Sunday, December 6, 2009

Sang gajah dan si semut

Pada suatu zaman dahulu kala dimana koneksi internet belum hadir di seluruh dunia dan kebun binatang belum eksis mengganggu ekosistem asli bumi, hiduplah seekor gajah betina dan semut betina yang ternyata-walaupun dalam dunia nyata sebenarnya tidak-saling bersahabat. Mereka berdua adalah tokoh utama cerita ini. Gajah yang selalu merasa dirinya paling cantik di antara gajah betina lainya ini merasa jijik berkumpul berbarengan dengan sesama gajah betina dan lebih memilih bersahabat dengan semut yang kecil. Karena merasa si semut seperti boneka barbie yang imut-imut dan bisa dimainkan sesuka perut.
Sedangkan si semut yang merasa dirinya paling pintar dan menonjol di antara semut-semut tentu saja mengalami semangat eksistensialisme yang bergelora-gelora. Dilatarbelakangi semangat penuh gelora si semut dengan pongahnya pergi dari gerombolan semut-semut komunitas SMASH (Semut Merah Asoy-geboy di Seluruh Hutan) yang melahirkanya dan membesarkanya sejak dalam masa kandungan. Semut lalu bersahabat dengan gajah dengan harapan dapat mencuri semua ilmu sang gajah agar bisa menjadi cendekiawan besar dan terkenal di hutan belantara; seperti Aa’ Gym mungkin. Begitulah, dua binatang ini saling bersahabat dengan latar belakang masing-masing.

Di suatu sore indah penuh udara hijau oksigen dedaunan. Plus suara-suara burung memanggil-manggil manusia untuk ditantang berburu burung. Agar burung bisa berlatih terbang cepat melebihi pesawat. Tapi bukan burung yang jadi tokoh cerita ini. Danau pun tak lupa menebar pesona, selayak perawan berharga lima juta, danau menawarkan kesegaran airnya di kala senja. Si gajah yang menajdi tokoh cerita ini sedang menjajal gemerlapnya hedonisme kemilau kesegaran air danau. Saat itulah datanglah si semut, sahabat gajah.
“Hai….sedang..sedang apa kau di situ gajah, temanku?”
“Aku sedang berenang!” sahut gaja sambil menyemburkan air ke badan dengan belalainya.
“Berenang….????????” Semut bernada penuh keculunan bertanya terheran-heran
“Ah dasar semut kecil. Kamu hanya mengganggu saja!kamu kan tidak bisa berenang!”
“Sombong kamu!Mentang-mentang badanmu lebih besar dari aku. Aku juga bisa berenang tau!!” semut merasa eksistensinya terganggu dengan celoteh kasar sang gajah.
“Kalo kamu memang bisa berenang, ayo buktikan. Berenang bersama aku. Kita bertanding. Kalau bisa mengalahkan aku berenang,a kaua kan jadi pelayanmu!” sang gajah dengan lagak kuasa dan besarnya langsung menyambut gugatan si semut.
Akhirnya di malam dimana bintang-bintang menajdi cahaya penuh cinta terjadilah kesepakatan yang dipenuhi tanda tanya antara si semut dan sang gajah. Sang gajah dan si semut membuat agreement untuk melakukan lomba berenang di danau keesokan harinya.

Alkisah, malam penuh semilir-semilir angin yang menghantarkan karbon dioksida untuk diserap seluruh tanaman berajaln dengan penuh kesempurnaan tiada tara. Langit mempesona. Waktu ke waktu di malam adalah riuh rindu tak berkesudahan pada malaikat-malaikat yang bersenandung lagu tombo ati milik Emha Ainun Nadjib. Hingga akhirnya bulan kelelahan dan ingin kembali ke surga meniduri bidadari kahyangan yang selalu perawan walaupun sudah berkali-kali berhubungan badan dengan sang bulan. Pagi menjelang. Sang gajah telah siap ke medang perang. Di danau yang penuh lukisan-lukisan hidup Sang Maha Agung, sang gajah tiba setengah jam lebih awal dari jadwal (gajah adalah mahkluk yang terkenal on-time). Melihat semut yang belum datang, sang gajah melakukan warming-up sambil menunggu semut; berlari-lari kecil di jalan penuh kerikil. Lima belas menit warming-up, sang gajah belum melihat datangnya semut. Gajah melakukan warming-up selanjutnya, sekaligus melatih gaya renang kupu-kupu yang didapatnya semalam dari kupu-kupu malam. Akhirnya jam di dinding berdentang, menunjukkan pukul tujuh tepat. Semut belum juga datang.

No comments:

Post a Comment