Wednesday, January 4, 2012

Kepada pemahaman

Pada akhirnya
Sajak tak lebih baik
Dari apa-apa
Bahkan darimu
Yang memilih pergi
Ke sajak

Saturday, December 24, 2011

Dalam perspektif

Oi sajak, berilah aku nuansa
Di mana rindu, di mana perbatasan
Tak ada penantian di kepalaku
Maka berilah aku cinta yang lengkap

Cinta yg lupa cara menyalakan
Tombol on-off cahaya matamu

Wednesday, December 21, 2011

Pada sajak

Tuhan
Yang maha sajak
Akulah rindu
Yang hilang dalam bentuknya

Di antara banyak hal
Aku tak pernah tahu
Di mana aku membuat kata

Di antara puluhan emosi
Aku sering memilih pergi
Pada berbagai air mata

Di antara kesedihan
Aku selalu bingung
Bagaimana kau dan aku menyatu

Tuhan,
Yang maha lirih
Buatkan aku apa saja
Agar aku tahu siapa kau
Siapa aku

Tuesday, October 25, 2011

Jika cinta itu disorientasi, kenapa Tuhan begitu sempurna menjalankan kerjaanNya?

Disorientasi. Itu jadi kata kunci kenapa saya ngetik tulisan ini. Saya kehilangan arah setelah saya kembali dari jakarta. Jakarta yang kejam ternyata memang jauh lebih kejam daripada seorang ibu tiri di kisah lirik lagu itu. Cih, saya benar-benar mesti memikirkan ulang banyak hal. Untung ada Zarathustra yang menemani saya. Saya ingat ucapanya pada saya, kurang lebihnya begini: “jika kamu merasa lebih aman tinggal di hutan bersama segerombolah hewan pemangsa daripada tinggal di suatu wilayah yang dihuni manusia, maka itulah kesepian.”

Apa disorientasi tidak jauh dari kesepian. Saya pikir iya. Di Jakarta saya kehilangan banyak hal, tapi untungnya saya nemu beberapa hal yang cukup bikin saya terdorong untuk bertahan di Jakarta. Tapi kekuatan saya benar-benar terkuras, ibaratnya seperti pendekar cina di film-film silat yang ketemu musuh utamanya. Semua tenaga dan ilmunya dipake buat ngalahin musuhnya itu, tapi ternyata si pendekar mesti ngakuin kalo dia kalah dan tenaganya kehabisan buat ngelawan musuhnya lagi.

Saya juga berterima kasih ke Samuel Mulia. Dia menguatkan saya di beberapa hal. Semoga saja dia jadi lelaki normal yang bijaksana. Dan saya tiba di lagunya Parkdrive, band jazz yang ngesoul itu: “namun kau tak di sini dan ku hanya bisa mengenang cinta”

Apa kesepian tidak jauh dari cinta. Tentu saja iya. Cinta adalah emosi positif yang melingkupi manusia. Dan kesepian adalah antitesis dari cinta. Kesepian adalah emosi negatif kedua setelah ketakutan yang membuat manusia bisa berbuat apa saja. Jika kesepian dan ketakutan digabungkan, hasilnya bisa parah, Hitler contohnya. Orang-orang besar hadir di dunia salah satunya disebabkan oleh ketakutan dan kesepian. Pengungggulan ras arya oleh Hitler adalah bahasa lain dari ketakutan hitler akan hancurnya dirinya dan kelompoknya yang kebetulan memiliki kesamaan sebagai ras arya (mudah-mudahan teori ini bener!)

Saya balik ke cinta lagi aja. Saya juga mengalami apa yang dinamakan disorientasi cinta. Saya sampai pada paham jika cinta (damn god! Saya ngomongin cinta pada kekasih!) itu 90% tidak melulu soal perasaan cinta an sich. 90% itu terdiri dari: 25% gombalan, 50% modal duit, 25% kelicikan (kelicikan ini terdiri dari sebrapa kuat kontrol emosi, kontrol seksual, dan kontrol omongan). Nah, 10 % sisanya baru sepenuhnya dikuasai perasaan cinta an sich. Bila anda pernah atau sedang tinggal di jakarta, saya yakin anda percaya dan menyakini pada teori saya yang ini. Gimana cara mengatasi cinta seperti ini, pilihan saya cuma ada tiga; lari dari kenyataan (bentuk tindakanya bunuh diri, gila, atau merubah karakter 180 derajat), menerima kekalahan (bisa dilakukan secara ikhlas atau tidak ikhlas. Yang sedih ya yang tidak ikhlas ini, dia akan mengalami banyak tekanan selama beberapa waktu sampai dia merasa ikhlas dengan kekalahanya), ketiga adalah merubah orientasi seksual (yakinlah, ini bentuk yang paling parah dan bentuk ini memang ada dalam artian bentuk ini bukan sebagai reprentasi sebuah motivasi atau sebuah turunan dari sebuah motivasi, tapi bentuk ini adalah sebuah motivasi utama. Sebuah motivasi utama yang memang langsung berbentuk tindakan nyata yang jelas bentuk tindakanya. Maksudnya begini, representasi dua pilihan sebelum pilihan ini bisa bermacam-macam, tidak bisa ditebak secara langsung. Sedangkan pilihan ketiga ini sudah bisa ketahuan bentuk represantasi tindakanya. Tapi satu hal penting lainya, dua pilihan selain pilihan ini memang bisa mengantarkan orang untuk merubah orientasi seksual. Point penting dari pilihan ketiga ini adalah motivasi merubah orientasi seksual ini menjadi motivasi utama dan pertama, bukan motivasi sampingan.)

Ah, maaf saya berceloteh terlalu banyak hal tidak penting. Saya baru saja disadarkan Bali Lounge. Maafkan saya. Begini saja, jika kita masih berpikir seperti anak SMP yang penuh kegalauan ABG, maka ucapkan kata ini pada orang yang melukai cinta anda: “makasi ya buat semuanya, makasi udah nyakitin aku!” Dan selama anda masih dalam dalam proses galau saya sarankan anda jangan pernah membaca semua karyanya Ayu Utami, Djenar Maessa Ayu, atau tulisan-tulisan lain yang bercirikan pelarian diri dalam bentuk seksual, hubungan saling-silang, dan kekerasan diri. Jika anda membacanya, anda akan mudah termotivasi untuk mengalami cinta yang masokis dan miskin. Saya tidak berceramah, saudara. Saya hanya berbagi pengalaman. Saya sarankan anda membaca karya puisinya Acep Zamzam noor atau Zawawi Imron atau Ahda Imran. Atau jika anda ingin merasa cerdas (padahal sebenaranya anda bodoh) saya sarankan anda membaca Goenawan Mohammad. Saya ambilkan puisi cintanya sebagai contoh manisnya:

Waktu adalah mesin hitung, cintaku
Jam berkeloneng dingin (seperti gaung)
di kota itu. Angka-angka itu telah lama tahu:
bayangku akan hilang sebelum salju

Sementara kau akan tetap jalan
(seperti kenyataan). Sampai pada giliran.
Mengaku, tiap kali daun jatuh di rambutmu:
“Tenyata kenangan hanya perkara yang lucu”

Tentu: Tidak apa. Kita tak memilih acara.
Pada angin runcing dan warna musim kau juga
akan terbiasa. Nasib telah begitu tertib.
Pada Lupa kita juga akan karib.

Sunday, October 2, 2011

Di kamar sepupu

Rindu adalah kain sprei lusuh, ketombe jatuh, apak keringat, dan handphone yang tidak aktif.

Maka dari itu, waktu adalah cat tembok yang diam dan lupa bagaimana ia mencapai lembab yang berlebih.

Pada akhirnya, segala-galanya adalah bagaimana kami menjatuhkan cinta kami pada ruangan ini. Sebab kami lupa siapakah yang memebuat kami menyenangi ruangan ini.

Sunday, August 7, 2011

Pemandangan dari dalam tubuhmu

I/
Demi malam yang menjadi-jadi
Dan udara yang memuat kabar
Aku sisihkan senyap dalam
Tiap kepergian. Rindu
Tinggal jadi kerumunan

Berbagai kolase musim
Berhenti pada peristiwa
Dan kontras persembunyian
Aku berbisik pada udara
Pada akhir bentuk kata-kata

Berpuluh kali ingatan
Aku tak dikenal. Tiap pertanyaan
Aku lihat kau meritus ajal
Menggubah cuaca sebagai rumah
Dan klimaks kebahagiaan

II/
Bebaskan aku
Dari kekosongan tubuh
Dan rahasia yang selalu lengkap
Ke arah harapan-harapan

Aku menanggap dunia
Sebagai pengandaian Tuhan
Atas cinta yang runtuh
Dan terbangun setengah-setengah

Sebelum pembacaan musim
Ada yang harus turun
Sebagai ngilu
Untuk pergi sebagai riwayat

III/
Demi setiap dalih yang keluar
Dan demi makna yang setengah jadi
Aku bersihkan dadaku
Dan kujadikan paru-paruku
Sebagai perjalanan

Kerinduan adalah trauma
Dan kau sepasang pertanda
Tentang dalil langkah-langkah;
Arus-arus jalan akan kau temu
Sebagai janji bengal

Seperti malam yang membawa mukjizat
Kita tak akan lenyap
Sebagai kesimpulan. Kita telat
Mengganti pembicaraan. Tapi kita pergi
Mengekalkan gugatan yang tak kunjung hilang

Thursday, August 4, 2011

Yang lari dari waktu kami

Kami datang dalam kesiaan yang berlebih. Dengan baju warna hitam, kami masuk rumah makan. Di dalam kami bertemu beberapa gadis yang lupa merapal mantera: "insomnia kami adalah rahasia yang diciptakan birahi ayah-ibu." Kami masuk lagi, mendekati dapur. Di pojok barat ruangan, kami bertemu malaikat yang baru menyesap pakaian kami dengan sembab.

Sunday, July 31, 2011

Rapsodi siang hari

Jika rindu diciptakan seperti siang hari
Aku memuncak seperti matahari
Kukatakan jika kau seperti telaga murni
Dan cinta seperti manusia yang kehausan sendiri

Wednesday, July 13, 2011

Melankolia menstruasi

Setiap sorenya gadis itu memilih pergi
Dengan senja yang ke barat
Sementara itu, beberapa dalih datang
Beranggapan jika kepalaku semacam kedai
Atau pub yang ramai tiap akhir pekan

Esok harinya gadis itu memilih kembali
Ke fajar yang dari timur
Sementara itu, tak ada tawaran bagiku
Atau keberpihakan yang mampu mengisolasi
Jawaban-jawaban senang perihal takdir
Yang bisa dilawan

Siang harinya gadis itu memilih melukai
Pilihanya yang berpusar
Sementara itu, aku sudah ngelindur dan mabuk
Kata-kata adalah wiski, dan aku borjuis
Pada semua esensi. Aku menangis dan merasai manis

Sore harinya gadis itu memilih pergi
Dengan senja yang ke barat
Sementara itu, beberapa dalih datang
Beranggapan jika kepalaku semacam kedai
Atau pub yang ramai tiap akhir pekan

Malam harinya gadis itu memilih diam
Di kasur yang tak kunjung genap
Sementara itu, dingin dan dan cahaya
Mendatangkan petunjuk dan dongeng
Dan beberapa doa keselamatan
Padaku yang tak bisa memilih kehilangan

Monday, May 23, 2011

Silver queen dan sepasang cinta anak SMA

Langit kenangan dari mulutmu
Menciptakan sesuatu
Yang kemudian gugur

Di awal penciptaan rasa
Rahasia kita tak selesai
Menjelajah isi kota
Sampai kita mesti menanamnya
Di sepanjang jalan

Ketika di tengah-tengah
Ketika satu per satu mimpi lumer
Jadi tapal batas dengan dunia
Kita belajar pada hujan
Perihal rasa curiga dan kesetiaan

Begitulah kutukan selalu menimpa
Setiap kejadian yang akan berakhir
Kita merantau mencari alasan
Tapi kata-kata tak mampu menampung
Dan kau terisak. Hibuk dengan resah

Sunday, May 22, 2011

Tenggelam

Pada sat engkau diciptakan dari bebatuan, aku sudah berlari-lari mencari penyelamatan. Tapi di kota, orang-orang tak lebih dari nelayan tersesat. Di dekatku selalu ada botol wiski yang mengikuti.

Dalam sepi yang hibuk, kabar penciptaanmu seperti wiski.

Aku terpecah, terbagi menjadi tiga. Aku merasa akan habis dalam kerlap-kerlip riwayat. Oh, aku tak lari ke dunia, tak jua tahu siapa yang bercakap dengan teka-teki.

Engkau bangkit, lalu menangis. Engkau mengehendak pada suara kata-kata.

Tak ada pencarian. Sebab kau hanya hafal fantasi tanpa tahu di mana letak sunyi dan kesakitan waktu. Langkah-langkahmu menumpuk, gagal. Lalu engkau akan mencoba meraih zaman.

Engkau akan mengigau perihal ibu dan pahala-pahala luka.

Lalu sehimpun kesendirian datang, menampung dusta. Tak selesai, tak akan selesai cakrawala kata. Keluarnya kalimat adalah keluarnya lanskap-lanskap malam tanpa bintang atau lampu.

Batas-batas rasionalitas semakin panjang. Seolah hidup memang dicipta sebagai jebakan.

Kemungkinan nanti, di setiap kesakitan yang membuat takut, pertanyaan adalah jawaban. Seperti kata-kata yang pada mulanya diciptakan sebagai kemungkinan.

Wednesday, May 18, 2011

Sebelum gadis itu pergi

Di awal tahun ini, di mana lampu-lampu kota adalah dosa, gadis itu mendengar ucapan lelaki yang berdiri di belakangnya; "Aku ada di antara tangga-tangga menuju wajah purnama susumu"

Di awal tahun ini, di mana rumor-rumor dingin adalah orang-orang kedap usia, gadis itu mendengar ucapan lelaki lain yang berdiri di belakangnya; "aku sembahyang sampai purba, tapi di pelosok jauh sebuah cerita cuma ada penyerahan entah untuk siapa"

Di awal tahun ini, di mana pabrik-pabrik adalah metafora sembilu, gadis itu mendengar ucapan perempuan lawan bicara dua lelaki di belakangnya; "aku bermimpi seorang gadis membuatkanku puisi. Di puisi itu ada film-film, novel-novel, dan lorong lamat tempat ia meniada dalam kudus keraguan"

Di awal Mei

Daun-daun dan kata-kata yang kau gantung lagi di pohon itu tidak menjadikan kehendak dan pertanyaan malaikat terjawab. Musim hujan dan musim kemarau mudah sekali berhenti dengan mimpi dan pancaroba di dadamu. Terakhir, kabar yang tadi pagi meninggalkan penghabisan di kejauhan sana adalah suka cita penantian kami yang sederhana pada bunga-bunga melati di pikiranmu.

Tuesday, May 3, 2011

Paa: Film bertema cerdas yang dirusak soundtrack ala joget india


Ini film cerdas dari segi temanya; mengangkat soal penyakit progeria (saya sarankan anda gugel dulu untuk ngertiin kata ini). Memang keseluruhan film tidak menceritakan soal penyakit ini, tapi kehidupan sosial dan pribadi penderita penyakit progeria. Dan ini saya pikir adalah pendekatan yang cerdas, walaupun sudah mulai terasa klise. Pendekatan ini sering kita lihat di pertunjukkan-pertunjukkan Indonesia; Laskar pelangi, atau opera drama Ali Topan, atau film Ayat-ayat cinta yang termasyhur itu. Tapi ini film india, bung! Di mana dan kapan anda ketemu film india yang ga ngomongin cinta-cintaan pake joget-joget geje dengan pak polisinya yang begonya ngalah-ngalahin polisi indonesia.Pasti jawabanya “jarang” kan? Maka dari itu, saya sarankan anda melihat film PAA ini.

Film ini dibuka dengan manis. Sangat manis bahkan menurut saya. Salah satu aktor film, perempuan berusia 50an, sedang duduk di tangga dan menyanggul rambut. Ia ditempatkan di pinggir kanan layar. Lalu dia melihat kamera, melihat penonton, melihat kita, dengan teduhnya ia berkata “PAA”. Tulisan huruf latin “PAA” lalu terbentuk di kiri layar, lalu digantikan tulisan india. Berikutnya ia mengenalkan tim kerja film itu, satu per satu. Dengan senyum mengembang, seolah-olah kita juga bagian dari tim kerja itu – dan mengenal semua kru yang disebutkan – hingga mengalami banyak keakraban di sana, sampai-sampai pantas untuk diajak tersenyum hangat oleh sang perempuan. Saya terkesan dengan pembukaan ini.

Dan film ini mulai bercerita mengenai seorang anggota parlemen India, salah satu tokoh utama film ini, yang mengunjungi sebuah sekolahan. Ia bertemu Auro, anak umur 12 tahun penderita progeria. Progeria adalah penyakit yang membuat fisik seseorang menjadi sangat lemah seperti fisik orang tua. Si Auro, anak umur 12 tahun, memiliki fisik seperti orang yang berumur 80 tahun. Tapi mentalnya normal. Kecerdasan dan kreativitasnya pun di atas normal. Kunjungan si M.P (member of parliament/angota parlemen) ini diliput sebuah televisi. Liputan televisi ini kemudian ditonton oleh si ibu Auro.

Dan di sinilah euforia cerita india dimulai india dimulai; flashback masa lalu si ibu yang dipenuhi fragmen-fragmen gambar (permainan fragmen-fragmenya manis) dan lagu-lagu india. Saya tidak mendiskreditkan sebuah soundtrack tapi saya sedang melihat film. Bukan opera drama, film musikal atau apa pun. Bagaimana saya bisa menikmati filmnya, jika begitu musik masuk, semua dialog hilang. Yang ada hanya gerak aktor untuk mengiringi soundtrack, bukan sebaliknya. Dan itu berlangsung lama, sekitar 5-6 menit. Sangat mematikan. Sudah begitu liriknya lagunya sangat membosankan: “muri, muri, kaha, kaha..kaha kaha muri muri i te khafase....juri juri..muri muri...”

Demikianlah cerita berlangsung. Si ibu Auro ternyata tidak bersuami sewaktu melahirkan Auro. Dan ternyata si M.P adalah ayah Auro. Di tempat lain, Auro berkomunikasi dengan M.P tanpa tahu jika M.P adalah ayahnya. Sang M.P pun tidak tahu jika Auro adalah anaknya. Yang M.P tahu, sang ibu Auro berencana menggagalkan kelahiran Auro. Itu pun diketahuinya 14 tahun lalu, karena selama 14 tahun belakangan, sang M.P dan ibu Auro tidak pernah berkomunikasi.

Begitulah konflik dan cerita india berlangsung. Manis memang cerita dan konflik ini. Lebih dewasa dan matang penceritaanya dibanding film india yang berbau-bau cinta lainya. Jika anda mengakui keunggulan dan kekurangan film “Three Idiots”, film ini tidak jauh dari itu. Bagus tapi banyak dirusak oleh musik ala joget india. Dan ini yang paling parah: ending film ini sangat rusak sekali. Semua kecerdasan tema, gaya cerita, dan penggarapan dialog dirusak oleh satu ending yang terkesan masih berkiblat ke gaya film india pada umumnya. Satu yang spesial di film ini, ialah tokoh Vishnu. Seorang anak kecil yang mengalami disorientasi dengan ayahnya. Sayang, ia tidak digarap lebih panjang, hanya dijadikan sebagai penghubung cerita saja.

Mimpi planet-planet

: R.A

Aku ingin membawamu ke langit malam. Rahasiamu
Kujanjikan kutaruh di salah satu bintangnya. Dari sana
Aku akan membawamu ke kutub utara, memberi tanda
Silang. Lalu kuajak kau duduk-duduk di kamar kita yang ada
Di Planet Mars. Melihat tabrakan bulan dan bumi. Cahaya-cahaya
Bersemburatan. Warnanya seterang warna-warna ilustrasi buku
Ensiklopedi yang menjelaskan matahari sedang tercipta. Kita
Juga akan menonton bumi tercipta lagi dan bertabrakan lagi
Dengan matahari. Aku sudah membawa kacamata tiga dimensi
Yang anti radiasi dan kuat menahan cahaya. Tenang saja.

Aku ingin menjelaskan padamu getaran yang kita rasa
Bukan karena tabrakan atau kita yang mabuk. Kita tidak mabuk
Planet baru kita ini sedang dilingkari cincin baru dari planet sebelah.
Cincin itu sedang mencari-cari orbit yang pas. Seperti kita yang belum
Tepat menemukan posisi. Tapi, aku ingin menemanimu sekarang ini
Aku akan jelaskan teori matematis dari tabrakan tadi. Dan alasanku
Mengajakmu menyilangi kutub utara. Kupikir tanda kita tadi
Melebihi keindahan aurora. Aku menyesal tidak memotretnya.

Aku ingin menjelaskan padamu perihal ilham dari mimpi
Yang kudapat saat aku tidur denganmu. Tanda silang itu menandakan
Di mana matahari harus bertemu dengan bumi. Agar tabrakanya indah
Dan bumi bisa kembali seperti awal. Di titik tengah tanda silang itu ada
Hatiku yang kau wariskan untukku. Kau ingat? Hati yang tahan banting itu
Dan kenapa aku ingin menemanimu melihat tabrakan itu. Aku ingin kau
Tahu soal cahaya-cahaya dari kasidah-kasidah perasaan. Cahaya itu
Bentukan dari berbagai zaman ketika kita saling membayang. Ia lembut
Dari pandangan kita, tapi ia sejalang cinta kita dulu. Cahaya itu mampu
Membuat alien-alien ketakutan. Bahkan planet-plenet di tata surya kita
Berpindah-pindah menyusun bentuknya yang baru. Mars bercincin; ingin
Berposisi sebagai pengikat cinta kita. Venus, lambang cinta manusia, sudah
Ada di sebelah Planet Mars kita ini. Kasidah-kasidah planet berubah-ubah
Mereka adalah bentukan baru cahaya-cahaya hatimu. Mereka melaju jauh
Dalam ilham dari mimpi yang kudapat saat aku tidur denganmu. Ini nyata

Aku ingin menjelaskan padamu inilah saatnya kita kembali ke bumi. Salju-salju
Turun di daerah tropik. Aurora ada di kutub selatan. Peradaban eropa dianut
Penghuni benua amerika selatan. Dunia terbalik-balik. Maka, kuajak kau
Ke kutub utara, memasang aurora, mengambil hati, dan menghapus tanda silang.
Lalu kita ke garis katulistiwa, mengusir salju, lalu ke amerika selatan
Membawa penghuninya ke benua eropa. Setelahnya, kita ke pulang ke rumah
Kau membuat makan malam, aku menyiapkan meja makan. Sudah siap kujelaskan
Kenapa aku percaya ilham mimpi daripada kenyataan. Aku ingin membuatmu
Mempercayai kebohongan-kebohongan kecil yang mengatas namakan kebahagiaan

Thursday, April 28, 2011

Surat untuk si bocah

: L.H

Bocah, kau tahu bagaimana melukis waktu? Jika sembarang hal di dunia adalah percakapan, di situlah kau bisa membuka kerudung kanvas dan mencampur-campur cat. Tapi jika di sekolahmu tak ada pelajaran melukis dan kau tak menyukai hal-hal kesenian, aku bisa membuatmu mengisyaratkan waktu dengan hitung-hitungan matematika atau pelajaran sosial dan ilmu alam. Jadi begini bocah, suatu malam aku memimpikanmu mengajakku bermain bola di lapangan kampung sebelah. Untuk sampai ke sana kita harus mengayuh sepeda, dan kau bocah, mengajakku balapan, siapa cepat dia dapat senyum perempuan yang kita agung-agungkan. Tapi bocah, yang membikin aku heran adalah, di mimpi itu kau menaiki sepeda orang dewasa, sedang aku menggunakan sepeda roda tiga; aku merasa menang saat itu juga, bocah; aku yakin kau kalah.

Bocah, dari ujung rambutmu sampai ujung kakimu, aku selalu bisa mengambil aura ibumu yang agung. Kenakalan yang dicampur dengan kebaikan sepertinya menjadikanmu anak zaman yang siap menang melawan kapitalisasi diri. Maka, ketika aku merasa menang itu bocah, kulihat kau mengembangkan sepasang sayap di punggungmu, serupa sayap-sayap malaikat di dongeng-dongeng rekaan orang eropa. Bocah, kau jadi malaikat. Ibumu yang ada lapangan kampung sebelah berbisik padaku; “ia begitu sejak ia pintar bermain sepeda dan bola”. Kau menoleh padaku bocah, serasa memberiku kesempatan untuk start dahulu. Sial, aku merasa kau remehkan betul waktu itu; aku tidak peduli lagi dengan kebocahanmu, aku langsung start dahulu dan langsung mengebut, meninggalkanmu 200 meter di belakang. Saat itu, jelas kulihat senyummu yang menggoda; persis seperti pertama kali aku melihat senyum ibumu di dunia ini.

Dan kau benar-benar meremehkanku bocah, sekejap saja kau sudah di sampingku sambil berteriak; “yang kalah mengerjakan PR matematika!”. Aku lajukan sepedaku lebih cepat, aku lajukan secepat mobil tercepat di dunia; 500 km/ jam, dan kau tetap di depanku. Benar-benar tetap ada di depanku sampai ke lapangan kampung sebelah, sampai bertemu ibumu yang tersenyum-senyum seolah-olah sedang melihat dagelan mataraman.

Dengan gaya nakalmu, kau tersenyum-senyum sambil mengatakan sudah banyak orang dewasa yang kalah di tanganmu untuk kelas balapan sepeda. Aku heran bocah, bagaimana Tuhan dengan baikNya memberikanmu anugrah yang berlebihan seperti itu, seakan-akan semua kebaikan warga kota diserahkan padamu. Kebaikan Tuhan yang begitu besar itu bocah, adalah kebaikan yang menuntut kebaikan hatimu. Dan kau tak perduli dengan prinsip itu, kau malah berteriak ikut main bola pada anak-anak di lapangan. Dan ibumu dengan santai berkata “Di mana kita akan tinggal di dunia jika kebaikan dan kejahatan sudah sevulgar ini perbedaanya?”

Ah bocah, mimpiku serasa di dunia Animal Kaiser. Penuh fantasi dan kenaifan. Dan itulah bocah yang membuatku ingin mengajakmu bercakap, siapa tahu kau tertarik mengisyaratkan waktu.

Begitu bangun dari mimpi, begitu paru-paruku tahu mana udara yang pantas dihirup, aku membayangkan rambut ikalmu dan dahimu yang lebar. Aku tahu saat itu juga aku memang pantas bercakap dengamu dan memberikanmu ide-ide baru perihal waktu.

Kau tahu bocah, bodyguardmu, ibumu itu, benar-benar membuatku sentimen hingga saat ini. Dia pintar sekali memberi janji dan alasan yang manis. Dari dulu ia seperti itu. Dan sampai saat ini. Izinku untuk bercakap denganmu tak dikabulkanya. Kira-kira sudah tiga sampai empat hari, izinku kumasukkan. Dan seperti birokrasi pemerintah yang lelet, ibumu benar-benar pantas ditaruh sebagai staff kementerian kesekretariatan negara. Sungguh melelahkan bocah, tiap berhadapan dengan ibumu.

Jadi bocah, setelah kau baca surat ini, kau paksa ibumu memberikan izin padaku untuk bercakap denganmu. Paksa ia, jika ia menolak, kau ancam dia jika kita berdua akan mendoakanya memiliki rambut rebonding seumur hidup. Aku yakin dia setidaknya dia pasti merasa terancam.

Wednesday, April 20, 2011

Dalam kota yang purnama

Malam purnama dalam keramaian kota
Dari mana semua hal berawal dan pergi
Debu-debu kota, lipstik-lipstik segar
Udara keluar masuk dada mencari sesuatu
Hati siapa berlarian di hatimu, hati siapa
Menelanjangi dadaku. Mengajakku memlih

Malam purnama atau mall pusat kota
Pilihan adalah keramaian yang memilih kita
Untuk menjadi kosong. Untuk jadi bidadari kota
Kau hadir dalam dada; dada adalah loncatan waktu
Rindu adalah loncatan keraguan. Dadaku telanjang
Bersama dengan langkahmu yang dulu
Yang membuat waktu dari nafas malam-malam kota

Malam juga yang menentukan siapa di antara kita
Yang lahir dan kalah. Dadaku dibenamkan purnama
Tak ada yang bagus di malam-malam macam begini
Selain cemburu dan rindu yang tak sampai-sampai
Tak pernah ada emosi yang tersampaikan; sunyi
Cinta tak bisa jadi nyawa bagi bulan yang purnama

Sunday, April 17, 2011

Dunia di dada kota kita

Di setiap senja yang sudah-sudah, kau titipkan cemasmu di dalamnya
Maka, di senja-senja yang akan datang, aku akan menyebur ke dalam
Merasa bagaimana samudra udara menjadi abadi dalam ingatanmu
Asap-asap kota juga masuk di dalamnya. Nestapa masuk di dalamnya
Di sana, di titik di mana kau memisahkan cinta dan senyuman

Aku yang tak sempat menyadarkan diri dengan harapan dan dirimu
Adalah sepi. Bus-bus kota melaju, berputar-putar di panjang-pendek jalanan
Tak ada daya bagi doa. Jika setiap perjalanan adalah mobil-mobil tempat
Tawa dan tangis jadi satu. Setiap harapan adalah ketulusanku padamu
Yang pergi. Tak aku tak pula kau jadi belenggu sendiri-sendiri

Di mana-mana di kota ini kita tak berharap pelangi atau purnama yang indah
Sebab keindahan adalah perpisahan dan perjuangan. Kau yang selalu memilih lari
Aku yang selalu memilih tangis. Dan begitulah hari-hari. Cinta tak lebih harapan
Keindahan kita pada malam-malam yang menyembunyikan nuansa kita berdua
Hancurlah kebekuan-kebekuan kota dan bayangan pria pada perempuan

Monday, March 14, 2011

Lanskap warna merah

Aku selalu tak pernah bisa menyampaikan cinta dari mulutku ke kupingnya. Cinta selalu jadi ejaan bergelombang. Bahkan sajak-sajak cinta para penyair negeri ini tak bisa mewakili sepersepuluh penyampaian cintaku padanya. Pikiranku selalu hilang di mulutku. Antara gigi dan gusi ada palung yang begitu dalam dan memiliki kemampuan menyedot ejaan-ejaan cinta. Dan itulah buruknya, palung itu cuma menyedot ejaan-ejaan cinta. Ejaan-ejaan lainya tak pernah disedot. Saat aku menyampaikan benciku pada siapa, mulutku selalu lancar menyediakan jenis kata-kata untuk pikiranku. Saat aku menawar harga barang-barang di pasar bekas, mulutku selalu lancar memberikan berbagai alternatif harga termurah yang paling mungkin bisa kudapat. Atau ingat saja bagaimana saat aku memperdayai ibumu dan mengatakan jika kau telah menghamili teman baikku yang kemudian marah-marah menuntut solusi. Ia mau saja memberiku uang untuk membayar dukun aborsi. Paling tidak aku tidak memperdayaimu kan, aku jujur mengatakan uang ibumu itu kupakai untuk membayar biaya liburan ke Karimun Jawa bersama pacarku.

Tapi di sini, di tempat peristirahatan ini, di mana langit-langit hanya memamerkan diri sebagai samudra yang dipenuhi ikan-ikan luar angkasa, di mana aku dan dia hanya jadi penyelam yang tenggelam kehabisan oksigen di samudra angkasa, aku kehabisan sunyi untuk keyakinanku. Sudah kami lewati riuh lalu lintas jamaah sholat isya, sudah kami lewati pula lima pasang kekasih yang sembunyi-sembunyi ketakutan masuk lobi hotel dan memesan kamar, tapi keinginanku untuk menjadi penyair paling romantis di abad ini tak pernah kesampaian. Empat jam ini kami diam-diaman dan membiarkan mata kami ribut sendiri dengan langit. Tidak seratus persen diam memang, sekali-dua kami berdiskusi. Soal siapakah di antara nasi goreng kambing dan cap cay rebus yang berhak mendapat medali emas kuliner terenak malam ini. Kami juga berdiskusi soal obat nyamuk semprot atau obat nyamuk bakar yang akan menggantikan peran setan. Soal langit pun sempat kami diskusikan juga, kami sepakat jika bintang-bintang di langit lebih menyerupai ikan di samudra daripada kumpulan titik-titik berlampu temuan komunitas yunani yang diberi nama zodiak. Aku yang berharap waktu berhenti dan memberiku kebebasan bergerak, tak pernah bisa menyampaikan cintaku ke kupingnya.

Kaidah-kaidah bunyi huruf yang kupelajari sedari bayi tak menyelesaikan masalahku. Aku khawatir ayah-ibu tak pernah mengajari bagaimana kata cinta dibunyikan dengan sempurna. Dalam ingatanku, aku hampir yakin jika lingkungan sekitaranku tak pernah membahas kata cinta denganku, baik secara sembunyi-sembunyi atau terbuka. Aku takut. Sebab dia sudah terlihat mengantuk. Mulutku kupaksa mengeja huruf per huruf dari kata cinta. Tiap huruf dari kata cinta kulafalkan dari kata-kata lain yang memuat masing-masing huruf. Aku sempurna mengeja lima kata yang memiliki komponen huruf dari kata cinta. Tapi begitu aku ingin mengeja kata cinta, aku selalu gagal. Aku mengerang dalam hati. Mengutuk Tuhan yang menciptakan palung di mulutku. Keyakinanku pada diriku hilang pelan-pelan ikut tersedot palung mulutku.

Kuajak ia membicarakan revolusi PSSI biar kantuknya hilang dan pikiranya terarah padaku. Ia tertawa keras waktu kutanya soal surat putri ketua PSSI. Ia tidak mau berkomentar selain tertawa. Ia ingin LPI jadi kompetisi LSI sambil memilih Arifin Panigoro sebagai ketua PSSI pilihanya, kemudian ia tertawa lagi. Kutanya alasanya tertawa, ia enteng mengatai Arifin Panigoro pantas jadi ketua PSSI sebab kepalanya sudah persis dengan bola. Saat ia tertawa, kupingnya mendekat ke mulutku. Pelan-pelan kudekatkan mulutku ke kupingnya. Aku tak peduli lagi, keyakinanku sekarang ada satu, kata cinta harus diucapkan sepelan dan selembut mungkin ke telinganya. Fungsinya agar esensi pengucapanku larut ke darahnya, masuk ke jantungnya, dan dialirkan ke seluruh badanya. Mulutku semakin dekat ke kupingnya, ia masih tertawa. Tiba-tiba ia menjauhkan kepalanya, menepuk kupingnya. Jengkel ia mengucap “Nyamuknya masih ada! sudah kubilang kan, lebih baik obat nyamuk bakar daripada semprot. Mana korekmu!”

“Kau kuat betul memukul kepalamu. Kupingmu sampai merah begitu macam habis dikulum anjing.” Untung bisa kuatasi kagetku dengan mengambil korek di kantung celana dan menyahuti tingkahnya.

“Ya kau itu anjingnya, hahaha.... Tadi rasanya gatal betul gigitan nyamuknya, jadi refleks saja aku kuat-kuat memukulnya. “

“Pasti tidak beruntung jadi anjingmu. Tugasnya menemani wanita kesepian yang tidak bisa mengatur hidup. Pasti anjingmu lebih sering kelaparan karena lupa kau beri makan.”

“Seenaknya saja kau menyimpulkan aku. Begini-begini aku lebih sayang hewan peliharaan daripada diriku sendiri.”

“Jangan-jangan memang tidak ada anjing yang mau jadi hewan peliharaanmu. Selalu kau jadikan pelampiasan hidupmu terus sepanjang waktu, sampai mereka tidak punya dunia binatangnya sendiri”

“Hahahahaha..... Jika begitu, kau saja yang jadi anjingku”

Aku melanjutkan tertawanya. Di dalam hati aku merasa mantap jika sudah bisa mengucap kata cinta. Kucoba dalam hati mengeja kata cinta; bisa. Coba kuucapkan pelan-pelan di mulutku; begitu sampai di huruf I, mulutku tiba-tiba tak bisa kurasakan. Aku pegang-pegang mulutku, mengenali syaraf-syaraf dan sistem geraknya lagi. Kucoba mengucapkan beberapa kata.

“Aku lebih memilih tinggal dengan ibu tiriku lagi daripada jadi anjingmu”

“Aku suka kau karena kepolosanmu yang bodoh itu. Kau memang pantas jadi anjingku.”

Otakku gelap. Ampas-ampas kopi sudah menutupi jaringan-jaringan otakku. Aku kagum dengan ucapanya. Aku semakin terpacu mengucap kata cinta. Lidahku kugoyang-goyangkan, kucocok palung di mulutku. Rasanya lidahku dan air ludahku cukup panjang untuk membuntu lubang palung di mulutku. Aku harus berhasil mengeja kata cinta malam ini. Aku harus berhasil mengeja kata cintaku yang pertama. Aku tidak akan putus asa kali ini. Aku akan memegang teguh nasihatmu untuk menjadikanya sebagai pacarku. Dan itu harus terjadi malam ini. Harus atau jadi pencundang sama sekali.

Malam sudah berganti nama jadi pagi. Jam setengah satu pagi. Aku memintanya membuatkan kopi untukku dan dirinya. Ia pergi ke dapur. Senyumnya sebelum pergi mengingatkanku pada kata sublim. Aku menyimpan banyak perasaan di dada, dan sudah kusepakati padanyalah semua perasaan itu akan menyublim. Langit melihatku, dibuatkanya bintang jatuh untukku. Aku mengucap permohonan dalam hati. Kau tahu kan apa permohonanku. Lantas ia datang dengan nampan berisi dua gelas kopi dan setoples keripik tahu.

“Barusan ada bintang jatuh. Aku membuat permohonan. Aku memohon supaya minggu besok kau pulang ke Yogya dan bersamaku pergi ke Sukapura”

“Bodoh! Aku tidak akan ke sana lagi. Aku muak dengan temanmu yang banci batik itu.”

“Aku tahu. Tapi kupikir kita berdua memang perlu bertemu denganya lagi. Menjelaskan masalah. Aku takut masalah sederhana ini jadi rumit gara-gara kepergian kalian yang tanpa pernah saling pamitan”

“Klise! Dia yang memulai semua permasalahan yang kau bilang sederhana ini. Aku tak mau bapakku dihina-dina macam tikus got olehnya. Aku memang salut pada tekadnya yang tidak mau jadi tentara seperti saudara-saudaranya dan bapaknya. Aku memang salut saat dia menyatakan dirinya ingin kuliah di ekonomi pembangunan dan memilih masuk ormas islam untuk berdakwah. Yang tidak kuterima, seenaknya dia menyimpulkan bapakku punya sejarah yang dipenuhi kesalahan besar pada agama dan negara. Sudah begitu, masih dia mengajak tetangga-tetanggaku untuk mengucilkan keluargaku. Aku sudah bosan dikucilkan dan dijadikan masyarakat rendahan. Aku tidak akan mentoleransi kesalahanya yang ini. Dia bejat. Paham kau?!”

Sial, dalam hatiku. Aku membangkitkan macan betina di tengah malam. Aku menggali lubang kuburku di hatinya. Jika tidak ditenangkan, rencanaku malam ini bisa gagal. Kucoba menengahinya, “Aku setuju dia salah. Kesalahanya adalah kesalahan paling tidak intelek yang pernah dilakukanya. Dia mentah-mentah memakan mitos-mitos.”

“Nah! Lalu kenapa kau naif berpikir aku akan ke Sukapura?! Aku di sini ini gara-gara tingkahnya. Bapak-ibuku dan adikku di Semarang juga gara-gara tingkahnya yang provokatif ke tetangga-tetangga sebelah rumahku. Kupikir kau membelaku!”

“Aku tidak membelamu atau membelanya, aku membela hubungan kita bertiga saja. Aku tidak tega jika kita bertiga tidak seperti dulu.”

“Berdoalah saja sampai kiamat. Aku tidak akan mengabulkanya. Andaikan aku kopi kental, dia itu sebatas lalat ngantuk yang ingin begadang. Dia ingin meminumku tapi malah mati tenggelam di larutan kopi”

“Heh?Sentimen betul kau!” Aku tertawa sambil membayangkanmu jadi lalat ngantuk.

“Terserah!”

“Baiklah, minggu depan aku ke Pak Kirman, ketua RTmu. Membicarakan tingkah tetanggamu. Dia pasti mau membantu. Dia kenal bapakmu sejak zaman PKI kan?”

“Ya, dia satu-satunya orang yang terus menerima bapakku separah apa pun kondisinya. Waktu bapak pulang dari Pulau Buru, dia dan istrinya yang menjemput bapak di Tanjung Perak. Dia pasti mau membantu.”

“Oke. Lalu lalat ngantukmu itu mau kau apakan nantinya?”

“Aku tidak mau menemuinya dulu. Dia membuatku ingat lagi 15 tahun yang susah payah saat bapak di Buru dan ibu yang jadi pembantu. Aku tidak mau mengingat masa itu.”

“Kadang-kadang aku bosan mendengar ceritamu soal ini. Seringnya aku merasa sudah saatnya kau ikhlaskan masamu yang 15 tahun itu.”

“Tidak mudah, bung. Itu seperti membuat Ade Rai menjadi waria paling seksi di kontes waria.”

“Ya, ya, ya, Ade Rai memang susah jadi waria seksi. Kupikir dia pasti kalah olehmu dulu. Malam ini kau seksi sekali”

“Aku bukan waria, bodoh!”

“Memang bukan, tapi hatimu itu yang waria. Tidak jelas arahnya. Mau berhati laki-laki atau perempuan.”

“Hei bodoh, hatiku ini perempuan.”

“Tapi dendammu melebihi dendam kriminal paling kejam.”

“Negara dan lingkungan yang membuat aku jadi begini.”

“Kau sendiri yang membuat dirimu. Bull shit jika lingkungan yang membuat dirimu. Kau sendirilah yang mengizinkan pengaruh mana yang boleh dan tak boleh masuk ke hatimu. Kaulah faktor utama bagaimana karaktermu terbentuk.” Kau tahu, aku tidak membelamu saat aku menyerangnya. Aku bosan dengan sikapnya yang terlalu keras dengan dirinya sendiri dan sekitarnya. Aku hampir lupa jika aku seharusnya mengatakan cinta padanya. Untung saat itu matanya menatap mataku. Mungkin dia sedang mencari-cari tempat sampah di hatiku yang sering ia gunakan untuk membuang perasaanya. Sayangnya, tempat sampah itu kutaruh di selangkanganku. Dia tidak akan menemukanya.

Matanya masuk ke mataku. Dalam sepersekian detik, tatapanya jadi sulur melati. Masuk ke sana ke mari ke dadaku. Sulur-sulur itu berbunga. Oh kau tahu, bagaimana wanginya dadaku saat itu. Hidungku sendiri lupa apakah betul ini wangi dadaku atau bukan. Tanpa ada apa-apa dia tersenyum, “Maksudmu apa? Kau ingin mengatakan sesuatu padaku?”

“Aku telah mengandung kesunyianmu. Aku tak mampu lagi merasakan waktu. Setiap perjalananku tiba-tiba jadi harta karun yang tak tentu riwayatnya.”

“Kau sedang membuat puisi lagi? Pasti untuk Rista lagi kan?! Aku tidak suka kalimat pertamamu.”

Aku benar-benar sedang menghadapi macan betina. Kau setuju kan denganku? Tapi aku tidak akan gentar. Aku ingin dimakan mentah-mentah, biar bisa kumasuki perutnya. Biar bisa kuganti hatinya dengan hati yang paling terbaru.

“Aku cinta kau. Aku memintamu bertanggung jawab penuh atas kesunyian yang selama ini kau tinggalkan di perasaanku. Aku ingin kau larut lebih kental lagi di larutan hidupku”

Dia tidak terkejut dengan ucapanku. Dia melihat mataku lagi. Sulur-sulur melati masuk lagi, mekar. Hatiku wangi lagi. Dia bangkit dari duduknya, mendatangiku. Memelukku. Begitu saja dia memelukku, seolah-olah aku ini guling kesenanganya. Dia menangis keras. Kali ini aku bingung. Kejantananku jadi kuragukan sendiri. Aku tidak tahu kenapa ia menangis. Dua menit dia memelukku sambil menangis. Tak ada obrolan selama itu. Kupingku sudah kusiagakan sesempurna mungkin tapi memang tidak ada kata-kata darinya kecuali suara tangisanya.

Dia lepaskan pelukanya. Matanya merah, pipinya memiliki beberapa sungai air mata, hidungnya kembang kempis, dan bibirnya terlihat sempurna. Matanya masuk lagi ke mataku. Tiba-tiba tangan kirinya menampar mukaku, keras. Aku bingung. Belum selesai sakitnya, dia menamparku lagi dengan tangan kanannya, benar-benar menyakitkan.

“Kenapa kau berani mencintaiku. Aku anak orang PKI. Banyak orang membenciku. Aku dan keluargaku selalu jadi kambing hitam masalah sosial. Kau tidak tahu apa yang akan kau hadapi.”

“Aku mencintaimu justru karena kau anak PKI yang penuh dendam. Aku bosan dengan skeptismu tentang manusia di negara ini. Aku akan mendampingimu seumur hidup untuk menunjukkan jika dunia ini dipenuhi orang-orang baik. Biar dendammu hilang, dan kau bisa menemaniku di surga nanti. Aku takut di akhirat nanti kau masuk neraka jika terus-terusan membawa dendam sampai mati. Padahal aku sudah pasti masuk surga dan pasti sendirian jika begitu. Aku butuh kau untuk menemaniku di surga.”

Dia menamparku lagi. Sekali, dengan tangan kananya. Kemudian menangis lagi. Aku tak kuat melihat bibirnya. Aku berdiri, mendekati kupingnya, kukatakan “Aku cinta kamu”

Kucium bibirnya. Dia mencium bibirku. Kuingat betul, jam dua pagi itu, langit berwarna merah. Sial, langit berwarna bendera PKI.

Saturday, March 5, 2011

Mimpi sebelum tidur

:Z.N

Rasa itu hilang. Tak ada variasi di pikiranku saat gadis yang kupuja-kupuja mengirimiku SMS. Aku tak menggambar mercusuar atau bulan bintang yang bisa kujadikan pelayaran harapanku padanya. Aku pun tak membentuk karang atau tembok besar yang akan kujadikan tempatku mencelakakan perahuku. Rasa-rasaku yang dulu ternyata menjadi selembar undangan untuk pikiranku. Aku di bawah langit-langit kamar kosku tenggelam dalam kepastian akan kemanusiaanku. Aku jadi aku, gadis itu jadi lautan, kemanusiaanku jadi perahu tanpa dayung. Aku menggoda diriku sendiri oleng kanan kiri di balik alasana kemanusiaan. Aih, rindu yang tak kunjung menepi adalah ketololan, tepat seperti yang dinyanyikan biduan-biduan sepanjang lounge-lounge pusat kota.

Yang menjadi elegi adalah aku membalas SMS itu dengan SMS yang sangat normatif. Seperti membaca puisi para penyair narsis, aku ingin mencekik diriku. Aku ingin mengajak diriku bertobat. Aku ingin cucu-cucu Chairil cukup sampai di batas bohemian dan perlente. Maka, jadilah normatifku sebagai bualan paling tidak pintar yang terus menerus kulakukan pada gadis itu. Dan bodohnya, gadis itu masih saja menanggapinya. Aku kadang berharap kami berdua langsung berhadapan, bertukar sesaji, lalu saling menghirup sesaji. Kenangan-kenangan akan kesabaran akan masuk ke otak dan perjalanan ke depan. Aku tak merasa runtuh dalam hutan-hutan waktu, aku hanya ingin segala hal yang telah runtuh tidak sekedar jadi semangat, tapi jadi gairah rasa pada surga-neraka.

Oh Gusti yang memiliki segala rayuan paling ampuh di dunia, tunjukkan aku cara melukis lautan dan samudra. Oh Gusti yang memiliki segala perempuan di dunia, siapakah di antara kami yang akan pasrah di rahim gadis pujaanku itu. Oh, Gusti yang meluaskan luka-luka dan ingatan-ingatan, cahaya-cahaya masa depan cahaya-cahaya mutiara kata adalah sunyiMu yang tak genap-genap mekarnya. Oh Gusti, maukah Kau menghilangkanku dalam ceruk muara remuk redam bahasa.

Unggun hatiku tak akan mati, api bahasaku tak akan gentar. Belantara air samudra tak akan cukup menghabisi api unggun milikku. Sepanjang penantian aku akan menyebar camar-camar dan senja di ufuk-ufuk paling jauh. Agar samudra menerimaku dengan nasib-nasib indah seorang pelayar jauh. Jika kemudian mitos mengatakan rindu akan dibalas dengan kebaikan yang sama, aku tak bisa menyalahkan warisan Jawaku. Jika kemudian gadis pujaanku membalas SMSku dengan kebaikan yang lebih besar dan kubalas lagi dengan kalimat normatif, aku sungguh senang mengatakan jika Jawa dipenuhi ketololan feodal. Dahaga siapa sedang kutanggung, dahaga siapa yang membuatku minum air samudra. Dahaga penyair, dahaga pujangga, dahaga politisi, oh dahaga-dahaga mahkluk sepi, kenapa kalian melewati perjalananku. Aku tak akan berkabar dengan siapa pun, aku tak akan berkabar dengan gosip-gosip murahan. Aku cuma ingin mencium bibir pantai senggigi miliknya, aku ingin masuk ke kampung Naga di hatinya, oh Gusti yang menyatukan segala basa-basi dunia, aku ingin merasakan brownies kukus yang ia tanak di oven pikiranya, aku ingin merasakan gado-gado betawi dari segar pengalamanya.

Sepanjang dadaku aku dipenuhi icon smiley Yahoo Massenger. Aku bertemu teriakan prajurit menang perang. Aku bertemu senyum malu istri-istri yang jatah uang bulananya dinaikkan. Aku tidak berjarak dengan dadaku. Gadis pujaanku datang dari barat, pelayaranku jauh ke menit-menit kegilaan. Tak ada pelabuhan bagi lelaki. Tapi aku tak mungkin membawa prajurit atau ibu-ibu. Aku harus hampa dalam kehilanganku pada gadis pujaanku. Ketika datang SMS ketiga dari gadis pujaanku, segala kamus pelayaranku hanyut ke samudra. Oi, aku sendirian di samudra besar ini. Aku dalam kenikmatan 100% sempurna. Tak ada waktu di sini, samudra adalah padang waktu kebebasan. Maka, aku tak perlu pelabuhan. Aku menceburkan diriku, berenang dengan lumba-lumba perasaan. Aku tak berpisah dengan siapapun. Aku menyatu dengan kedewasaan dunia. Aku tidak mengalami kefanaan. Aku dalam kenyataan jika dunia tidak segelisah manusianya. Aku melangkah ke masa depan yang penuh inovasi. Samudra adalah daratan baru tempat mahkluk hidup masa depan akan tinggal. Samudra adalah perkawinan sempurna antara rindu dan bahasa. Tidak akan ada pelabuhan lagi. Tidak akan ada lagi keraguan di dalam segala perasaan manusia.

Setelah dua belas menit aku mengalami orgasme rohani, kubalas SMS gadis pujaanku dengan gaya anak muda masa kini. Dengan gaya SM*SH yang penuh percaya diri. Setelah 30 menit aku menunggu, kali ini sama sekali tak ada SMS balasan yang menyirami bunga-bunga di pikiranku. Oh Gusti.

Februari membuat dinding pengaduan

: R.A

Aku lupa bagaimana melihatmu
Jika februari sudah sampai ke purnama

Cahaya tak pernah berhasil
Menyambung nyawa jantung mataku
Masjid-masjid dipenuhi doa mata jantungku
Kepalaku mengancam lari ke ujung hatiku

Saat kau mendiamkan ingatanku
Hidup mataku dipertemukan nasib-nasib kota
Saat mereka ingin mencari ruh siapa
Yang mengerjaiku dengan sunyi perempuan

Aku tak berada dalam keyakinan. Tajam
Matamu tinggal sudut kasmaran lumut-lumut waktu
Musim-musim dadamu musim-musim pasar induk
Kata-kata menawariku alamat hujan bahasa

Kebahagiaan adalah awal mula ketakutan
Di batas pandangmu aku letakkan diriku

Berjanjilah kau akan menghirup
Bau tubuhuku. Sekalipun tak ada hening
Di ranjang itu. Lorong-lorong mataku
Berusaha lari dari kenyataan

Biografi

Jika puisi adalah kesalahan
Maka, kaulah alasan Tuhan
Menghadirkan aku di dunia

Wednesday, January 19, 2011

Pagi hari dalam perspektif Jakarta

Aku betul-betul tak paham mengapa beberapa kota meninggalkan kesan dalam, sedang lainya tidak. Selain botol-botol bir dan nasib yang mengejar, tak ada yang mendalam dari kebanyakan kota-kota yang kusinggahi. Tapi khusus kota ini, Jakarta, aku punya istilah khusus untuknya; janda pantura yang lupa bagaimana perawanya hilang. Kadang aku merasa tidak ingin memiliki kesan dalam tapi kadang aku ingin memiliki kesan dalam pada kota ini.

Sudah tiga tahun ini, aku mengunjungi Jakarta. Sekedar urusan transit, kota menetap beberapa orang terdekat, hingga kota yang siap menghabisi kecerdasan. Kadang Jakarta datang sendiri ke kepalaku, menyatakan rindunya padaku. Kadang akulah yang memohon-mohon agar aku diizinkan ke Jakarta. Seperti janda elok pantura, Jakarta adalah imajunasi liarku. Dan rumus pertama imajinasi liar adalah menuntut pengorbanan.

Sejak menaiki kereta progo dan menyalakan The Brandals kencang-kencang di MP3, aku selalu berharap tidak masuk Jakarta kali ini. Sempat aku berpikir turun di Cirebon atau mengalami kecelakaan kereta. Aku selalu ingin hidup stabil, yang artinya tidak banyak melakukan pengorbanan. Apalah daya, Jakarta adalah pusat orang-orang kaya negara ini. Atas nama banyaknya orang kaya itulah aku sampai lagi di Jakarta saat pagi masih pukul setengah tiga, saat dimana sholat tahajud memberi pahala terbesarnya bagi pelakunya. Bunyi rem kereta menyalakan rangkaian lampu led warna merah di dadaku. Tulisanya ucapan basmalah. Guru elektronikaku yang agamis membuatkanya untukku. Otomatis pula, kakiku mengajakku pergi ke toko yang dilayani perempuan. Kuisi ulang tenaga baterai handphoneku di toko itu. Kuisi ulang tenanga mataku di senyum jinak pelayan toko itu.

Beginilah Jakarta memulai pagi harinya: Bus-bus bergonta-ganti seenaknya dengan taxi-taxi. Taxi-taxi bergonta-ganti seenaknya dengan mobil-mobil pribadi. Mobil-mobil pribadi saling bersepakat saling berganti satu sama lain. Sepanjang riwayat kota, mobil-mobil pribadilah yang menjelmakan Jakarta senakal dan seelok janda pantura. Di antara kegenitan-kegenitan aktivitas itu, ada penjual soto, penjual karedok dan penjual kopi keliling. Ketiga penjual itu ada di depan gelanggang senen. Mereka berbisnis kesepian. Mereka tahu jika manusia adalah makhluk penuh penantian. Penantian di Jakarta adalah penantian yang penuh kesepian. Dengan uang di bawah sepuluh ribu, mereka menjadi pengisi kesepian penghuni Jakarta.
Beginilah aku memulai pagi hari di jakarta: Setelah 2 mangkok soto lamongan habis kucerna. Dan setelah puas berkabar dengan temanku tentang kehebatanku memakan soto, aku pergi ke penjual kopi. Kupesan kapal api kental. Kudengarkan setiap detail jurus-jurus yang dikeluarkan sopir taxi saat merayu penjual kopiku. Sambil itu, kutunggu gerbang gelanggang senen terbuka. Kutunggu gadis cantik yang menyuruhku datang ke Jakarta di depan gerbang gelanggang.

Adalah gadis cantik yang kujadikan harapan utamaku di Jakarta saat ini. Kutemui ia pertama kali di bandara yogya. Mimik wajahnya bersungut begitu ia menyerahkan titipan temanya untukku. Tetap dengan bersungut ia menekankan sesuatu, ”punya kamera kan mas?!Bantuanya itu jangan lupa difoto pas sudah dipegang anak-anak ya…” Saat itu juga aku berpikir memang tak ada keburukan di dunia ini yang mampu menandingi keburukan perempuan yang sedang bersungut.

Habislah aku menerima perlakuan gadis itu. Untungnya beberapa jam setelah penghabisanku, aku dihidupkan lagi oleh temanku. Gadis itu cemberut begitu rupa karena kopernya yang dari Italia rusak. Rusak karena tidak kuat menahan beban barang titipan. Gadis itu sepertinya marah-marah ke temanku, tapi temanku tidak mau disalahkan. Jadilah aku yang jadi tersangka utama, dan jadilah aku penerima utuh sungutan gadis itu. Yang kutakutkan cuma satu sebenarnya, gadis itu bersungut karena bertemu aku yang bermuka pembantu. Sungguh, aku takut sekali jika ia bersungut karena itu. Aku tak mau merusak keindahan dunia dengan hal bodoh.

Kedua kalinya, gadis itu kutemui di hotel langgananya di bilangan plengkung gading. Hotel dengan lobi yang terbuka model joglo, yang menandakan keterbukaan dan penerimaan atas segala hal. Gadis itu datang menemuiku lagi, tanpa sungutan. Tawa mengejeknya menyatakan perihal kopernya yang rusak yang seharusnya aku ganti. Untung ia cuma bercanda. Ternyata gadis itu mudah saja membuka dirinya, seperti lobi hotel yang ditempatinya. Yogya yang bersenja, senyum gadis itu yang membuat grogi tiba-tiba berubah jadi korek. Menyulut kompor-kompor kesenanganku.

Gadis cantik itu, bersama temanya, yang juga temanku, jauh-jauh datang dari Jakarta cuma untuk ikut membuat celengan harga tiga ribuan bersama kelompokku. Untuk diberikan saat menghibur anak-anak kecil yang jadi korban merapi di magelang. Membuat celengan harga tiga ribuan itu bukan hal mudah. Pertama karena harus menekan biaya produksi serendah mungkin. Kedua, karena hal pertama itu, maka gerilya adalah kata kunci membuat celengan. Mencari bahan mentah celengan adalah perjuangan pertama, aku harus masuk ke pengepul loakan besar. Di sana, aku berjubel dengan sampah-sampah berbagai bau dan pembikin lecet-lecet kaki. Mencari gulungan karton-karton kertas ukuran besar sebagai bahan mentahnya. Proses ini menguji kelelakian seseorang. Kedua, memotong bahan mentah itu dengan ukuran tertentu menggunakan gergaji besi manual. Proses ini menguji kesabaran seseorang. Ketiga, menempelkan kertas gambar dan karton penutup ke bahan mentah yang sudah dipotong. Proses ini menguji ketelatenan seseorang. Tentu saja, gadis cantik itu dan temanya cuma masuk di proses ketiga. Perempuan adalah makhluk yang telaten. Mudah saja dua gadis itu lulus di proses ketiga ini. Sambil membuat celengan, sedikit kuperhatikan gadis cantik itu, aku berjaga-jaga siapa tahu sungut lelenya keluar lagi di wajahnya.

Sayangnya, semakin kulihat semakin aku paham alasan Tuhan menaruh surga di telapak kaki perempuan. Keagung-agungan surga jadi keindahan kelas kampung dibandingkan keindahan gadis cantik itu. Tak ada keburukan di gadis cantik itu. Bahkan mungkin berbagai keburukan bisa berubah suci di wajahnya. Betul memang, mulalilah sejak itu aku tahu bagaimana ia, tanpa tendensi apa-apa, membuat setiap lelaki penasaran dan tergila-gila menanyakanya. Dua temanku jadi korban gadis cantik itu. Sudah kuselamatkan mereka dengan susah payah dari kutukan perasaan. Aku tak ingin teman-temanku ikut hancur sepertiku. Hancur hanya karena seorang gadis.

Zaman SMP, aku dipenuhi dogma-dogma agama yang nirlogis oleh temanku dan adiknya. Ketika kami bertiga melihat video porno bersama, temanku selalu mengecilkan volume TV ke angka 3. Dia selalu serius dengan ucapanya, “Tuhan suka angka-angka ganjil.” bersamaan dengan adeganya mengecilkan volume TV. Saat melihatnya ibunya yang seksi pun, ia bertingkah sama. Ibunya punya kebiasaan menyenangkan di rumah. Sehabis pulang kantor, si ibu akan melonggarkan celana panjang yang dipakainya sampai celana dalamnya kelihatan setengah bagian. Setiap melihat ibunya, temanku akan berucap “Tuhan berbuat misterius sebab Ia suka hal-hal misterius.” Kuingat betul dogma-dogma agama temanku saat ini. Sambil berharap di pertemuan ketigaku dengan gadis cantik itu, aku dan gadis cantik itu mendapat momen-momen misterius yang membuat kami saling penasaran satu sama lain. Maka, selama tiga jam aku terus berharap-harap seperti itu. Di depan gelanggang senen di mana giliran sopir taxi kedua yang meluncurkan aksi-aksi mautnya saat merayu penjual kopiku.

Jam empat pagi, gadis cantik itu mengabari jika ia belum berangkat, dan mungkin saja baru bangun. Jam setengah enam, saat giliran tukang parkir yang merayu penjual kopiku, gadis cantik itu mengabari baru akan berangkat. Jam setengah tujuh, gerbang gelanggang dibuka. Tapi aku masih menikmati kapal api kental kedua buatan perempuan semok penjual kopiku ini. Jam tujuh aku menyerah dengan jalanan senen. Jam tujuh lebih lima belas menit, aku masuk gelanggang. Kutemui orang planet senen di sekretariatnya. Aku ngobrol-ngobrol sebentar denganya yang sedang membakar sampah. Tak sampai sepuluh menit, aku keluar dari gelanggang. Gadis cantik itu mengabari jika ia sudah di kramat raya. Aku menunggu di gerbang gelanggang. Aku ingin tahu secantik apa ia pagi ini. Jam tujuh lebih tiga puluh delapan menit, ia mengabari jika sedang berputar arah. Jam tujuh lebih empat puluh empat menit, ia sudah memarkirkan mobilnya di samping karimun pink.

Lewat beberapa detik, gadis cantik itu sudah di depan mataku. Ia seperti brokoli segar. Senyumnya membawa kesuburan-kesuburan ibu bumi. Matanya menyediakan zat-zat sehat untuk dilahap. Wajahnya adalah lanskap kebun-kebun tanaman hijau yang menyegarkan perasaan. Senen yang penuh kriminalitas kedatangan putri kebaikan dunia. Gadis cantik itu menunjuk bagasi mobilnya, “ Lihat, mampu tidak membawanya?” Lima kardus pakaian anak-anak ada di bagasi. “Bisa!” mantap kujawab seperti gladiator yang siap bertarung untuk memenangkan sang putri kebaikan dunia. Satu dus rokok ukuran besar kuangkat dengan semangat. Supir gadis cantik itu membantu mengangkat dus yang lain. Setelah kutaruh dus itu ke sekretariat planet, aku kembali ke gadis cantik itu. Sekitar 20 meter, gadis cantik itu terlihat duduk. Sungguh syahdu melihatnya. Wajahnya yang cantik memamerkan kerapuhan yang sangat. Celana kargo dan jaket hijaunya mengatakan gadis cantik itu dihidupi banyak hal kelabu. Kuangkat lagi kardus pakaian bantuan, kubawa lagi ke sekretariat planet. Kembali lagi ke gadis cantik itu. Kali ini ia ada di dalam mobil. Kulihat ia meminum sesuatu dari gelas merah mungil. Mendung di senen membuat pemandangan itu jadi hangat. Gadis cantik itu tidak membawa hal lain selain kebaikan. Setelah kuturunkan barang terakhir, ia memberiku makanan kecil dan uang bantuan. Dia pamit pergi. Untung ia sempat meninggalkan senyuman untukku. Lalu, dengan pengkhayatan penuh, aku melihatnya masuk Jakarta lagi. Menjadi bagian dari keperawanan kota yang penuh kejujuran. Keperawanan kota di antara norak cemorak Jakarta yang bagai janda pantura.

Sunday, December 12, 2010

Dangdut Melinda dalam variasi bayanganya

: Melinda


Tiap kami kembali ke malam hari, ke suaramu yang basah
Kami selalu ingin tahu di mana letak bayanganmu; perempuan jalang
Atau perawan yang selalu ingin bersenang-senang. Kau ganti semua
Isyarat purnama dan perjalanan dengan lampu-lampu dan musik disko
Kami selalu penasaran di bagian mana di badanmu ada tato
Atau rindu yang miskin dan membuatmu jadi masokis begini

Di depanmu, kami lupa akan sopan santun; kami mengerang
Memasukkan suaramu yang basah ke jantung kami
Kami mengendap-ngendap ke gairahmu. Kami ingin makna-makna
Apartemen dan uang, juga lampu-lampu ruang disko
Dan sensasi masuk infotaiment. Melinda yang aduhai, kami ingin cinta

Dalam beberapa hari ke depan, saat kami bertapa dalam lagumu
24 jam tanpa henti membawakan lirik-lirik rindumu, kami bisa tahu
Kenapa kami terus menihilkan diri sepenuhnya dalam jantungmu
Kami yang sepenuhnya ingin kau kuasai ini, hanya ingin tahu
Kenapa kau selalu membayang, menjadi pemandangan dan sajak-sajak
Di mana kami bisa melupakan masalah uang dan rindu yang tak pernah sampai

Di atas segala hal buruk dunia ini kami ingin kita bercinta bersama-sama
Di ruang lapang yang disediakan malam. Kita niscayakan dunia jadi indah
Gunung-gunung bermekaran membawa kesuburan, tebing-tebing menghijau
Menggenang semua kehijauan pohon. Yang kita hasilkan dari percintaanmu
Adalah dunia yang terasa begitu seksi dan menggoda tanpa bayangan cinta

Monday, November 1, 2010

Di Summitmas

:R.A


Di sekumpulan orang Jepang yang gagap Bahasa Indonesia
Dan senyum-senyum resepsionis, loby gedung ini menelan ludahku
Menyisakan mulutku yang kering untuk mencecap kenangan
Aku keluar. Di beranda depan gedung, sebrang pos satpam, kau membayang
Air-air gerimis dan asinan mangga yang menyegarkan tenggorakan
Di Jakarta yang sempoyongan. Langit masih agak mendung, rindu masih kalut
Wajahmu yang serupa senja masih saja jauh. Aku baca bibirmu
Aku baca sekuat apa peristiwa dan getaran yang kau buat

Rindu padamu membuatku paham Jakarta. Di semua kehilangan
Takkan ada yang bisa menamatkan kenangan. Aku tuju parkiran gedung
Sepanjang basara, sepanjang gerombolan gadis-gadis metropolitan, sepanjang
Rindu padamu. Sepanjang rok spanmu, sepanjang rambut hitammu, dan senyum manismu
Aku tuju warung kecil di ujung parkiran gedung. Aku paksa diriku jika kau betul-betul ada di sana

Di warung kecil itu, kupesan teh hangat seperti kurapal doa-doa khidmatku pada Tuhan
Aku coba duduk di bangku depan jendela, mungkin dalam sekejap Tuhan mengabulkan rinduku
Kau tak ada di sampingku. Tapi badanmu yang molek sayup-sayup kurasakan beitu utuh
Menawariku indomie goreng telur, menawariku nafas tembakau, dan cerita-cerita anakmu
Dan aku masih tak paham bagaimana kau bisa membayangiku dengan rindu yang ranum
Dengan rindu yang membuatku lupa jika kau sudah begitu jauh. Kusesap udaramu, kusesap
Segala salahku yang mengenangmu sebegitu kuatnya. Mukamu yang melebihi kehangatan
Yogya tetap membenarkanku untuk terus mencintaimu. Dalam segala kesakitan dan kesedihan kata-kata

Lalu tak ada yang bisa kucari di parkiran gedung itu. Kau tak datang, tak memberiku ciuman
Aku merasa busuk saat membayar teh hangat kesukaanmu itu. Tinggal sunyi yang ada di kepala
Siang berjalan, membawa panas dan melankolia kota. Aku berjalan, ke beranda depan gedung
Genangan-genangan sisa hujan pantulkan namamu. Rista, selalu kuingat kau sebagai hidup
Dalam kebenaran kisah cinta. Siang berjalan, rinduku tak berjalan. Hidupku menggumpal
Aku lari ke trotoar tepi jalan, keluar dari summit mas, di kenyataan kota aku ingin menguburmu
Wajahmu berubah jadi jembatan layang, senyummu berubah jadi tangga-tangganya, rambutmu berubah
Jadi atap-atapnya. Ciumanmu yang dulu-dulu jadi pohon-pohon kota yang melindungi nafas kenanganku
Aku ke gedung depan Summitmas. Di sana, sempat kutengok Summitmas, kulihat kau memakai seragam satpam
Mengatur perasaan-perasaan yang keluar masuk-gedung; kenangan yang panjang, rindu yang tak lelah.