Senyumnya membawa kesuburan-kesuburan ibu bumi. Matanya menyediakan zat-zat sehat untuk dilahap. Wajahnya adalah lanskap kebun-kebun tanaman hijau yang menyegarkan perasaan. Senen yang penuh kriminalitas kedatangan putri kebaikan dunia. Gadis cantik itu menunjuk bagasi mobilnya, “ Lihat, mampu tidak membawanya?” Lima kardus pakaian anak-anak ada di bagasi. “Bisa!” mantap kujawab seperti gladiator yang siap bertarung untuk memenangkan sang putri kebaikan dunia. Satu dus rokok ukuran besar kuangkat dengan semangat. Supir gadis cantik itu membantu mengangkat dus yang lain. Setelah kutaruh dus itu ke sekretariat planet, aku kembali ke gadis cantik itu. Sekitar 20 meter, gadis cantik itu terlihat duduk. Sungguh syahdu melihatnya. Wajahnya yang cantik memamerkan kerapuhan yang sangat. Celana kargo dan jaket hijaunya mengatakan gadis cantik itu dihidupi banyak hal kelabu. Kuangkat lagi kardus pakaian bantuan, kubawa lagi ke sekretariat planet. Kembali lagi ke gadis cantik itu. Kali ini ia ada di dalam mobil. Kulihat ia meminum sesuatu dari gelas merah mungil. Mendung di senen membuat pemandangan itu jadi hangat. Gadis cantik itu tidak membawa hal lain selain kebaikan. Setelah kuturunkan barang terakhir, ia memberiku makanan kecil dan uang bantuan. Dia pamit pergi. Untung ia sempat meninggalkan senyuman untukku. Lalu, dengan pengkhayatan penuh, aku melihatnya masuk Jakarta lagi. Menjadi bagian dari keperawanan kota yang penuh kejujuran. Keperawanan kota di antara norak cemorak Jakarta yang bagai janda pantura.

No comments:

Post a Comment