Friday, December 19, 2014

Sanggar Arcana dalam Gubernur Nyentrik; menikmati berbagai refrensi

Membaca naskah gubernur nyentrik membuat saya teringat kata seseorang, jika teks memiliki kemampuan sebagai kerja yang dimainkan. Dan di tangan sanggar arcana, saya cukup menikmati kerja sebuah teks. Berbagai eksplorasi dan permainan panggung menjadi kunci bagaimana naskah berkembang sedemikian rupa. Sehingga saya merasakan saat ini, pementasan teater berhasil memainkan banyak hal. Walaupun di banyak titik, peristiwa-peristiwanya hanya menjadi fragmen-fragmen yang tidak memiliki jembatan penghubung yang baik. (Tapi apalah arti jembatan penghubung bagi kita yang memuja Goenawan Mohammad, bukan?!)

Begitu memasuki ruangan panggung pementasan, kita disuguhi dengan permainan musik electro pop khas anak kota masa kini. Saya mengharapkan akan datang konsep pementasan mak yong atau drama gong di adegan ini. Karena saya sudah bosan dengan pementasan wayang ato ketoprakan. Yup, point besarnya adalah, saya merasa sambutan musik saat penonton masuk sedang memberikan suasana jika musik menjadi unsur penting, bukan sekedar ilustrasi, di pementasan ini. Mengadopsi dengan sempurna pementasan-pementasan teater tradisional. Lihat saja bagaimana muka para pemain-pemain musiknya dimake-up sedemikian rupa hingga mencipta kesan aktor panggung. Lihat saja bagaimana posisi musik yang tepat berada dalam satu garis lurus antara panggung dengan penonton. Mau tidak mau, ini sangat mencolok mata dan memberi kesan kuat pada musik di pementasan ini. Atau mari kita berpindah ke panggung bagian samping kanan dan kirinya. Dibiarkanya kosong, di sisi utaranya diberi pembatas dengan peringatan jika panggung itu merupakan bagian dari pementasan ini. Di sisi selatanya, sebuah proyektor menembak kain putih bergelantungan, memberi efek kolosal. Maka, mau tidak mau saya berpikir pementasan ini akan memaksimalkan semua fungsi aset-aset yang mereka miliki.

Pementasan pun dimulai setelah sekian banyak pidato dan hal tidak penting (saya masih selalu berpikir, apalah arti pidato-pidato itu di sebuah pementasan teater).  Proyektor menampilkan film pembuka di kain putih. Film yang menceritakan sang gubernur dengan ajudanya yang sedang tersesat di Yogyakarta. Di tengah ketersesatanya, sang gubernur bertemu dengan orang gila yang menjadi samacam peramal yang meramalkan masa depan sang gubernur, dan menyarankan sang gubernur untuk lari. Baiklah, inilah pembuka cerita kita, pementasan ini akan menceritakan sang gubernur yang akan mengalami masa-masa sulit. Pembuka ini, tidak saya dapatkan di naskah asli bikinan Agustan T. Syam. Sanggar arcana memilih menerjemahkan naskah asli dan membuat naskah sebelum naskah asli. Pilihan cerdas saya rasa, tapi kurang menusuk naskahnya euy. Lalu tirai dibuka, adegan lady gaga dimulai: seorang ajudan dengan kostum dan make up ala beberapa film dongeng johny deep tergeletak dengan pose epik ala lady gaga. Efek kaget yang dihasilkan benar-benar menyenangkan. Saya membayangkan akan ada banyak hal banal dan vulgar terjadi. Dan sang gubernur datang, kemudian istri gubernur datang, dengan kostum ala alice in wonderland atau charlie and the chocholate factory. Tapi sebagaimana johnny deep yang memerankan diri sebagai semar, sebagai kepolosan dan kejujuran yang gagu, atau sebagai joker, kostum ajudanlah yang paling menyenangkan. Saya sangat menikmati berbagai kemungkinan pemahaman di kostum ajudan itu. Tepat seperti saya memahami johny deep dengan kostumnya ketika berperan sebagai willy wonka atau sebagai hatta. Saya tidak bisa berkata apa apa soal kostum gubernur dan istrinya selain terlalu dan/atau mencerminkan satu ketokohan saja. Tapi saya rasa memang itu tujuanya. Sungguh pas permainan kostumnya. Kemudian, sinden bersuara menjadi aktor. Yak, sinden. Konsep sinden tepatnya. Dua orang penyanyi naik ke sebuah level di depan para pemusik, menceritakan mengenai cerita ini. Menjadi semacam narator, kadang juga terasa menjadi semacam tokoh utama cerita ini.

Lalu adegan per adegan dimulai dengan perasaan saya sedang menonton srimulat. Berbagai kelucuan yang dihasilkan oleh gerak tubuh aktor menjadikan saya mesti mikir ke naskahnya. Yak, naskah memang meminta permainan gerak tubuh yang lucu dalam menghadapi berbagai dialog yang ada. Sampai datanglah penari india. Ini apa-apaan ni. Saya mikirin naskah lagi. Ok baiklah, naskah memang menuntutnya. Walaupun saya tidak tahu apa fungsi penari itu selain sebagai pemberi kesan saya sedang menonton mak yong tapi dengan tarian india. Saya langsung berpikir Sanggar Arcana akan menjadikan naskah ini sebagai dramatari atau ala-ala sinetron india. Teks terasa benar-benar minta dimainkan. Lalu kemudian, saya dikagetkan dengan bagaimana hubungan ajudan-istri-sang gubernur yang dibangun melalui dialog setelah tari india itu. Saya tidak tahu apa yang sedang dibangun Agustan T. Syam di dialog-dialog ini. Tapi saya merasakan dia sedang mempertontokan ke kita bagaimana Pak Harto, Ibu Tien, dan salah satu pembantu dekat (pejabat elit, yang di masa-masa tertentu pernah membuat buku putih yang selalu berisi mengaku sebagai orang paling dekat dan paling mengerti kemauan Pak Harto) ngobrol: penuh kekuasaan, penuh kebodohan, penuh trik-trik. Kemudian kejutan datang lagi dengan kehadiran seorang mbak tutut yang legendaris itu. Tapi dalam kapasitas sebagai pengatur utama proyek utama sang penguasa kita ini. Bukan sebagai anaknya. Mbak tutut ini datang dengan beberapa boneka-boneka berukuran besar ala pappermoon puppet. Ide untuk memberi efek kolosal di tokoh demonstran yang terdiri dari buruh, mahasiswa dan LSM sungguh otentik. Saya suka permainan ini. Suka. Menyenangkan sekali menjadikan ide pementasan boneka pappermoon menjadi bagian dari pementasan teater yang keseluruhanya dimainkan manusia langsung. Ria pappermoon atau Slamet Gundono patut diberi ucapan terima kasih dengan ide besar mereka itu. Walaupun kurang atraktif, tapi penetrasi ide permainan boneka di pentas ini sudah cukup segar. Di adegan ini, prolog permasalahan naskah ini dimulai dengan kedatangan si direktris (mbak tutut kita).

Setelah prolog mbak tutut itu, lalu adegan diganti. Datanglah sang arsitek yang dengan gaya paling futuristiknya. Di adegan ini saya sudah berharap konflik akan dimulai. E tapi bo'ong. Setelah dialog arsitek dengan ajudan, yang ditandai dengan kepergian ajudan, adegan kembali ke adegan srimulat lagi. Istri gubernur masuk. Berdialog dengan ajudan. Terasa sekali penulis naskah ingin menampilkan pengaruh sang istri penguasa kepada penonton. Walaupun saya tidak mendapat adegan penting menganai pengaruh sang istri di konflik utama naskah ini. Tapi keinginan penulis naskah untuk menampilkan pengaruh sang istri terasa sekali. Saya sedang membayangkan si penulis sedang menyindir sesuatu, Ibu Ani Yudhoyono contoh yang paling kontemporer. Atau, ya itu tadi, Ibu tien Soeharto. Saya sama sekali ngeblank di sini. Naskah terasa sangat tidak menaati konvensi-konvensi tertentu dalam penulisanya selain alur cerita saja. Lalu datanglah tamu yang berasal dari india yang juga saya tidak tahu fungsinya apa di naskah ini selain penguat kesan penulis naskah untuk menampilkan ketokohan sang istri gubernur. Blank. Tapi blank ini digarap dengan menarik ama Sanggar Arcana. Masuknya dua penyanyi, arsitek, dan tamu dari india dari lokasi para pemain musik. Sebelum masuk pun, musik terasa menjadi kunci utama. Dan itu tadi, saya merasa apakah saya sedang nonton drama gong apa ya. Konsep musik menjadi begitu penting di sini. Atau bayangkan kita sedang membaca cerpen danarto yang berjudul tongkat di pemanggungan ini. Kejutanya sederhana, hanya memainkan konteks berpikir yang berusaha kita bangun. Tapi kemudian dihancurkan, dan kita berusaha membangun konteks lagi, kemudian dihancurkan lagi. Saya cukup suka dengan bagaimana musik dan aktor berkolaborasi memain-mainkan naskah ini. Lebih terasa halus dibandingkan dengan pementasan teater garasi yang jalan emas (the game).

Setelah tetek bengek tamu india itu, lampu panggung gelap, setting panggung diganti, dan konflik dimulai. Akhirnya, sodara-sodara. Dan berjalanlah konflik naskah gubernur nyentrik ini. Boneka besar pappermoon bermain, seluruh aktor berkumpul, sedikit demi sedikit tensi permainan naik. Musik sekarang menjadi ilustrasi saja. Dan tibalah pada saat sang ajudan memainkan proyektor berjalan. Proyektor berjalan adalah proyektor yang ditaruh di meja beroda sehinga memungkinkan untuk melakukan mobilitas yang pada akhirnya mampu menyorot di banyak titik. Jadi begini, saya tidak tahu refrensi mana yang dipakai sanggar arcana saat memainkan proyektor ini karena saya sangat merasa proyektor berjalan ini mampu dimainkan lebih jauh daripada sekedar dimainkan dengan hanya menyorot gubernur dan istrinya yang sedang bersepeda karena mengalami pengusiran. Efek tragis dan dramatis yang dihasilkan sangatlah kurang. Saya membayangkan proyektor ini dimainkan ke berbagai arah secara acak. Sungguh indah jika itu terjadi. Karena kemungkinan permainan ini sungguh luas sekali. Sayang aja si.

Dan konflik pun berakhir dengan kematian sang gubernur, istri, dan ajudan. Dan posisi jabatan gubernur digantikan dengan sang arsitek. Banyak hal di panggung yang saya tidak bahas di sini. Karena saya sebenarnya sedang memamerkan ke anda, bagaimana panggung teater sanggar arcana melebihi ekspetasi saya dalam memainkan aset-aset panggung yang mereka miliki. Dengan naskah ya yang itu tadi, meminta untuk dimainkan seimajinatif mungkin. Saya tidak tahu apa alasan Sanggar Arcana memilih naskah Gubernur nyentrik. Naskah yang saya tidak tahu sedang merefrensikan apa. Dibuat oleh orang sulawesi, saya sedikit curiga naskah ini membicarakan seorang rektor yang jadi gubernur dan menginisiasi pembangunan sebuah terusan khatulistiwa di Sulawesi. Tapi saya juga curiga, naskah ini memainkan sindiran-sindiran ala seniman tahun 70-80an yang sedang getol-getolnya menyuarakan kritik ke pemerintahan nasional yang sedang melakukan pembangunan nasional. Atau bisa saja juga naskah ini sedang membicarakan pemerintahan SBY dengan proyek MP3EInya yang kontroversial itu. Tapi setiap pemerintahan memang korup dan penuh proyek si. Jadi memungkinkan untuk dikontekskan ke naskah ini. Tapi entahlah, naskah ini sungguh membuat saya merasa bodoh. Tapi untungnya Sanggar Arcana mampu ngasi kejutan-kejutan dalam pementasanya. Semoga saja tidak ada yang terjebak di naskah ini dan mampu memasukkan permainan ke dalam pementasan naskah ini.



Ah Barthes, terlalu banyak penganut struktualisme di negri ini, bukan?!

Saturday, October 25, 2014

Ice cream girl

Di negri apapun, kamilah penghibur. Menjaga asa kalian di siang atau saat sajak tak lagi menjaga makna. Kamilah pembawa dunia baru kalian. Kamilah pencari jiwa jiwa.

Di situasi macam apa saja, kami tak akan pergi. Sekalipun rindu sudah jauh. Ataupun jika ia masih imajinasi. Kami mendatangi jejak jejak kalian sebagai isa.

Di dada kalian yang kosong, kami mengisi cinta kalian. Dengan senyuman dan resah kami. Sebagaimana kami menjaga Tuhan dari kebangkrutan.

Thursday, October 23, 2014

Generasi action photoshop

Saya baru belajar ngedit beberapa foto orang dengan action action tertentu. Dan inilah hasil-hasil editing fotonya.


Pertama-tama saya nyoba ga make action. Dua foto pertama hasilnya agak gimana gitu. Lalu saya pake action di foto ketiga. Hasilnya masih ga rapi. Foto yang saya pilih kayaknya ngasi pengaruh.










Monday, October 6, 2014

Forum Aktor Yogyakarta di naskah "biar kutulis untukmu puisi jelek yang lain": kesempurnaan tata kelola panggung minimalis.

Saya cinta Andy Sri Wahyudi.
Sebagai aktor dan sutradara, saya rasa dia sempurna sekali menjalankan ketokohanya. Saya tidak bisa membayangkan ada orang lain mampu bertindak seperti beliau. Kemampuanya dalam menciptakan panggung yang mampu berinteraksi dan menarik penonton sedemikian rupa adalah keahlianya. Memainkan humor gelap ala yogyakarta dalam berbagai bentuk, buat saya, adalah keunggulan utamanya ketika memainkan sebuah pementasan. Kesempurnaan yang jarang saya temui di pementasan teater di sekitar yogyakarta.

Nah, tiap nonton pentas teater, saya mesti keinget dengan gimana pentas-pentas yang dibawain oleh orang ini. Apalagi ketika di pentas itu, dia menjadi sutradara. Kemampuan dia membuat penonton begitu terbuai, menjadi semacam patokan saya; "pentas lu sekeren pentasnya andi kagak sob?"

Saya selalu terbuai dengan pentasnya Andi Sri Wahyudi.

Hingga saya bertemu dengan pentasnya Forum Aktor Yogyakarta yang berjudul "Biar kutulis untukmu puisi jelek yang lain" di bulan september kemarin. Pentas ini, dari segi lokasi pementasan, tata lampu, properti, jumlah aktor, sungguh tidak mencengangkan. Btw, saya liat pentas yang di FBS UNY (pentas ini diadakan di tiga lokasi berbeda di sekitaran wilayah Sleman, Yogyakarta). Ada begitu banyak celah buat memandang minor pentas ini sebelum diadakan. Banyak. Tapi ternyata kemampuan orang-orang yang ada di Forum Aktor ya cukup imajinatif memainkan celah.

Naskah ini pernah dipentaskan oleh teater tangga UMY. Saya tidak menonton pementasan yang dilakukan oleh teater tangga, tapi saya melihat dokumentasi foto pementasan mereka di sini. Saya rasa, sedari awal pementasan naskah ini dilakukan, naskah ini nuntut meminimalisir berbagai bentuk tata kelola panggung. Nah, apa yang dilakukan teater tangga, bagi saya, masih memainkan tata kelola panggung yang standard. Lampu yang berkilau, panggung yang besar, background yang epik, dan lain sebagainya. Tapi di pementasan yang dilakukan Forum Aktor Yogyakarta, saya ga mikir bakal sejauh itu efek perasaan yang dihasilkan. Tata kelola panggung yang minimal justru jadi bagian dari pementasan.

Jadi begini nih, Forum Aktor Yogyakarta, entah dengan motivasi apa memilih melakukan pementasan di tiga lokasi berbeda untuk satu buah pementasan. Dan entah dengan motivasi apa pula, ni orang-orang memilih di lokasi yang kurang lebihnya memiliki kesamaan ukuran lokasi pementasan: kecil/sempit/terbatas.

Dan ternyata keterbatasan ruangan adalah apa yang mereka cari. Keterbatasan ruangan yang biasanya jadi penghambat malah jadi keunggulan buat mereka. Ruangan Aula PKM FBS UNY kurang lebihnya hanya berukuran 10 kali 10 meter. Tiga sisi ruangan itu dipenuhi jendela-jendela untuk alur udara. Sangat membatasi untuk sebuah pementasan teater. Sebelum diadakanya pentas Forum Aktor Yogyakarta, ruangan ini pernah digunakan untuk pentas teater yang lain. Di pementasan itu, ruangan ini diblok sedemikian rupa dengan kain hitam dengan tujuan agar penoton terfokus dengan permainan.

Forum Aktor Yogyakarta menolak itu. Mereka tidak ngeblok ruangan dengan kain hitam. Mereka membiarkan jendela tidak tertutup oleh apapun. Mereka membiarkan suara-suara sayup dari luar ruangan, masuk ke dalam pementasan. Side wing keluar masuk pemain tidak disembunyikan seperti pada umumnya teater modern. Mereka menganut teater tradisional, dibiarin aja keliatan tu pemain yang lagi ga akting. Mereka membuat ruangan aula PKM FBS UNY menjadi bagian dari setting pementasan mereka. Dan yang paling menyenangkan buat saya adalah dengan ukuran aula PKM FBS UNY yang kecil itu, penonton dibatasi. Tujuan kesederhanaan panggung yang cadas bagi saya.

Lalu tata lampu dan musik juga ga kalah cadasnya. Sangat sederhana. Tapi masuk semua. Tata lampunya ga ada yang terlihat sebagai pemanis. Ga ada yang mengesankan diri ingin berkilau-kilauan. Semua dicukupkan sesuai kebutuhan akting saja. Kebutuhan fade out, kebutuhan mengarahkan fokus penonton dan kebutuhan-kebutuhan dasar pemanggungan saja yang dimainkan. Sederhana. Tapi masuk dengan sempurna semuanya.
Musik juga manis sekali memainkanya, cukup dengan laptop dan pianika. Tidak penuh dengan bunyi-bunyian yang ramai. Tapi bunyi-bunyian yang hanya terdiri dari satu-dua bunyi tapi mampu naikkin tensi. Tepat seperti mendengar saluang berbunyi. Syahdu dan gembira menjadi satu dibawakan oleh satu alat musik. Beringas.

Akting dibawakan Verry Handayani, Jamaluddin Latif, Elisabeth Lespirita, Cilik Tri Banowati, dan Padmo Adi. Saya g perlu bahas satu per satu orang-orang itu kan? Yang dua pertama itu udah tua semua. Yang tiga terakhir masih 20an umurnya.

Kesatuan pementasan yang dihasilkan oleh kesederhanaan-kesederhanaan itu sangat membuai. Kisah cinta yang jadi tema naskah ini sangat menggigit saya. Dengan jumlah penonton yang terbatas dan jarak antara panggung-penonton yang tidak sampai semeter (setengah aula digunakan sendiri untuk panggung, setengahnya lagi untuk penonton. Di bagian penonton pun masih beberapa bagianya dipake untuk menaruh peralatan pengatur lampu, musik dan kru panggung), akting pemain benar-benar dituntut sempurna. Dan para aktor berhasil mencapainya. Walaupun untuk mas padmo adi masih terasa sedikit di bawah keempat aktor yang lain. Saya benar-benar merasakan mimik muka, kerutan wajah, tatapan mata para aktor dengan sempurna. Saya merasakan bahwa saya sedang mendengar curhatan kakek-nenek yang di halaman belakang rumah saat sore hari, saya juga merasakan kegenitan dan kelembutan mbak mbak suster yang lagi ngomongin cowok di warung kopi masa kini. Saya juga merasakan kecanggungan dokter yang jaim dan merasa dipaksa curhat dan berbasa basi dengan pasienya yang menginap bangsal murahan. Aih, manis.

Simbolisme cinta yang dihadirkan dengan properti juga sangat menyenangkan. Sebuah kasur di tengah panggung jadi semacam simbol cinta di naskah ini. Dan pigura besar yang digantung begitu saja di antara panggung dan penonton (walaupun sudah klise) seperti ngajak penonton buat ngeliat masa depan cinta kita: "woi bro, ntar ente kalo tua bakalanya kayak gini nih".

Menyenangkan sekali memikirkan konsep pementasan dan pementasan naskah ini.

Hubungan pentas ini ama Andi Sri Wahyudi apaan? Konsep meminimalisir banyak hal dalam pementasan teater. Tapi Andi Sri Wahyudi selalu berhasil menerjemahkan ulang untuk menjungkirbalikkan nilai-nilai dan simbol-simbol. Sedangkan Forum Aktor Yogyakarta berhasil menerjemahkan ulang untuk mencapai khittah utama nilai-nilai dan simbol-simbol. Andi Sri Wahyudi dan Bengkel Mime Theatre sudah berhasil melalui banyak waktu, sedang Forum Aktor Yogyakarta sebagai kelompok baru berjalan.

Semoga Forum Aktor Yogyakarta mampu nunjukkin kalo pentas teater yang sempurna ga ribet di teknis.

Monday, September 29, 2014

Pentas teater MLM: Jalan emas (the game) Teater Garasi

Saya suka bulan september ini. Bulan ini, 3 kali saya nonton pertunjukkan teater dengan jumlah penonton yang dibatasi. Buat saya ini penting, karena nonton pertunjukkan teater bagi saya adalah nonton akting. Dan teater adalah permainan akting yang berlangsung di depan mata dan tidak semua pertunjukkan teater mempunyai kemampuan memasang layar di wilayah penonton bagian belakang. Dengan jumlah penonton yang sedikit, gangguan penonton yang tidak fokus menonton jadi teratasi.

Dadi ngene, semalam saya abis nonton pertunjukkan teater garasi. Yes, teater garasi. Teater garasi yang otak orang orangnya pada mencengangkan itu.
Judul pentasnya: JALAN EMAS (the game)
Link resmi penjelasan pentas dari pihak garasi:Link publikasi resmi jalan emas (the game)
Dibaca dulu yes linknya garasi itu yes. Oke sip?!

Jadi gini, ni pentas sebenernya mengejutkan sedari awal ya. Dari publikasinya ni ya. Sedari awal udah dipastiin ama garasi, kalo penontonya mentok berjumlah 48. Lalu, garasi dengan terang benderang mempublikasikan pentas ini via internet. Sama sekali ga ada publikasi dalam bentuk publikasi konvensional. Ini setahu saya si ya. Ga tau juga kalo mereka emang nyetak publikasi konvensional tapi dalam jumlah sedikit. Ok fix, kesan pertama dari pilihan publikasi via internet ini terasa seperti misi garasi untuk menjaring penonton. Lalu dimulailah pendaftaran penonton. Saya pun mendaftar ke garasi. Dari garasi saya dikasi email balasan yang mengejutkan. Kejutan ini adalah kejutan yang menyenangkan. Kejutan yang ngasi kita daya tarik dan rasa penasaran. Ni capture email dari garasi buat saya ni

Point 1 yang menarik. Barang yang mau dibawa berupa apa ni? Dia harus berharga buat kita tapi kita mesti ikhlas nglepasinya begitu aja buat nonton ni pentas. Shit hell, itu yang saya katakan dalam hati saya pas pertama baca syarat ini. Point no 6 juga ga kalah ngejutinya tuh. Apalah itu maksudnya?! Emang semengejutkan apa si pentasnya kok garasi sepede itu membuat warning buat orang. Makin penasaranlah saya ini dengan pentasnya. Menarik sekali ini cara garasi menggaet penonton. Suka saya!

Tibalah pada hari pementasan yang mengagumkan itu. Saya nukerin celana hipster saya yang sungguh berharga itu (tapi mengalami permasalahan ukuran lingkar pinggang dengan saya yang sekarang) dengan sejumlah uang jalan emas. Satu-satunya nominal mata uang jalan emas ini sebesar 2000 per lembarnya. Saya dapat beberapa lembar. Setelah dari sesi penukaran uang itu, tahap selanjutnya ke sesi memakai jubah. Saya disambut dua mbak mbak manis berjilbab yang memberi saya jubah. Saat memberikan jubah, mbaknya berkata dengan gaya robotik (baca: berbicara dengan nada dan intonasi yang dibuat-buat untuk mengesankan keramah-tamahan. Persis seperti di resto-resto, minimarket-minimarket, cafe-cafe atau hotel-hotel wagu yang ingin mengesankan diri sebagai tempat yang ramah. Kayak pas pertama kita masuk ke indomaret/alfamart/circleK contohnya. Kita pasti disambut dengan ucapan robotik). Saya lupa apa persisnya kalimat yang diucapkan mbaknya, tapi kurang lebihnya kalimatnya adalah kalimat ucapan optimisme berbahagia ala downline-downline MLM itulah. Saya diminta (mungkin lebih tepatnya, disuruh dengan halus) memakai jubah bertudung dengan corak biru biru dengan bau pewangi laundry yang masih harum. Dan disuruh memakai penyamar bentuk mata, yang kayak di film zorro itu. Maaf, saya g tau apa istilah penyamar bentuk mata ini. Semua penonton yang hadir disuruh memakai itu. Jadi kita seragam ni. Setelah itu kita diarahkan ke meja wine. Yup, wine. Wine tradisional indonesia tapi. Fermentasi singkong tepatnya. Wine ini ditaruh di gelas sloki dengan volume wine yang kurang lebih setengah gelas. Jadi g sampe segelas full winenya. Tapi kami, penonton itu, dibebaskan ngambil berapa aja. Lalu kami disuruh menunggu sampai beberapa saat. Satu lagi yang penting, sesi daftar ulang-menukar uang-diberi jubah-minum wine-menunggu ada di satu ruangan. Ruangan yang kurang lebihnya berukuran 8 kali 5 meter kali ya. Di tengah ruangan itu ada satu instalasi pohon. Dalam radius 1 meter dari instalasi itu dibuatlah partisi imajinatif berbentuk kotak dari entah apa yang berwarna kuning. Lebih jelasnya, saya bikinin petanya yes
Keterangan peta:
1. Pintu masuk
2. Meja besar untuk alur pendaftaran ulang-tukar uang-pemberian jubah
3. Meja wine
4. Instalasi pohon yang diberi partisi imajinatif
5. Kotak kaca yang berisi barang barang keramat yang dipamerkan
6. Kain berwarna merah yang dibuat sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah bentuk yang saya persepsikan seperti tiang-tiang partisi antrian yang kayak di bank.
7. Pintu ke arena pementasan. Saya mengartikanya sebagai pintu perubahan finasial diri.

Ok, saya cukup tercengang dengan ruangan ini. Kami nunggu beberapa menit, sampai datanglah mas-mas MC yang berambut gondrong kota dengan jubah jas ala mas johny deep di alice in wonderland. Ga peris sama si, tapi pas liat jubah mas MC saya jadi inget jubah johny deep di film itu. Masnya ngasi prolog bahwa pentas ini berhubungan dengan bisnis harapan. Dan kita, penonton, dianggap sebagai anonim dalam pementasan itu. Anonim yang seragam. Yop, pentas dimulai.

Setelah nglewatin pintu, kita disuruh duduk ni. 48 orang berjubah sama dengan penyamar mata yang sama duduk di sebuah arena yang tepat di bawahnya (kita ada di lantai 2 bangunan SaRang) disajikan lanskap mistis (ada sebuah instalasi di tengah lanskap dan seseorang berjubah di salah satu ujung lanskap). Dari nglewatin pintu sampai mengatur duduk dan dimulainya pentas pertama (yang berupa tarian) kita dikasi latar suara yang berupa suara burung gagak. Di ujung sebrang pintu pembebasan diri disajikan prisma kaca yang menampilkan bagian kepala mas qoqom dengan gaya futustik sekaligus mistis, sehingga memberi kesan sedang menanamkan mitos ke penonton (mas qoqom menjadi tokoh sentral penyaji di pementasan ini). Setelah penonton tenang, kita disajikan tarian yang cukup liar oleh mbak mbak ga tau siapa. Tarianya sangat asik. Apalagi diiringi dengan musik daerah mana (terasa seperti musik daerah padang si, karena beberapa kali terdengar seperti suara saluang. Tapi kalo saluang kok kurang menyayat. Pokoknya, suara utamanya keluar dari alat musik tiup berbahan bambu. Itu yg ada di pikiran saya. Apalagi dengan vokalnya yang berintonasi dan berbahasa yang tidak saya kenal, jadinya seperti mendengar mantra) Suasananya bener bener berasa kita sedang disajikan pemandangan kegiatan animisme dinamisme Indonesia. Setelah tarian selesai, setelah penari keluar dari lanskap mistis itu, dari gerombolan anonim (penonton) yang duduk imut sambil berdecak unyu itu, beraksilah seorang penonton yang berteriak-teriak. Semacam kesurupan. Beberapa panitia yang menjadi pemandu kita mulai ribut ni, mengatur agar si penonton kesurupan ini dipindahkan dari gerombolan anonim ni. Digotonglah si satu penonton ini. Ga sampe satu menit dari aksi penggotongan ini, salah satu pemandu mengajak kita masuk ke arena pementasan utama. Saat itu, keterkejutan kita belum ilang ni dengan adanya penonton kesurupan ini. Jadi, kita sedikit serem ini ni, bakalan gimana ni ke depanya.

Setelah kita di arena pementasan utama,yang ada di halaman SaRang, tensi kita diturunin ama garasi. Karena kita ternyata diajak makan makan. Tepatnya: di arena utama disajikan dua meja yang saling bersebrangan. Di masing masing meja disajikan berbagai makanan yang dapat dibeli dengan uang jalan emas. Setiap makanan dihargai 2000 mata uang jalan emas. Saat itu, saya tidak tertarik membeli makanan di dua meja itu. Setelah 15menitan (saya ga tau tepatnya, cuma perkiraan aja) kami diminta duduk bersama untuk melajutkan tontonan. Dan tontonan dimulai: 3 orang keluar dengan kostum animisme dinamisme ala eropa. Lalu mereka menyanyi-nyanyi entah apa tapi menghibur. Setelah itu kita diberitahu untuk memasuki tahapan berikutnya dari pertunjukkan ini. Tapi dengan syarat kita mesti membeli makanan. Untuk mendapatkan gelang yang akan menggolongkan kita ke kelompok mana. Pembagian kelompok ini digunakan untuk menentukan kita akan berada di arena pementasan yang mana. Arena pementasan ini ada di samping kanan dan kiri arena pementasan utama. Saya pun mau tidak mau harus ikut memasukkan diri saya ke kategori mana, harus membeli makanan, yang artinya harus mengeluarkan uang 2000. Saya kebagian gelang warna merah. Dan saya masuk ke arena pertunjukkan kategori gelang merah.

Di arena pertunjukkan kategori gelang merah ini, kami, penonton (anonim), ternyata diajak bermain keberuntungan. Di sana ada 4 jenis permainan. Permainan tebak dadu, permainan rolet, permainan tarik tali, dan yang terakhir permainan bank ghoib. Saya tidak akan menceritakan satu per satu jenis permainan ini. Ribet jelasinya. Tapi yang jelas, jika anda benar orang indonesia kelas marjinal dan sering ke pasar rakyat, anda pasti akrab dengan jenis permainan-permainan ini. Ada sekitar 30 menit kami berada di arena permainan ini. Lalu setelah itu, kami diajak kembali ke arena pementasan utama. Saya tidak bisa nyeritain jenis permainan apa yang ada di arena pertunjukkan kategori gelang biru. Tapi saya pikir, secara konsep, kurang lebihnya sama: bermain harapan dan resiko finasial uang jalan emas.

Setelah semua penonton terkumpul di arena pementasan utama, kami disajikan pementasan. Secara ide, bagian pementasan ini sangat menarik. Sangat menarik bahkan. Kita diajak memainkan simulasi seminar bisnis keuangan/motivasi atau berbagai seminar yang berkonsep, dalam bahasa garasi, bisnis harapan. Kostum yang dikenakan aktor-aktornya juga menarik. Pembicara utama yang menamakan dirinya siapa gitu (dimainin ama mas qoqom) memakai setelan jas kiclong warna silver ala bong candra. Mas mas asisten mas qoqom yang berkostum apa adanya yang ngasi kesan cupu, bego, bermimpi akan menjadi the next succesfull motivaor dan ternyata selalu ada di bawah bayang bayang sang motivator. Mbak mbak penari yg berkostum gaun eropa, mbak mbak penyanyi yang berkostum hipster pencinta lingkungan masa kini, mas mas peniup terompet yang berkostum kejawen, dan mas mas DJ yang berkostum casual trendy masa kini. Bener bener ngasi kesan bahwa ide yang asik buat ditampilin. Lalu omongan omongan yang diomongkan ama mas qoqom sebenarnya juga asik. Dia bermain guyonan satir, black comedy kali bahasa kerenya. Tapi sayang kurang total karena mas qoqom ga nyampurin secara halus komedi hitam dengan komedi biasa yang dia bawa. Jadi saya agak menyaring nyaring. Tapi kalo komedi ini dipisah-pisah, komedinya sangat lucu. Penuh dengan parodi dan sindiran. Di antara omongan omongan mas qoqom, disajikan nyanyian nyanyian yang juga asik. Dan permainan berbau ghoib. Asyik.

Tapi yang bikin nyesek dari pementasan ini adalah endingnya. Sama sekali ga ada petunjuk dari pertunjukkan itu yang mengatakan bahwa pertunjukkan akan ending. Tapi g njeglek njeglek amat. Tapi sedari pintu masuk lalu pintu perubahan lalu lanskap mistis lalu nyanyi nyanyi lalu bermain di arena permainan lalu pertunjukkan mas qoqom, naiknya tensi saya ini halus banget, sangat nikmat. Tapi begitu ending, rasanya itu kayak gebet cewek dan ceweknya menunjukkan diri senang digebet tapi begitu ditembak, eh ceweknya nolak jadi pacar kita, dan maunya cuma temenan.

Saya suka sekali dengan ide dan eksekusi garasi di pentas jalan emas (the game) ini. Sedari awal publikasi sampai pertunjukkan ini berakhir ide besar yang dieksekusi ama garasi ini mendekati sempurna. Penonton, yang kemudian dijadikan sebagai anonim, yang bagi saya adalah penggambaran gimana masyarakat kita menghadapai lembaga-lembaga bisnis yang bermain di wilayah mimpi dan harapan benar benar disimulasikan sebagai peserta MLM sedari awal publikasi. Gimana penonton dikumpulkan di satu ruang tunggu dengan segala rasa penasaran dan harapannya ternyata bisa jadi kambing congek begitu saja begitu menghadapai MC bener bener melambangkan gimana kita ada di seminar motivasi/MLM; penuh optimisme akan tajir dalam jangka waktu singkat. Lalu gimana penonton mesti dipaksa secara halus memilih makan di sisi meja mana tapi harus membayar sejumlah uang untuk bisa ke naik level berikutnya benar benar persis seperti konsep MLM; kita disugestikan memiliki kebebasan. Padahal kita sebenarnya berada dalam bingkai ketidakbebasan yang diatur dan dipaksakan secara halus untuk kita terima.

Lalu gimana kita mesti bermain dengan permainan-permainan yang penuh resiko dan harapan. Permainan penuh judi. Permainan yang sehari-hari kita lewati, kita lalui, kita lakukan untuk mencapai kemapanan finasial yang kita harap-harapkan. Dengan segala resiko yang kadang membuat kita kehilangan kemanusiaan kita. (btw, soal menghilangkan sifat kemanusiaan kita demi mencapai kemapanan finasial juga dimainkan di permainan di arena gelang lho)

Lalu simulasi seminar MLM yang sungguh membuat bahagia untuk ngetawain begonya kita yang pernah ikut seminar MLM, yang pernah berharap jika kaya bisa dicapai dalam jangka waktu singkat. Eksekusinya mendekati sempurna. Senang sekali bisa nonton pentasnya garasi yang ini.

Semoga, jalan emas (the game) bisa dipentaskan lagi beberapa bulan ke depan. Dengan eksekusi yang lebih halus dan sempurna.

Wednesday, August 27, 2014

Di perasaan penyair di sebuah ruang jenazah

Di suatu hari yang suci di ruang jenazah
Kita menafsir keramik putih di sana
Waktu adalah waktu
Kita cuma menunggu

Di suatu hari yang suci di sana
Kita membuat jenazah
Sebagai apa saja
Di mana mana  

Di jenazah yang suci itu
Kita mengubur pilu
Waktu yang jadi mesiu
Kesumat yang terus biru

Monday, February 24, 2014

Di mana kami memiliki keberadaan

Pada dunia ini
Kami percaya betul
Di mana kami memiliki
Kapan kami dimiliki
Bagaimana kami saling memiliki
Sampai kami tak paham
Siapa engkau yang di sana

Pada dunia ini
Kami tak percaya betul
Apa itu batas
Siapa itu yang membuatnya
Bagaimana kami membatasi
Sampai kami paham
Siapa yang mencintainya

Negri-negri di perasaan kami,
Kami membuat segalanya sebagai kami

Friday, January 17, 2014

Setelah segala hal

Hidup bagi saya adalah hal-hal hening. Chairil Anwar berhasil benar merumuskanya, seperti ketika menciptakan kata-kata, ia berhasil benar menciptakan hidup saya. Sebagai kuda yang jatuh bangun dengan semangat trial error.

Selebihnya saya memilih untuk membuat hal-hal lama menjadi baru. Menjadi kekurangan dunia postmo.

Selebihnya lagi, saya berangan ke hati gadis perawan maria. Mencipta mesiah. Mencipta negri baru.





Thursday, November 7, 2013

Suroloyo 1 suro 2013

Suroloyo adalah ketinggian bukit yang menyenangkan dan mengerikan. Saya ke suroloyo untuk melihat prosesi jamasan 1 suro. Satu suro adalah hari keramat bagi masyarakat yogyakarta. Dan masyarakat pulau jawa yang masih menganggap hari itu adalah hari keramat. Hampir di setiap titik yogyakarta yang masih mengikatkan dirinya dengan kerajaan hamengkubuwono, satu suro diperingati dengan berbagai ritual yang mementingkan laku jiwa-raga. Contoh yang paling umum adalah laku mubeng benteng kraton yogya. Di Suroloyo, satu suro diperingati dengan ritual jamasan pusaka pemberian kraton yogyakarta. Jamasan adalah membersihkan benda-benda yang dianggap sebagai pusaka di tiap tanggal satu suro. Jamasan di suroloyo adalah membersihkan dua benda pusaka pemberian kraton kepada warga dusun keceme. Benda pusakanya itu adalah ujung tombak yang dikasi nama Kyai Manggolo Dewa dan keris yang dikasi nama Songsong Manggolo Murti.


Suroloyo adalah nama puncak bukit tertinggi di perbukitan menoreh. Anda g asing dengan kata "menoreh"? Yop, inilah menoreh yang selalu ada di drama-drama dan cerita-cerita taun 70an yang legendaris itu. Dan suroloyo terkenal bukan karena menjadi latar tempat cerita-cerita taun 70an itu. Menurut legenda, suroloyo itu tempat tapa-semedinya Hamengkubuwono I yang legendaris itu saat dia masih jadi putra mahkota. Katanya, sebelum nyampe di suroloyo, si calon raja yang rebel ini dapet wangsit buat jalan kaki ke arah barat dari kerajaanya yang ada di kotagede. Dan karena orang ini jenis orang yang penurut, maka jalanlah dia ke arah barat tanpa tahu di mana titik akhirnya. Setelah jalan kaki berpuluh-puluh kilometer, perhatiin dengan seksama dan renungkan; jalan kaki, tu calon raja ngadem di puncak suroloyo. Eh, ndilalah pas ngadem di suroloyo ini, dia dapet wangsit lagi buat semedi di tempat itu. Maka bertapalah dia di puncak suroloyo sana setelah berjalan kaki dengan medan paling rebel yang pernah saya lewati di jaman modern ini. Yop, medang dari kota yogya buat ke puncak suroloyo itu berat, terutama di 15 kilometer terakhir. Walaupun jalan udah diaspal halus, walaupun banyak obyek wisata di radius 20kilometer dari situ, walaupun ada SD di pertengahan perjalanan, walaupun masyarakat udah banyak di sana, medan di sini menanjak dan bikin jantung deg-degan karena motor mesti ada di kondisi oke kalo ga pengen jadi orang konyol.

Jauh sebelum Raden Mas Rangsang dapet wangsit gokil itu, puncak suroloyo udah jadi legenda tersendiri bagi masyarakat hindu jawa kuno. Suroloyo, bagi masyarakat hindu jawa dipercaya sebagai tempat tinggalnya dewa-dewa kahyangan. Dan salah satu dewa yang paling dipercaya ada di suroloyo adalah semar. Tau semar kan? dewa gokil yang menyimpan banyak filosofi di bentuk fisiknya dan omonganya itu. Jadi ga heran, di sini ada patung Semar dan murid-murid utamanya. Konon, patung ini pemberian dari Gusti Bimo dari pakualaman (seingat saya, karena waktu ngobrol dengan warga setempat yang ngasi info ini, saya ga nyatet. Apakah Gusti Bimo ato nama yang mendekati itu. Tapi yg pasti, dari pakualaman). Patung ini sangat mencolok begitu anda ada di wilayah puncak suroloyo karena ada di wilayah tempat parkir utama puncak suroloyo.
Suroloyo adalah nama puncak tertinggi di perbukitan menoreh. Puncak ini ada di wilayah dusun Keceme, desa Gerbosari, kecamatan Samigaluh, kabupaten Kulon Progo, DIY. Di dusun ini setidaknya ada tiga puncak yang bisa didatangi wisatawan dan menjadi tempat buat lihat panorama alam. Saya ke sini dengan tiga orang teman, yang dua termasuk kategori ajaib, yang satunya lagi belom saya tahu keajaibanya apa.
Dua orang ajaib ini pernah ke suroloyo di tahun 2012 dan mereka mengalami penderitaan di tahun itu karena mereka meniatkan camping di suroloyo. Sedangkan di tahun ini, saya dan teman-teman menghilangkan pilihan camping dan memilih tinggal di penginapan yang dimiliki warga. Biaya penginapan seharga 120.000/hari. Dengan panorama alam yang super duper, rasanya harga 120.000 terhitung masih terjangkau. Saya datang satu hari sebelum acara jamasan dimulai. Jadi kami, sempat merasakan dengan leluasa suasana dusun keceme menjelang ritual jamasan.
Seperti yang saya bilang di awal, prosesi jamasan ini mengundang banyak sekali orang untuk datang. Dan beberapa di antaranya masuk dalam golongan manusia yang melakukan berbagai hal untuk mencapai laku jiwa-raga yang sempurna. Salah satu laku jiwa-raga yang dilakukan golongan ini adalah berjalan kaki dari tempat tinggalnya menuju ke puncak suroloyo. Jarak yang ditempuh bisa bikin anda, manusia dengan berbagai kepraktisan modernitas dan mainstream kapitalisme uang, cukup merasa bego. Jarak paling minim yang ditempuh berjalan kaki untuk mencapai laku jiwa-raga ini adalah 25 kilometer. Kakek berbaju putih yang ada di foto di bawah ini melakukanya, jalan kaki 25 kilometer. Dan saya masih mendapati sekitar 7-8 orang lagi yang berlaku seperti itu. Dan mereka menjalaninya dengan biasa-biasa aja, cuek bebek. Dan saya tercengang mendengar ceritanya.
Dari tempat parkir utama, yang ada patung semarnya, untuk menuju puncak suroloyo, diwajibkan bagi siapa saja untuk menaiki jalur tangga yang curam. Katanya, ada sekitar 380 anak tangga yang harus dilewati dengan sudut kemiringan sekitar 70 derajat. Curam, sodara!! Ada dua titik pemberhentian untuk istirahat di sepanjang jalur tangga ini. Dan perjuangan setelah menaikki tangga-tangga itu cukup impas dengan panorama alam yang asik. Dan cukup bikin meringis dengan banyaknya coretan vandal di puncak suroloyo.

Malam hari sebelum prosesi jamasan dimulai, warga sekitar dusun keceme selalu melakukan acara yang bernama mocopotan. Acara ini dilanjut dengan acara kendurian, makan-makan bersama dengan lauk simpel. Anda g tau mocpotan itu apa? saya juga ga tau, dan saya gugel karenanya. Makanya, anda sebaiknya juga gugel. Acara mocopatan ini diikuti ama beberapa orang yang dituakan di dusun ini, beberapa perangkat dusun, dan masyarakat umum. Di sini dibacain beberapa puisi tradisional jawa dan beberapa puisi hasil bikinan warga. Tapi, puisi-puisi yang dibacain sama sekali ga ngomonging cinta dan kesakitan emosional seperti puisi-puisi penyair jaman sekarang. Puisi-puisi yang dibacain bertema masyarakat, dari masalah kulon progo, masalah dusun, dan pastinya masalah sejarah sultan agung alias raden mas rangsang. Saya ga ngerti secara detail apa aja isinya, karena saya ga bisa bahasa jawa halus. Acara ini diikuti ama masyarakat umum, terbuka. Dan regenerasi berjalan baik di sini, yang dateng g cuma orang tua aja. Anak kecil pun juga ada, dan ga cuma satu-dua.
Di akhir acara, ada acara doa bersama. Dan ada dua penganut agama yang mengikuti acara ini, yaitu agama katolik dan Islam. Dan pembawa acara, ngasi giliran penganut agama katolik buat berdoa duluan, yang dilanjut penganut agama islam. Yang bikin saya heran bukan pluralisme itu. Tapi di setiap isi doa dua penganut agama itu, mereka berdoa buat negara Indonesia. Benar-benar buat negara, bung! Total isi doanya buat negara Indonesia. Dari sekian banyak pengajian yang saya temui, baru kali ini saya nemu acara berdoa yang hampir seluruh doanya memohon kebaikan buat negara. Ini bukan acara kenegaraan, ini adalah acara masyarakat. Dan mereka berdoa buat bangsa. Mengagumkan!

Setelah bubaran acara mocopatan, saya kembali ke penginapan, tidur dengan harap-harap cemas bisa bangun pagi. Dan ternyata saya bisa bangun pagi jam 5. Saya dan teman-teman berjalan-jalan santai. Hidup kami begitu woles saat itu. Woles biyanget. Kami juga ketemu beberapa orang yang cukup gokil yang segera jadi temen seperjalanan seperjuangan. Kami stand by di sebuah warung kopi yang menjual kopi dan teh hasil bercocok tanam di sekitar dusun. Mereka juga menjual kopi dan teh dalam bentuk bungkusan sebagai oleh-oleh khas suroloyo. Sangat menyenangkan. Sampai kemudian acara utama prosesi jamasan segera dimulai. Prosesi jamasan ini dimulai dengan acara kirab membawa gunungan yang nantinya direbutin. Yang menarik di tahun ini, gunungan yang dibuat masyarakat dusun, membawa tema hellowen di puncak gunungan. Kata teman saya, ini adalah bentuk akulturasi budaya paling damai. Yup, menurut saya, ini jenis akulturasi yang yogya biyanget.
Prosesi kirab ini dimulai dari tempar parkir utama menuju sendang tempat jamasan benda pusaka. Jaraknya kurang lebih satu kilometer. Kirab ini diikuti oleh berbagai perangkat dusun, dari bocah kecil yang berjalan telanjang kaki sampe kakek-kakek tua yang memainkan musik tradisional jawa. Dan pastinya dengan kostum jawa-yogya. Eh, ada wakil bupati kulon progo juga yang ikut prosesi ini.
Setelah berjalan sekian lama, sampailah rombongan kirab ini di tangga turun menuju sendang. Di depan pintu sendang, diserahkanlah pusaka yang akan dibersihkan kepada sesepuh sendang. Dan lalu dibawa masuk ke lokasi sendang. Dan inilah puncak acara jamasan suroloyo; membersihkan dua pusaka oleh beberapa sesepuh dusun.
Barengan dengan acara jamasan ini, gunungan yang dikirab warga dusun, yang pucuknya ada labu hallowen itu, dijadikan rebutan oleh masyarakat yang menonton. Hasil-hasil bumi masyarakat dusun yang disusun rapi jali dianggap memiliki berkah di mata masyarakat umum. Layaknya gunungan yang diperebutkan masyarakat di kraton hamengkubuwono. Sayang, saya ga punya ilmu membelah diri, jadi saya cuma bisa motret acara jamasanya aja. Tidak acara rebutan gununganya. Muuph ea qaqa....

Setelah benda-benda pusaka itu dibersihkan dengan air sendang dan menurut tata-cara sesepuh dusun, setelah benda pusaka itu dibawa keluar dari lokasi sendang, masyarakat umum dipersilahkan masuk ke lokasi sendang yang pada hari-hari di luar tanggal satu suro ini ditutup bagi masyarakat umum. Di sini masyarakat mengambil air sendang untuk digunakan bagi banyak kebutuhan warga. Karena air sendang sisa jamasan merupakan air yang mengundang berkah. Jadi di sinilah pergulatan masyarakat dimulai. Dalam arti yang paling harfiah. Lokasi sendang merupakan lokasi yang tertutup, dibatas kelilingi tembok, dan cuma memiliki satu akses pintu masuk. Lokasi sendang ini cuma berukuran sekitar 7 kali 3 meter. Cukup kecil untuk menampung ratusan masyarakat yang ingin mengambil air sisa jamasan. Dan begitulah, terjadi beberapa insiden dorong-dorongan, jatuh, dan kepleset. Tapi itu semua ga menyurutkan semangat warga buat ngambil air sisa jamasan. Masyarakat biasanya cuci muka dengan air sendang, dan menyimpan air sendang dengan botol air mineral atau dengan jirigen ukuran 5 liter. Air sisa jamasan ini benar-benar dianggap ampuh buat mendatangkan rezeki dan berkah bagi yang menggunakanya. Dan tua-muda, pemuda-pemudi harapan bangsa hingga kakek-nenek renta mencuci muka dengan air sendang ini. Hell Yeah!!...
Dan begitulah setiap keramaian yang berakar dari nilai-nilai tradisional pada akhirnya tidak bisa menolak tradisi kapitalisme modernitas, maka jangan berharap anda akan dapat suasana khidmat, tenang, dan berbagai suasana kebatinan yang anda bayangkan. Karena modernitas menolak itu. Maka, di sepanjang perjalanan antara tempat parkir utama hingga lokasi sendang, anda akan banyak dapati berbagai bentuk modernitas kapitalisme masyarakat.

Tapi, seperti yang selalu saya bayangkan, Yogya selalu punya dinamisasinya sendiri menghadapi berbagai bentuk pengaruh luar. Akuluturasi yang halus lembut dan kadang slengean menciptakan yogya yang tidak serta merta menolak pengaruh luar dan tidak serta merta menerima mentah-mentah. Semoga, akuturasi yang halus lembut ini berjalan terus menerus sampai kiamat nanti. Dan semoga tempat sampah disediakan di wilayah ini. Dan semoga, masyarakat yang jadi wisatawan juga nyadar buat ga buang sampah sembarangan. Aminn....