Sunday, April 8, 2012

Sukma dan cahaya yang entah bagaimana



Demikian itulah bermula
Sebuah klise:
Seorang anak, yang berkata,
“Aku pergi ke sebuah sore”

Dan seperti semestinya sebuah sore, cahaya matahari dan cahaya lampu akan saling bertabrakan menciptakan fiksi kota yang menjadi pesolek paling urban. Dan di situlah saya melihat ketidakadilan manusia pada cahaya. Ketidakadilan yang dingin, ketidakadilan yang hanya berdasar kelaziman. Di malioboro, di kota yang sejarahnya dipenuhi ketidakadilan dari para pesolek. Maka, saya menjelmakan diri saya sebagai Zarathustra yang membawakan cinta yang mampu menanggung seluruh hukuman dan kesalahan cahaya pada manusia: sebuah sukma.
Begitulah saya datang pada malioboro, membawa sukma dengan semangat sajak-sajaknya. Mencoba membuat lampu-lampu ini berjaga padanya. Semangat itulah yang mau tidak mau membuat saya memotret perempuan ini. Lampu-lampu yang remeh-temeh dan menyusahkan ini membuat saya sering jengkel setiap mencoba mendapat pemandangan kota di malam hari. Dengan memotret perempuan ini, saya mencoba untuk mencari sisi indah lampu-lampu ini. Sisi indah kota malam hari di tengah perempuan urban. Dan sepertinya, cahaya dan kota dan perempuan yang bersajak adalah perpaduan yang cukup menyulitkan. Kesulitan yang permanen. Sempat saya merapal sajak “Di malioboro” milik GM, tapi tak ada yang akan bisa diterangkan, rasanya. Saya sampai pada titik sadar jika saya masih amatir dalam hal memotret. Saat itu juga saya menyerah. Bukan pada sukma yang bersajak atau kota yang bercahaya. Tapi pada ilmu pengetahuan yang semakin banyak melahirkan keajaiban. Hingga dongengan leluhur malu tersipu. Hingga saya tak menemukan kata-kata untuk mengungkapkan kesulitan saya ini. Hingga saya harus banyak mengutip banyak ucapan-ucapan orang untuk mengungkap betapa sulitnya sukma, malioboro, dan cahaya saat ada di mata dan kamera saya. Pada akhirnya, narasi ini akan saya akhiri dengan kutipan puisi Komang Ira:

Aturan-aturan tak mesti dipatuhi
Badai mengubahnya lebih indah
dari segala arah angin
Memukul-mukul bebatuan
Dengan tanganya
Yang bernama ketiadaan

Retaklah batu
Seperti bulat mata mereka yang pucat






Tuesday, March 20, 2012

The girl in the garden: Caka windi





Suatu hari, Lawrence, si lelaki kesepian yang serba kik kuk masuk ke sebuah cafe, membeli secangkir teh itali. Ia sendiri dan kehabisan kursi. Tapi, London selalu punya banyak cara agar cinta tetap nakal dan elegan. Maka di satu sudut cafe itu, Gina, sang perempuan yang baru patah hati, duduk sendirian bersama kopi itali yang pahit. Hidup adalah keniscayaan waktu. Dan pertemuan tak lebih dari keniscayaan hidup yang biasa-biasa saja. Di sanalah, perasaan akan memberi manusia pemaknaan-pemaknaan pada hal yang biasa-biasa itu. Lawrence, yang diperankan aktor dengan kerut muka yang sangat fotogenik, memaknai Gina sebagai gadis muda yang penuh kesyahduan dan kebaruan hidup.

Dengan segala kekik-kukkanya yang khas lelaki kesepian dan penuh ragu, Lawrence menghadapi beberapa rintangan perasaan jatuh cinta seorang lelaki. Hingga, lelaki ini berhasil membawa Gina ke Reykjavik untuk menemani hari-hari rapat besar konferensi negara-negara G8. Disinilah masalah dimulai.

Cinta, pada akhirnya harus berhadapan dengan realitas dunia. Tidak saja kebutuhan primer sampai tersier, ia juga mesti berhadapan dengan berbagai isme-isme yang dimiliki dunia. Film The Girl In The Garden ini bukan kisah cinta yang ditabrakkan dengan masalah-masalah cinta itu sendiri, semacam romantisme Romeo-Juliet. Film ini menceritakan cinta dengan isme-isme di luar cinta, isme semacam sosialisme dan liberalisme. Gina, sang perempuan yang mudah sensitif dan tidak mau memahami gaya hidup pejabat publik dan staf-stafnya, membuat pikiran mentri keuangan Inggris, bos Lawrence, dan Perdana Mentri Inggris menjadi buntu karena dicecar dengan retorika-retorika ala demonstran di luar ruang konfrensi. Lawrence, si tua kikuk peragu ini, tak bisa berbuat apa-apa untuk menenangkan si bos atau Gina. Maka, ujung cerita adalah kehancuran pekerjaan Lawrence dan terujinya cinta Lawrence-Gina.

Begitulah saya langsung teringat Lawrence dan Gina di film The girl in the cafe, saat mengambil foto-foto gadis berbaju merah ini. Bernama caka windi, sebut saja begitu, saya mengalami situasi yang hampir sama dengan Lawrence; berhadapan dengan gadis yang baru saja patah hati. Dan sayalah si kikuk Lawrence yang tidak paham bagaimana berhadapan dengan perempuan. Seluruh konsentrasi saya gunakan untuk mencoba membalas setiap percakapan si gadis. Dan apa kuasa, saya pikir saat tua nanti saya akan mengalami nasib Lawrence. Untung saja, saya memiliki perbedaan mencolok dengan Lawrence. Lawrence mendengarkan The Rolling Stones, sedang saya mendengar Nirvana. Perbedaan ini, membuat saya merasa mampu bertahan untuk tidak terlalu kik kuk dan peragu secara berlebihan seperti yang dialami Lawrence.

Maka, setiap saya kik-kuk berhadapan dengan sang model atau menatap mata sang model lewat kamera atau foto-foto hasil jepretan saya, saya kencangkan lagu Stay Away milik Nirvana di dada.

Friday, February 3, 2012

Dalam tumpukan siang hari, Simpang Lima

Martin Cooper dan Motorolla tahun 1973 mungkin tidak berpikir jika penemuan mereka memiliki efek mendasar dalam kehidupan. Handphone, ide mereka itu ternyata ikut menyumbangkan efek domino pada dunia, sebuah revolusi mesin digital. Keberlanjutan dari revolusi industrinya James watt. Visi handphone Cooper selama ini didapat dari film star trek. Awalnya ia kagum pada komunikator yang dimiliki Kapten Kirk di film Star Trek. Pada awalnya, segala hal adalah imajinasi. Sebuah imajinasi yang ada di dunia ide bagi Cooper bisa menjadi, bisa "real". Dan pada Joel, teknokrat Bell labs-perusahaan telekomunikasi raksasa di Amerika saat itu yang bagi Joel dan Motorolla adalah Goliath, Cooper menyiratkan sorak sorai implementasi idenya pada panggilan pertama penggunaan handphone: "Joel, I'm calling you from a 'real' cellular telephone. A portable handheld telephone."

Maka, tahun 2007 majalah TIME menjatuhkan penghargaan "Best Inventor" pada Cooper. Sejajar dengan Tesla dan Newton yang juga memberi pengaruh mendasar pada dunia pengetahuan manusia. Pengaruh mendasar yang kemudian disebut masyarakat sebagai revolusi digital: mesin ketik menjadi komputer, piringan hitam menjadi DVD, dan telpon rumah menjadi handphone. Dan Cooper, Paul Gregg, atau Von Neumann tidak dapat membendung lagi pengembangan penemuan-penemuan mereka di revolusi paling kontemporer ini.

Saya tidak bisa membayangkan seandainya Cooper menelpon istri, kekasih, atau mungkin keluarganya pada panggilan pertamanya. Ia memilih Joel, teknokrat yang bagi Cooper adalah teknokrat yang jauh lebih berpengalaman daripadanya, yang juga menjadi saingan utamanya saat itu dalam persaingan menciptkan telpon portabel yang mobile. Pun pada panggilan kedua handphone pertama di dunia itu, ia malah menyerahkan handphone pada wartawan dan pejalan kaki di sekitar New York Hilton hotel untuk ikut mencobanya. Saya lalu terlempar ke film The King's Speech. Di meja makan, Logue, diperankan Geoffrey Rush yang bagi saya lebih asyik aktingnya daripada Collin Firth, bercerita pada istrinya, Myrtle jika ia mendapat pasien sangat spesial. Tapi kemudian ia tidak melanjutkan siapakah sang pasien itu hingga sang pasien yang kemudian jadi King George VI mendatangi rumah mereka berdua.

Saya tidak tahu kehidupan pribadi Cooper. Tapi bayangkan seandainya Cooper menelpon istrinya atau anaknya atau siapapun yang memiliki keterikatan emosi paling dekat di kehidupan pribadinya. Bayangkan bagaimana media akan memblow up habis-habisan kejadian paling romantis di era revolusi digital itu. Bayangkan bagaimana reaksi Myrtle jika Logue, seorang nekad yang tidak punya latar belakang akademis terapi mulut, bercerita pada Myrtle bahwa ia sedang menangani anak kedua seorang Raja Inggris yang menjadi permasalahan se-Britania Raya karena kegagapanya. Betapa monumentalnya sebuah arti komunikasi pada kedua contoh kasus yang saya sebutkan itu.


Kutulis lagi sebuah puisi
mungkin untukmu, mungkin juga bukan
kata-kata selalu punya banyak kemungkinan,
seperti waktu, seperti tubuhmu.
...............................


Kata-kata adalah alat komunikasi. Padanya kita menyingkap banyak makna, banyak kemungkinan. Sebagai pengantar ide, kata-kata mau tidak mau menjadi sebuah jalan nasional di sebuah pulau besar gagasan. Sebagai jalan utama, ia memiliki banyak cabang, dari jalan propinsi, jalan kabupaten, hingga jalan desa. Seperti waktu yang merelatifkan banyak kejadian, kata-kata mampu menisbikan berbagai pengertian dan ide. Seperti tubuh tokoh imajinasi Ahda Imran dalam puisi itu, kata-kata memiliki berbagai bayangan mau kita imajikan seperti apa ia.

Maka komunikasi mau tidak mau harus berada dalam satu paket tatanan gagasan. Artinya, jika ingin mempertahankan satu ide dalam sebuah kata/kalimat/komunikasi sebagai ide mutlak, tanpa menerima berbagai pengertian lain, silahkan bermonolog. Dalam duplik cerpen 'langit makin mendung', H.B Jassin, pada paragraf keduanya, paragraf setelah ucapan terima kasihnya, langsung mempermasalahkan sikap jaksa penuntut umum yang tidak mau membuka komunikasi, tidak mau membuka berbagai kemungkinan lain atas cerpen Ki Pandjikusmin. Bagi Jassin, Jaksa lebih suka bermonolog, berbicara dalam jurusan pikiran sendiri. Lebih jauh, Jassin berkata jika jaksa tidak terbuka hatinya bagi keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan yang positif. Jassin, orang yang bergelut di dunia kata-kata itu dengan tegas memastikan jika kata-kata memiliki pengaruh yang besar pada hati, pada perasaan. Hati, sesuatu yang terkait dengan rasa, sense, menjadi hal yang paling menohok ketika Jassin membicarakan permasalahan Jaksa itu. Saya tidak mampu menahan implikasi besar jika setiap orang di dunia bermonolog, memutlakkan idenya akan kata tanpa mau menerima kemungkinan lain.

Sunday, January 15, 2012

Di musim kenangan

I/
Pergilah
Mencari jalan keluar
Atau luka yang basah

Di tiap kubangan
Yang sempurna, kau akan tahu
Siapa yang riuh. Bersamamu
Dan bersama cuaca buruk itu

Di tiap bayangan dan jawaban
Aku rasa aku akan tahu
Dari mana datangnya kekalahan
Dan sejarah kemenangan

II/
Kuatlah
Sesekali, percayakan nasib
Pada cinta dan kehendak spontan
Sebab di sana, kalimatmu
Takkan jadi apa-apa. Luka tak datang
Dan rindu tak bikin kita berjarak

Tundalah mimpi-mimpi yang patah
Aku sengaja, dengan tenang
Memilih kesakitan sebagai cara
Mengurai cinta yang gagal lahir

III/
Saat orang-orang sibuk jadi jendela
Saat itu, baiknya kita mengenang segala
Dengan kenyataan. Kau hujan
Aku sungai. Di sekeliling kita hutan
Dan tujuan kita adalah perjalanan

Sepanjang kesunyian itu
Kau akan mendongengkan aku
Percakapan dua orang kalah
Yang diam-diam membuntutimu
Dengan air mata dan kepercayaan
Yang melulu jadi pertanyaan

IV/
Seandainya kau tak bergetar
Pada kecemasanku. Hidupkanlah
Perasaan dan kenangan-kenangan
Di wajah-wajah gelandangan penghuni taman

Di taman itu aku bernyanyi
Soal sudut-sudut diam yang dihuni
Kecemasan dan kebodohan negara
Yang selalu salah saat mengganti
Lampu phillips dengan lampu petromaks
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Friday, January 13, 2012

Ode untuk 2012

Pada awalnya, saya tidak terlalu memikirkan tahun ini. Saya dipusingkan banyak hal, terutama tentang perginya zarathustra yg entah ke mana. Saya tidak terlalu pusing sampai saya memegang buku mengenai Soe Hok Gie. Soe, cina nasionalis itu, meninggal di umur 27.

Saya lalu ingat diri saya. Tahun ini, 5 bulan lagi, saya berumur 27. Jujur, saya ingin meninggal saat umur 27. Karena saya merasa sudah tidak berguna buat siapa-siapa. Andaikan saya tidak mati, makin kacaulah diri saya ke depan-depanya.

Chairil, hendrix, cobain, morrison mati di umur 27. Siapa yang tidak tertarik dengan legenda 27 itu: mati di saat manusia ada di puncak keseimbangan idealisme dan pragmatisme. Sebab setelah 27, hidup hanya dipenuhi pragmatisme, untuk itu saya tertarik mati di umur 27.
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Thursday, January 5, 2012

Kepada televisi

Dewi gita, di malam kami yg tidak pernah lugas, kamulah makanan ruhani kami dari kekosongan: burjo yg lupa mana yogya mana kuningan, susu dancow yg memilih tidak bertindak apa-apa, dan pisang aroma yg diamdiam membunuh kami dengan vanila.

Dewi gita, di malam kami yg hilang dalam keadaan ini, kamulah pembakar cita-cita cinta kami: sepasang gay yg dipenuhi senyum mesra, keluarga kecil yg memilih menu makan malam, juga gadis-gadis cantik yg bahagia terlihat haus perhatian.

Dewi gita, di kesepian yg tak memilih pergi, apakah ada rindu yg semanis lagumu: bahagia di tv selalu terlihat tulus, tak ada kesedihan, atau kami tak pernah bisa memilah mana yg diatur mana yg tidak.

Dewi gita, siapakah kami saat kami memuja berbagai rindu ini: kau menyanyi tak henti, aku minum susu, tak ada yg tahu siapa yg lupa pada puisi.
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Wednesday, January 4, 2012

Kepada pemahaman

Pada akhirnya
Sajak tak lebih baik
Dari apa-apa
Bahkan darimu
Yang memilih pergi
Ke sajak

Saturday, December 24, 2011

Dalam perspektif

Oi sajak, berilah aku nuansa
Di mana rindu, di mana perbatasan
Tak ada penantian di kepalaku
Maka berilah aku cinta yang lengkap

Cinta yg lupa cara menyalakan
Tombol on-off cahaya matamu

Wednesday, December 21, 2011

Pada sajak

Tuhan
Yang maha sajak
Akulah rindu
Yang hilang dalam bentuknya

Di antara banyak hal
Aku tak pernah tahu
Di mana aku membuat kata

Di antara puluhan emosi
Aku sering memilih pergi
Pada berbagai air mata

Di antara kesedihan
Aku selalu bingung
Bagaimana kau dan aku menyatu

Tuhan,
Yang maha lirih
Buatkan aku apa saja
Agar aku tahu siapa kau
Siapa aku

Tuesday, October 25, 2011

Jika cinta itu disorientasi, kenapa Tuhan begitu sempurna menjalankan kerjaanNya?

Disorientasi. Itu jadi kata kunci kenapa saya ngetik tulisan ini. Saya kehilangan arah setelah saya kembali dari jakarta. Jakarta yang kejam ternyata memang jauh lebih kejam daripada seorang ibu tiri di kisah lirik lagu itu. Cih, saya benar-benar mesti memikirkan ulang banyak hal. Untung ada Zarathustra yang menemani saya. Saya ingat ucapanya pada saya, kurang lebihnya begini: “jika kamu merasa lebih aman tinggal di hutan bersama segerombolah hewan pemangsa daripada tinggal di suatu wilayah yang dihuni manusia, maka itulah kesepian.”

Apa disorientasi tidak jauh dari kesepian. Saya pikir iya. Di Jakarta saya kehilangan banyak hal, tapi untungnya saya nemu beberapa hal yang cukup bikin saya terdorong untuk bertahan di Jakarta. Tapi kekuatan saya benar-benar terkuras, ibaratnya seperti pendekar cina di film-film silat yang ketemu musuh utamanya. Semua tenaga dan ilmunya dipake buat ngalahin musuhnya itu, tapi ternyata si pendekar mesti ngakuin kalo dia kalah dan tenaganya kehabisan buat ngelawan musuhnya lagi.

Saya juga berterima kasih ke Samuel Mulia. Dia menguatkan saya di beberapa hal. Semoga saja dia jadi lelaki normal yang bijaksana. Dan saya tiba di lagunya Parkdrive, band jazz yang ngesoul itu: “namun kau tak di sini dan ku hanya bisa mengenang cinta”

Apa kesepian tidak jauh dari cinta. Tentu saja iya. Cinta adalah emosi positif yang melingkupi manusia. Dan kesepian adalah antitesis dari cinta. Kesepian adalah emosi negatif kedua setelah ketakutan yang membuat manusia bisa berbuat apa saja. Jika kesepian dan ketakutan digabungkan, hasilnya bisa parah, Hitler contohnya. Orang-orang besar hadir di dunia salah satunya disebabkan oleh ketakutan dan kesepian. Pengungggulan ras arya oleh Hitler adalah bahasa lain dari ketakutan hitler akan hancurnya dirinya dan kelompoknya yang kebetulan memiliki kesamaan sebagai ras arya (mudah-mudahan teori ini bener!)

Saya balik ke cinta lagi aja. Saya juga mengalami apa yang dinamakan disorientasi cinta. Saya sampai pada paham jika cinta (damn god! Saya ngomongin cinta pada kekasih!) itu 90% tidak melulu soal perasaan cinta an sich. 90% itu terdiri dari: 25% gombalan, 50% modal duit, 25% kelicikan (kelicikan ini terdiri dari sebrapa kuat kontrol emosi, kontrol seksual, dan kontrol omongan). Nah, 10 % sisanya baru sepenuhnya dikuasai perasaan cinta an sich. Bila anda pernah atau sedang tinggal di jakarta, saya yakin anda percaya dan menyakini pada teori saya yang ini. Gimana cara mengatasi cinta seperti ini, pilihan saya cuma ada tiga; lari dari kenyataan (bentuk tindakanya bunuh diri, gila, atau merubah karakter 180 derajat), menerima kekalahan (bisa dilakukan secara ikhlas atau tidak ikhlas. Yang sedih ya yang tidak ikhlas ini, dia akan mengalami banyak tekanan selama beberapa waktu sampai dia merasa ikhlas dengan kekalahanya), ketiga adalah merubah orientasi seksual (yakinlah, ini bentuk yang paling parah dan bentuk ini memang ada dalam artian bentuk ini bukan sebagai reprentasi sebuah motivasi atau sebuah turunan dari sebuah motivasi, tapi bentuk ini adalah sebuah motivasi utama. Sebuah motivasi utama yang memang langsung berbentuk tindakan nyata yang jelas bentuk tindakanya. Maksudnya begini, representasi dua pilihan sebelum pilihan ini bisa bermacam-macam, tidak bisa ditebak secara langsung. Sedangkan pilihan ketiga ini sudah bisa ketahuan bentuk represantasi tindakanya. Tapi satu hal penting lainya, dua pilihan selain pilihan ini memang bisa mengantarkan orang untuk merubah orientasi seksual. Point penting dari pilihan ketiga ini adalah motivasi merubah orientasi seksual ini menjadi motivasi utama dan pertama, bukan motivasi sampingan.)

Ah, maaf saya berceloteh terlalu banyak hal tidak penting. Saya baru saja disadarkan Bali Lounge. Maafkan saya. Begini saja, jika kita masih berpikir seperti anak SMP yang penuh kegalauan ABG, maka ucapkan kata ini pada orang yang melukai cinta anda: “makasi ya buat semuanya, makasi udah nyakitin aku!” Dan selama anda masih dalam dalam proses galau saya sarankan anda jangan pernah membaca semua karyanya Ayu Utami, Djenar Maessa Ayu, atau tulisan-tulisan lain yang bercirikan pelarian diri dalam bentuk seksual, hubungan saling-silang, dan kekerasan diri. Jika anda membacanya, anda akan mudah termotivasi untuk mengalami cinta yang masokis dan miskin. Saya tidak berceramah, saudara. Saya hanya berbagi pengalaman. Saya sarankan anda membaca karya puisinya Acep Zamzam noor atau Zawawi Imron atau Ahda Imran. Atau jika anda ingin merasa cerdas (padahal sebenaranya anda bodoh) saya sarankan anda membaca Goenawan Mohammad. Saya ambilkan puisi cintanya sebagai contoh manisnya:

Waktu adalah mesin hitung, cintaku
Jam berkeloneng dingin (seperti gaung)
di kota itu. Angka-angka itu telah lama tahu:
bayangku akan hilang sebelum salju

Sementara kau akan tetap jalan
(seperti kenyataan). Sampai pada giliran.
Mengaku, tiap kali daun jatuh di rambutmu:
“Tenyata kenangan hanya perkara yang lucu”

Tentu: Tidak apa. Kita tak memilih acara.
Pada angin runcing dan warna musim kau juga
akan terbiasa. Nasib telah begitu tertib.
Pada Lupa kita juga akan karib.

Sunday, October 2, 2011

Di kamar sepupu

Rindu adalah kain sprei lusuh, ketombe jatuh, apak keringat, dan handphone yang tidak aktif.

Maka dari itu, waktu adalah cat tembok yang diam dan lupa bagaimana ia mencapai lembab yang berlebih.

Pada akhirnya, segala-galanya adalah bagaimana kami menjatuhkan cinta kami pada ruangan ini. Sebab kami lupa siapakah yang memebuat kami menyenangi ruangan ini.

Sunday, August 7, 2011

Pemandangan dari dalam tubuhmu

I/
Demi malam yang menjadi-jadi
Dan udara yang memuat kabar
Aku sisihkan senyap dalam
Tiap kepergian. Rindu
Tinggal jadi kerumunan

Berbagai kolase musim
Berhenti pada peristiwa
Dan kontras persembunyian
Aku berbisik pada udara
Pada akhir bentuk kata-kata

Berpuluh kali ingatan
Aku tak dikenal. Tiap pertanyaan
Aku lihat kau meritus ajal
Menggubah cuaca sebagai rumah
Dan klimaks kebahagiaan

II/
Bebaskan aku
Dari kekosongan tubuh
Dan rahasia yang selalu lengkap
Ke arah harapan-harapan

Aku menanggap dunia
Sebagai pengandaian Tuhan
Atas cinta yang runtuh
Dan terbangun setengah-setengah

Sebelum pembacaan musim
Ada yang harus turun
Sebagai ngilu
Untuk pergi sebagai riwayat

III/
Demi setiap dalih yang keluar
Dan demi makna yang setengah jadi
Aku bersihkan dadaku
Dan kujadikan paru-paruku
Sebagai perjalanan

Kerinduan adalah trauma
Dan kau sepasang pertanda
Tentang dalil langkah-langkah;
Arus-arus jalan akan kau temu
Sebagai janji bengal

Seperti malam yang membawa mukjizat
Kita tak akan lenyap
Sebagai kesimpulan. Kita telat
Mengganti pembicaraan. Tapi kita pergi
Mengekalkan gugatan yang tak kunjung hilang

Thursday, August 4, 2011

Yang lari dari waktu kami

Kami datang dalam kesiaan yang berlebih. Dengan baju warna hitam, kami masuk rumah makan. Di dalam kami bertemu beberapa gadis yang lupa merapal mantera: "insomnia kami adalah rahasia yang diciptakan birahi ayah-ibu." Kami masuk lagi, mendekati dapur. Di pojok barat ruangan, kami bertemu malaikat yang baru menyesap pakaian kami dengan sembab.

Sunday, July 31, 2011

Rapsodi siang hari

Jika rindu diciptakan seperti siang hari
Aku memuncak seperti matahari
Kukatakan jika kau seperti telaga murni
Dan cinta seperti manusia yang kehausan sendiri

Wednesday, July 13, 2011

Melankolia menstruasi

Setiap sorenya gadis itu memilih pergi
Dengan senja yang ke barat
Sementara itu, beberapa dalih datang
Beranggapan jika kepalaku semacam kedai
Atau pub yang ramai tiap akhir pekan

Esok harinya gadis itu memilih kembali
Ke fajar yang dari timur
Sementara itu, tak ada tawaran bagiku
Atau keberpihakan yang mampu mengisolasi
Jawaban-jawaban senang perihal takdir
Yang bisa dilawan

Siang harinya gadis itu memilih melukai
Pilihanya yang berpusar
Sementara itu, aku sudah ngelindur dan mabuk
Kata-kata adalah wiski, dan aku borjuis
Pada semua esensi. Aku menangis dan merasai manis

Sore harinya gadis itu memilih pergi
Dengan senja yang ke barat
Sementara itu, beberapa dalih datang
Beranggapan jika kepalaku semacam kedai
Atau pub yang ramai tiap akhir pekan

Malam harinya gadis itu memilih diam
Di kasur yang tak kunjung genap
Sementara itu, dingin dan dan cahaya
Mendatangkan petunjuk dan dongeng
Dan beberapa doa keselamatan
Padaku yang tak bisa memilih kehilangan

Monday, May 23, 2011

Silver queen dan sepasang cinta anak SMA

Langit kenangan dari mulutmu
Menciptakan sesuatu
Yang kemudian gugur

Di awal penciptaan rasa
Rahasia kita tak selesai
Menjelajah isi kota
Sampai kita mesti menanamnya
Di sepanjang jalan

Ketika di tengah-tengah
Ketika satu per satu mimpi lumer
Jadi tapal batas dengan dunia
Kita belajar pada hujan
Perihal rasa curiga dan kesetiaan

Begitulah kutukan selalu menimpa
Setiap kejadian yang akan berakhir
Kita merantau mencari alasan
Tapi kata-kata tak mampu menampung
Dan kau terisak. Hibuk dengan resah

Sunday, May 22, 2011

Tenggelam

Pada sat engkau diciptakan dari bebatuan, aku sudah berlari-lari mencari penyelamatan. Tapi di kota, orang-orang tak lebih dari nelayan tersesat. Di dekatku selalu ada botol wiski yang mengikuti.

Dalam sepi yang hibuk, kabar penciptaanmu seperti wiski.

Aku terpecah, terbagi menjadi tiga. Aku merasa akan habis dalam kerlap-kerlip riwayat. Oh, aku tak lari ke dunia, tak jua tahu siapa yang bercakap dengan teka-teki.

Engkau bangkit, lalu menangis. Engkau mengehendak pada suara kata-kata.

Tak ada pencarian. Sebab kau hanya hafal fantasi tanpa tahu di mana letak sunyi dan kesakitan waktu. Langkah-langkahmu menumpuk, gagal. Lalu engkau akan mencoba meraih zaman.

Engkau akan mengigau perihal ibu dan pahala-pahala luka.

Lalu sehimpun kesendirian datang, menampung dusta. Tak selesai, tak akan selesai cakrawala kata. Keluarnya kalimat adalah keluarnya lanskap-lanskap malam tanpa bintang atau lampu.

Batas-batas rasionalitas semakin panjang. Seolah hidup memang dicipta sebagai jebakan.

Kemungkinan nanti, di setiap kesakitan yang membuat takut, pertanyaan adalah jawaban. Seperti kata-kata yang pada mulanya diciptakan sebagai kemungkinan.

Wednesday, May 18, 2011

Sebelum gadis itu pergi

Di awal tahun ini, di mana lampu-lampu kota adalah dosa, gadis itu mendengar ucapan lelaki yang berdiri di belakangnya; "Aku ada di antara tangga-tangga menuju wajah purnama susumu"

Di awal tahun ini, di mana rumor-rumor dingin adalah orang-orang kedap usia, gadis itu mendengar ucapan lelaki lain yang berdiri di belakangnya; "aku sembahyang sampai purba, tapi di pelosok jauh sebuah cerita cuma ada penyerahan entah untuk siapa"

Di awal tahun ini, di mana pabrik-pabrik adalah metafora sembilu, gadis itu mendengar ucapan perempuan lawan bicara dua lelaki di belakangnya; "aku bermimpi seorang gadis membuatkanku puisi. Di puisi itu ada film-film, novel-novel, dan lorong lamat tempat ia meniada dalam kudus keraguan"

Di awal Mei

Daun-daun dan kata-kata yang kau gantung lagi di pohon itu tidak menjadikan kehendak dan pertanyaan malaikat terjawab. Musim hujan dan musim kemarau mudah sekali berhenti dengan mimpi dan pancaroba di dadamu. Terakhir, kabar yang tadi pagi meninggalkan penghabisan di kejauhan sana adalah suka cita penantian kami yang sederhana pada bunga-bunga melati di pikiranmu.

Tuesday, May 3, 2011

Paa: Film bertema cerdas yang dirusak soundtrack ala joget india


Ini film cerdas dari segi temanya; mengangkat soal penyakit progeria (saya sarankan anda gugel dulu untuk ngertiin kata ini). Memang keseluruhan film tidak menceritakan soal penyakit ini, tapi kehidupan sosial dan pribadi penderita penyakit progeria. Dan ini saya pikir adalah pendekatan yang cerdas, walaupun sudah mulai terasa klise. Pendekatan ini sering kita lihat di pertunjukkan-pertunjukkan Indonesia; Laskar pelangi, atau opera drama Ali Topan, atau film Ayat-ayat cinta yang termasyhur itu. Tapi ini film india, bung! Di mana dan kapan anda ketemu film india yang ga ngomongin cinta-cintaan pake joget-joget geje dengan pak polisinya yang begonya ngalah-ngalahin polisi indonesia.Pasti jawabanya “jarang” kan? Maka dari itu, saya sarankan anda melihat film PAA ini.

Film ini dibuka dengan manis. Sangat manis bahkan menurut saya. Salah satu aktor film, perempuan berusia 50an, sedang duduk di tangga dan menyanggul rambut. Ia ditempatkan di pinggir kanan layar. Lalu dia melihat kamera, melihat penonton, melihat kita, dengan teduhnya ia berkata “PAA”. Tulisan huruf latin “PAA” lalu terbentuk di kiri layar, lalu digantikan tulisan india. Berikutnya ia mengenalkan tim kerja film itu, satu per satu. Dengan senyum mengembang, seolah-olah kita juga bagian dari tim kerja itu – dan mengenal semua kru yang disebutkan – hingga mengalami banyak keakraban di sana, sampai-sampai pantas untuk diajak tersenyum hangat oleh sang perempuan. Saya terkesan dengan pembukaan ini.

Dan film ini mulai bercerita mengenai seorang anggota parlemen India, salah satu tokoh utama film ini, yang mengunjungi sebuah sekolahan. Ia bertemu Auro, anak umur 12 tahun penderita progeria. Progeria adalah penyakit yang membuat fisik seseorang menjadi sangat lemah seperti fisik orang tua. Si Auro, anak umur 12 tahun, memiliki fisik seperti orang yang berumur 80 tahun. Tapi mentalnya normal. Kecerdasan dan kreativitasnya pun di atas normal. Kunjungan si M.P (member of parliament/angota parlemen) ini diliput sebuah televisi. Liputan televisi ini kemudian ditonton oleh si ibu Auro.

Dan di sinilah euforia cerita india dimulai india dimulai; flashback masa lalu si ibu yang dipenuhi fragmen-fragmen gambar (permainan fragmen-fragmenya manis) dan lagu-lagu india. Saya tidak mendiskreditkan sebuah soundtrack tapi saya sedang melihat film. Bukan opera drama, film musikal atau apa pun. Bagaimana saya bisa menikmati filmnya, jika begitu musik masuk, semua dialog hilang. Yang ada hanya gerak aktor untuk mengiringi soundtrack, bukan sebaliknya. Dan itu berlangsung lama, sekitar 5-6 menit. Sangat mematikan. Sudah begitu liriknya lagunya sangat membosankan: “muri, muri, kaha, kaha..kaha kaha muri muri i te khafase....juri juri..muri muri...”

Demikianlah cerita berlangsung. Si ibu Auro ternyata tidak bersuami sewaktu melahirkan Auro. Dan ternyata si M.P adalah ayah Auro. Di tempat lain, Auro berkomunikasi dengan M.P tanpa tahu jika M.P adalah ayahnya. Sang M.P pun tidak tahu jika Auro adalah anaknya. Yang M.P tahu, sang ibu Auro berencana menggagalkan kelahiran Auro. Itu pun diketahuinya 14 tahun lalu, karena selama 14 tahun belakangan, sang M.P dan ibu Auro tidak pernah berkomunikasi.

Begitulah konflik dan cerita india berlangsung. Manis memang cerita dan konflik ini. Lebih dewasa dan matang penceritaanya dibanding film india yang berbau-bau cinta lainya. Jika anda mengakui keunggulan dan kekurangan film “Three Idiots”, film ini tidak jauh dari itu. Bagus tapi banyak dirusak oleh musik ala joget india. Dan ini yang paling parah: ending film ini sangat rusak sekali. Semua kecerdasan tema, gaya cerita, dan penggarapan dialog dirusak oleh satu ending yang terkesan masih berkiblat ke gaya film india pada umumnya. Satu yang spesial di film ini, ialah tokoh Vishnu. Seorang anak kecil yang mengalami disorientasi dengan ayahnya. Sayang, ia tidak digarap lebih panjang, hanya dijadikan sebagai penghubung cerita saja.

Mimpi planet-planet

: R.A

Aku ingin membawamu ke langit malam. Rahasiamu
Kujanjikan kutaruh di salah satu bintangnya. Dari sana
Aku akan membawamu ke kutub utara, memberi tanda
Silang. Lalu kuajak kau duduk-duduk di kamar kita yang ada
Di Planet Mars. Melihat tabrakan bulan dan bumi. Cahaya-cahaya
Bersemburatan. Warnanya seterang warna-warna ilustrasi buku
Ensiklopedi yang menjelaskan matahari sedang tercipta. Kita
Juga akan menonton bumi tercipta lagi dan bertabrakan lagi
Dengan matahari. Aku sudah membawa kacamata tiga dimensi
Yang anti radiasi dan kuat menahan cahaya. Tenang saja.

Aku ingin menjelaskan padamu getaran yang kita rasa
Bukan karena tabrakan atau kita yang mabuk. Kita tidak mabuk
Planet baru kita ini sedang dilingkari cincin baru dari planet sebelah.
Cincin itu sedang mencari-cari orbit yang pas. Seperti kita yang belum
Tepat menemukan posisi. Tapi, aku ingin menemanimu sekarang ini
Aku akan jelaskan teori matematis dari tabrakan tadi. Dan alasanku
Mengajakmu menyilangi kutub utara. Kupikir tanda kita tadi
Melebihi keindahan aurora. Aku menyesal tidak memotretnya.

Aku ingin menjelaskan padamu perihal ilham dari mimpi
Yang kudapat saat aku tidur denganmu. Tanda silang itu menandakan
Di mana matahari harus bertemu dengan bumi. Agar tabrakanya indah
Dan bumi bisa kembali seperti awal. Di titik tengah tanda silang itu ada
Hatiku yang kau wariskan untukku. Kau ingat? Hati yang tahan banting itu
Dan kenapa aku ingin menemanimu melihat tabrakan itu. Aku ingin kau
Tahu soal cahaya-cahaya dari kasidah-kasidah perasaan. Cahaya itu
Bentukan dari berbagai zaman ketika kita saling membayang. Ia lembut
Dari pandangan kita, tapi ia sejalang cinta kita dulu. Cahaya itu mampu
Membuat alien-alien ketakutan. Bahkan planet-plenet di tata surya kita
Berpindah-pindah menyusun bentuknya yang baru. Mars bercincin; ingin
Berposisi sebagai pengikat cinta kita. Venus, lambang cinta manusia, sudah
Ada di sebelah Planet Mars kita ini. Kasidah-kasidah planet berubah-ubah
Mereka adalah bentukan baru cahaya-cahaya hatimu. Mereka melaju jauh
Dalam ilham dari mimpi yang kudapat saat aku tidur denganmu. Ini nyata

Aku ingin menjelaskan padamu inilah saatnya kita kembali ke bumi. Salju-salju
Turun di daerah tropik. Aurora ada di kutub selatan. Peradaban eropa dianut
Penghuni benua amerika selatan. Dunia terbalik-balik. Maka, kuajak kau
Ke kutub utara, memasang aurora, mengambil hati, dan menghapus tanda silang.
Lalu kita ke garis katulistiwa, mengusir salju, lalu ke amerika selatan
Membawa penghuninya ke benua eropa. Setelahnya, kita ke pulang ke rumah
Kau membuat makan malam, aku menyiapkan meja makan. Sudah siap kujelaskan
Kenapa aku percaya ilham mimpi daripada kenyataan. Aku ingin membuatmu
Mempercayai kebohongan-kebohongan kecil yang mengatas namakan kebahagiaan

Thursday, April 28, 2011

Surat untuk si bocah

: L.H

Bocah, kau tahu bagaimana melukis waktu? Jika sembarang hal di dunia adalah percakapan, di situlah kau bisa membuka kerudung kanvas dan mencampur-campur cat. Tapi jika di sekolahmu tak ada pelajaran melukis dan kau tak menyukai hal-hal kesenian, aku bisa membuatmu mengisyaratkan waktu dengan hitung-hitungan matematika atau pelajaran sosial dan ilmu alam. Jadi begini bocah, suatu malam aku memimpikanmu mengajakku bermain bola di lapangan kampung sebelah. Untuk sampai ke sana kita harus mengayuh sepeda, dan kau bocah, mengajakku balapan, siapa cepat dia dapat senyum perempuan yang kita agung-agungkan. Tapi bocah, yang membikin aku heran adalah, di mimpi itu kau menaiki sepeda orang dewasa, sedang aku menggunakan sepeda roda tiga; aku merasa menang saat itu juga, bocah; aku yakin kau kalah.

Bocah, dari ujung rambutmu sampai ujung kakimu, aku selalu bisa mengambil aura ibumu yang agung. Kenakalan yang dicampur dengan kebaikan sepertinya menjadikanmu anak zaman yang siap menang melawan kapitalisasi diri. Maka, ketika aku merasa menang itu bocah, kulihat kau mengembangkan sepasang sayap di punggungmu, serupa sayap-sayap malaikat di dongeng-dongeng rekaan orang eropa. Bocah, kau jadi malaikat. Ibumu yang ada lapangan kampung sebelah berbisik padaku; “ia begitu sejak ia pintar bermain sepeda dan bola”. Kau menoleh padaku bocah, serasa memberiku kesempatan untuk start dahulu. Sial, aku merasa kau remehkan betul waktu itu; aku tidak peduli lagi dengan kebocahanmu, aku langsung start dahulu dan langsung mengebut, meninggalkanmu 200 meter di belakang. Saat itu, jelas kulihat senyummu yang menggoda; persis seperti pertama kali aku melihat senyum ibumu di dunia ini.

Dan kau benar-benar meremehkanku bocah, sekejap saja kau sudah di sampingku sambil berteriak; “yang kalah mengerjakan PR matematika!”. Aku lajukan sepedaku lebih cepat, aku lajukan secepat mobil tercepat di dunia; 500 km/ jam, dan kau tetap di depanku. Benar-benar tetap ada di depanku sampai ke lapangan kampung sebelah, sampai bertemu ibumu yang tersenyum-senyum seolah-olah sedang melihat dagelan mataraman.

Dengan gaya nakalmu, kau tersenyum-senyum sambil mengatakan sudah banyak orang dewasa yang kalah di tanganmu untuk kelas balapan sepeda. Aku heran bocah, bagaimana Tuhan dengan baikNya memberikanmu anugrah yang berlebihan seperti itu, seakan-akan semua kebaikan warga kota diserahkan padamu. Kebaikan Tuhan yang begitu besar itu bocah, adalah kebaikan yang menuntut kebaikan hatimu. Dan kau tak perduli dengan prinsip itu, kau malah berteriak ikut main bola pada anak-anak di lapangan. Dan ibumu dengan santai berkata “Di mana kita akan tinggal di dunia jika kebaikan dan kejahatan sudah sevulgar ini perbedaanya?”

Ah bocah, mimpiku serasa di dunia Animal Kaiser. Penuh fantasi dan kenaifan. Dan itulah bocah yang membuatku ingin mengajakmu bercakap, siapa tahu kau tertarik mengisyaratkan waktu.

Begitu bangun dari mimpi, begitu paru-paruku tahu mana udara yang pantas dihirup, aku membayangkan rambut ikalmu dan dahimu yang lebar. Aku tahu saat itu juga aku memang pantas bercakap dengamu dan memberikanmu ide-ide baru perihal waktu.

Kau tahu bocah, bodyguardmu, ibumu itu, benar-benar membuatku sentimen hingga saat ini. Dia pintar sekali memberi janji dan alasan yang manis. Dari dulu ia seperti itu. Dan sampai saat ini. Izinku untuk bercakap denganmu tak dikabulkanya. Kira-kira sudah tiga sampai empat hari, izinku kumasukkan. Dan seperti birokrasi pemerintah yang lelet, ibumu benar-benar pantas ditaruh sebagai staff kementerian kesekretariatan negara. Sungguh melelahkan bocah, tiap berhadapan dengan ibumu.

Jadi bocah, setelah kau baca surat ini, kau paksa ibumu memberikan izin padaku untuk bercakap denganmu. Paksa ia, jika ia menolak, kau ancam dia jika kita berdua akan mendoakanya memiliki rambut rebonding seumur hidup. Aku yakin dia setidaknya dia pasti merasa terancam.

Wednesday, April 20, 2011

Dalam kota yang purnama

Malam purnama dalam keramaian kota
Dari mana semua hal berawal dan pergi
Debu-debu kota, lipstik-lipstik segar
Udara keluar masuk dada mencari sesuatu
Hati siapa berlarian di hatimu, hati siapa
Menelanjangi dadaku. Mengajakku memlih

Malam purnama atau mall pusat kota
Pilihan adalah keramaian yang memilih kita
Untuk menjadi kosong. Untuk jadi bidadari kota
Kau hadir dalam dada; dada adalah loncatan waktu
Rindu adalah loncatan keraguan. Dadaku telanjang
Bersama dengan langkahmu yang dulu
Yang membuat waktu dari nafas malam-malam kota

Malam juga yang menentukan siapa di antara kita
Yang lahir dan kalah. Dadaku dibenamkan purnama
Tak ada yang bagus di malam-malam macam begini
Selain cemburu dan rindu yang tak sampai-sampai
Tak pernah ada emosi yang tersampaikan; sunyi
Cinta tak bisa jadi nyawa bagi bulan yang purnama

Sunday, April 17, 2011

Dunia di dada kota kita

Di setiap senja yang sudah-sudah, kau titipkan cemasmu di dalamnya
Maka, di senja-senja yang akan datang, aku akan menyebur ke dalam
Merasa bagaimana samudra udara menjadi abadi dalam ingatanmu
Asap-asap kota juga masuk di dalamnya. Nestapa masuk di dalamnya
Di sana, di titik di mana kau memisahkan cinta dan senyuman

Aku yang tak sempat menyadarkan diri dengan harapan dan dirimu
Adalah sepi. Bus-bus kota melaju, berputar-putar di panjang-pendek jalanan
Tak ada daya bagi doa. Jika setiap perjalanan adalah mobil-mobil tempat
Tawa dan tangis jadi satu. Setiap harapan adalah ketulusanku padamu
Yang pergi. Tak aku tak pula kau jadi belenggu sendiri-sendiri

Di mana-mana di kota ini kita tak berharap pelangi atau purnama yang indah
Sebab keindahan adalah perpisahan dan perjuangan. Kau yang selalu memilih lari
Aku yang selalu memilih tangis. Dan begitulah hari-hari. Cinta tak lebih harapan
Keindahan kita pada malam-malam yang menyembunyikan nuansa kita berdua
Hancurlah kebekuan-kebekuan kota dan bayangan pria pada perempuan