Friday, December 11, 2009

Prosa dari Lapindo

Aku memiliki keyakinan tertentu untuk petak sawah keluargaku
sedang untuk perkampungan, aku memilih diam diam di dapur umum
sambil sesekali membayangkan berliter-liter tanakan nasi ini
menjelma ksatria putih dan mengalahkan monster lumpur
lalu memerintah serdadu dapur membantu ibu membuat masakan
di rumah kami yang telah direnovasi dengan rasa iba, aspal jalanan
dan ganti rugi materi yang membuat aku makin sering melamun
pikiranku ditanak perasaan benci. Ingantanku tentang pagi
menjadi puisi di malam hari atau bayangan lezatnya ikan gurami
sebagai pengganti lauk ikan asin di waktu sarapan sebentar lagi

Ayah pergi ke Jakarta membawa harapan lapangan bola
RW kami kembali. Padahal ia tahu jika harapan adalah tanggul
penghambat hidup. Dan kenangan tidak begitu baik menutup semburan
emosi rombongan perasaan yang ia bawa. Adalah ibuku dan perkutut
alasan utama ayah dedam pada bencana ini. Sering kulihat ia
menunjukkan diri sebagai sangkar tanpa perkutut atau beranda tanpa ibu
Ayahku yang emosional kekurangan tempat istirahat. Rindunya penuh
sejumlah air mata beku. Sajadah kumal masih dipercayan hangatkan
tangisnya di kamar mandi. Suara siulan burung dari latihanya
ia rubah jadi kebisuan paling lantang. Reruntuhan mimpi ia pugar
jadi bangunan markas kosakata tuntutan dan kesedihan bertenaga
melawan gemuruh waktu yang tenggelamkan lapangan kesayanganya.

Seminggu kemarin aku dan ayah menjenguk ibu. Mulut ibu lengang
matanya ditumbuhi kesendirian. Teman-teman ibu menertawai ibu
sebagai anjing, beberapa lainya mengatai ibu sebagai perawan maria. Sungguh
aku lebih memilih berziarah kubur daripada menjenguk ibu di menur.
Di menurlah betapa lumpur jadi endapan pembunuh denyut-denyut
jantung rumah, di menurlah Tuhan tenggelam bersama Qur'an kesayangan
dan tak bisa muncul kembali. Di menurlah doa-doa harapan jadi bahan tawa
dan getar luka menampilkan keliaran, menelanjangi kegelapan nasib.
Ibu jelmaan jiwa bumi, ia terlampau letih mendapati teriakan luka
alam. Tubuh kudusnya mengering dan membatu jadi sosok hening.

No comments:

Post a Comment